Perempuan: Pencegah Radikalisme dalam Keluarga

Nida Aulia Zahra
Mahasiswa Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
12 Mei 2023 14:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nida Aulia Zahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Teroris Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Teroris Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kasus terorisme dan penembakan terus terjadi hingga saat ini sebagai akibat dari adanya paham radikal yang terus menyebar. Entah apa motif dari aksi-aksi penembakan hingga bom bunuh diri yang terus muncul bahkan di sekitar kita, pastinya hal tersebut sangat mengkhawatirkan keselamatan nyawa seseorang.
ADVERTISEMENT
Bahkan, yang terlibat di dalam kasus terorisme bukan hanya laki-laki dewasa, tetapi juga perempuan bahkan anak-anak. Dan mengakibatkan semakin banyak korban yang berjatuhan akibat adanya aksi teror yang beredar. Paham radikal sangat rentan mengkontaminasi pikiran anak remaja masa kini, oleh karena itu diperlukan peran perempuan dalam pencegahan masuknya paham ini di dalam lingkungan keluarga.
Baru-baru ini juga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo melakukan sosialisasi Pergub No 35 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme. Pada kesempatan tersebut Ganjar mengundang eks narapidana teroris Bom Bali I, Jack Harun sebagai narasumber yang hadir untuk memberikan edukasi terkait bahaya dari paparan ideologi radikalisme dan tindakan dalam terorisme. Jack Harun juga menceritakan jika dirinya mulai terpapar ideologi radikal sejak duduk di bangku SMA dan terus berlanjut hingga duduk di bangku perkuliahan.
ADVERTISEMENT
Maraknya aksi kekerasan dan terorisme kebanyakan bersumber dari paham radikalisme. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) cikal bakal lahirnya terorisme itu berpangkal pada pemikiran yang radikal. Aksi terorisme sering kali dikaitkan dengan agama, hingga banyak yang mengatakan bahwa aksi terorisme identik dengan agama, terutama Islam.
Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Hal ini terjadi karena kebanyakan dari pelaku telah teridentifikasi sebagai pengikut ISIS sebagai kelompok teroris internasional yang mana kelompok tersebut telah mengatasnamakan Islam.
Ditambah beberapa kejadian terorisme besar yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, seperti yang terjadi di Amerika yang disebut peristiwa 9/11. Peristiwa ini terjadi karena disebabkan oleh adanya kelompok ekstremis Islam atau kelompok teroris internasional bernama Al-Qaeda. Namun, pemerintah, sarjana, ulama (termasuk Majelis Ulama Indonesia) serta tokoh muslim lainnya banyak yang menolak untuk menghubungkan atau mengaitkan terorisme dengan konteks keislaman (baca, ajaran normatif Islam). Mereka, termasuk para tokoh agama nonmuslim, bahkan mendengungkan slogan "teroris tak bertuhan” atau "teroris tak beragama”.
ADVERTISEMENT
Bagi mereka, tindakan terorisme tidak diajarkan dalam ajaran agama manapun dan dengan demikian, para teroris pada hakikatnya adalah para "penganut ajaran sesat”. Karena sejatinya tidak ada agama yang mengajarkan keburukan dan menyebarkan kebencian. Dengan begitu kita perlu melakukan pencegahan agar dapat terhindar dari paparan paham-paham yang berbau radikalisme. Untuk dapat mengatasinya, maka setiap individu perlu melakukan deteksi dini radikalisasi terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya. Hal ini dapat dimulai dari dalam keluarga sebagai unit terkecil dan terdekat dengan kita yang ada di dalam masyarakat.
Menghadapi isu ini, perempuan sangat berperan besar untuk menjauhkan keluarga dari paparan paham-paham yang berbau radikalisme dengan melakukan gerakan perubahan. Terdapat fakta bahwa radikalisasi dimulai dari ide atau paham radikal melalui pendidikan sebagai wadah utama dalam dan dasar pembentukan ide radikalisasi.
ADVERTISEMENT
Dalam mencegah ekstremisme kekerasan perempuan dapat berperan pada tahap pencegahan, kontra radikalisasi dan deradikalisasi. Hal itu dikarenakan perempuan mempunyai peranan yang besar dalam menghadapi konflik, yaitu sebagai penengah, inisiator untuk perdamaian dan pemberi perlindungan.
Dalam tahap kontra radikalisasi perempuan mampu membentuk pertahanan melalui pengenalan gejala asosial yang nantinya dapat ditujukan untuk anggota keluarga, terutama kepada anak. Kemudian dalam tahap deradikalisasi, perempuan bisa menggunakan kekuasaannya untuk memengaruhi perempuan lain yang sudah terpapar paham radikalisme.
Napoleon (1804-1815 M) pernah menyatakan bahwa “Aku adalah ciptaan ibuku”. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa karakter dan kepribadian kita dibentuk melalui sekolah pertama yaitu ibu yang tentu saja seorang perempuan. Setiap keberhasilan seorang anak maka di belakangnya ada didikan dan dukungan seorang ibu yang telah membangun kepribadian dan watak seorang anak.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, perempuan perlu untuk mengetahui apa saja perannya dalam keluarga dan memahami keterkaitan antara peran perempuan dalam keluarga dan upaya apa yang harus diambil untuk dapat melakukan pencegahan terhadap maraknya paham radikalisme, terutama untuk keluarga dan anak-anaknya.
Apabila kita melihat kasus terorisme berupa penembakan dan peluncuran bom bunuh diri, peristiwa tersebut telah banyak melibatkan perempuan hingga anak-anak. Menurut BNPT cara untuk menyelesaikan kasus terorisme tidak hanya selesai dengan tindakan hukum, tetapi yang lebih utama adalah dengan melakukan pencegahan dari dalam diri.
Maka dari itu, pentingnya peran seorang perempuan untuk menjaga dirinya dan menjauhkan diri serta keluarganya dari bahaya radikalisme. Dengan berpegang pada pedoman agama yang benar untuk rujukan dalam memecahkan permasalahan di kehidupan saat ini, maka kita akan mampu melindungi diri dan keluarga dari segala pengaruh dan ancaman buruk yang ada di luar sana.
ADVERTISEMENT