Konten dari Pengguna

Media Sosial Tidak Ramah Kepada Kelompok Disabilitas

Nida Destiana
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
7 November 2024 13:11 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nida Destiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://www.bing.com/images/create/violence-on-social-media/1-672c06b3b23c445d89ba1af6a1926f5e?FORM=GUH2CR
zoom-in-whitePerbesar
https://www.bing.com/images/create/violence-on-social-media/1-672c06b3b23c445d89ba1af6a1926f5e?FORM=GUH2CR
ADVERTISEMENT
Seiring dengan kemajuan teknologi yang menuju serba digital, pengguna internet semakin meningkat di seluruh dunia. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia dan menjadi negara yang mengalami peningkatan dalam penggunaan teknologi digital (Sari Dewi Poerwanti, 2024). Berdasarkan laporan dari APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2024 berjumlah 221.563.479 juta. Padahal, pada tahun 2023 jumlah pengguna internet di Indonesia sebanyak 212, juta yang mana jika dihitung maka kenaikan pengguna internet meningkat.
ADVERTISEMENT
Dalam lingkup mikro transformasi media digital seperti, sosial media menjadi salah satu sarana yang dapat digunakan oleh penyandang disabilitas untuk membangun citra diri. Citra diri merupakan potret atau gambaran seseorang terhadap dirinya sendiri (Gischa, 2023). Citra diri ini dapat dibangun dengan membagikan kegiatan sehari-hari, pengalaman pribadi, dan pencapaian. Maka, dengan adanya kemajuan teknologi, penyandang disabilitas dapat memanfaatkannya untuk mengungkapkan identitasnya, meningkatkan kepercayaan diri, dan memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas tentang tantangan yang dihadapinya. Selain itu, teknologi digital seperti media sosial dapat digunakan oleh penyandang disabilitas sebagai media untuk mempromosikan inklusi dan kesetaraan (Sari Dewi Poerwanti, 2024).
Namun, di media sosial kelompok disabilitas Indonesia masih termarginalkan. Mereka kerap mendapatkan perlakukan yang tidak menyenangkan dari pengguna media sosial lainnya. Tindakan cyberbullying dan perundungan secara online kerap dirasakan oleh kelompok disabilitas di media sosial. Hal ini dapat dilihat dari komentar-komentar di media sosial dengan kata-kata yang seolah mengolok-olok, menghina, atau mempermalukan di hadapan umum dalam lingkup media sosial. Perundungan ini dapat berupa komentar-komentar yang bernada merendahkan atau mencemarkan nama baik. Diskriminasi di media sosial juga dapat dilihat di media sosial yang mana kelompok disabilitas seringkali tidak mendapatkan perlakuan yang tidak setara pada media digital, baik dalam aksesibilitas ataupun dari pengguna media sosial lainnya yang melayangkan komentar negatif. Terkadang beberapa fitur yang ada di media sosial terkadang tidak ramah untuk kelompok disabilitas. Selain itu, tindakan hate speech dan stigma masyarakat terhadap kelompok disabilitas di media sosial seringkali dilakukan. Masyarakat atau pengguna media sosial banyak yang tidak memiliki pengetahuan tentang kesetaraan. Sehingga dapat menimbulkan adanya komentar dengan pesan-pesan yang bernada kebencian yang dapat memperburuk citra kelompok disabilitas. Adanya beberapa perlakuan yang tidak layak terhadap kelompok disabilitas menimbulkan rasa cemas dan rasa tidak nyaman bagi mereka di media sosial.
ADVERTISEMENT
Tindakan-tindakan buruk yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kelompok disabilitas bertentangan dengan seruan Kementerian Sosial Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa warga Negara Indonesia penyandang disabilitas harus diperlakukan sama dengan warga Negara Indonesia pada umumnya. Dengan demikian, seharusnya kelompok disabilitas juga memiliki hak yang sama dalam bidang pendidikan, kesehatan, mobilitas, pekerjaan yang layak serta perlindungan hukum (Rizki Saga Putra, 2021). Dan dalam melakukan kegiatan di media sosial pun seharusnya kelompok disabilitas juga memiliki hak yang sama. Namun pada kenyataannya hak-hak tersebut belum dapat dirasakan oleh kelompok disabilitas.
Salah satu karakteristik dari media digital yaitu, adanya anonimitas. Anonimitas kerap digunakan sebagai tempat bersembunyi oleh pengguna media sosial yang ingin melontarkan komentar-komentar yang penuh dengan kebencian tanpa memikirkan dampaknya bagi pihak lain.
ADVERTISEMENT
Adanya komentar-komentar yang memandang sebelah mata terhadap kelompok disabilitas dapat menimbulkan rasa tidak nyaman hingga perasaan depresi (Ruth T. Morin, 2019). Depresi yang dirasakan ini ditimbulkan oleh perasaan cemas mengenai kondisi fisiknya serta adanya pandangan masyarakat yang membuat mereka semakin terpuruk. Selain itu, kebijakan yang ada di media sosial untuk melindungi kelompok disabilitas kurang optimal dan tanggapan terhadap hate comment dan cyberbullying kepada kelompok disabilitas dapat dikatakan lambat.
Adanya algoritma di media sosial yang dirancang untuk memperkuat konten yang mendapatkan reaksi dari pengguna lainnya dapat memperparah fenomena kekerasan terhadap kelompok disabilitas. Platform media sosial seperti Tiktok, Instagram, Twitter, dan Facebook biasanya akan mempromosikan atau menayangkan sebuah konten yang memiliki potensi agar dapat menarik perhatian. Algoritma yang diciptakan oleh media digita memiliki tujuan agar konten yang ditayangkan di beranda dapat merangsang pengguna lain untuk berkomentar, membagikan, dan reaksi lainnya, terutama jika konten tersebut menimbulkan reaksi emosi seperti marah atau senang. Akibatnya, konten yang mengandung kekerasan atau pelecehan sering kali mendapatkan perhatian lebih dan tersebar lebih luas, tanpa ada penyaringan yang memadai dari platform media sosial. Hal ini dilakukan agar semakin banyak orang yang berinteraksi pada sebuah konten, maka semakin lama juga mereka menggunakan media tersebut, sehingga kegiatan tersebut dapat menguntungkan media agar mendapatkan iklan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kurangnya edukasi tentang pentingnya inklusivitas dan empati di kalangan media sosial juga menjadi salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya kekerasan terhadap kelompok disabilitas. Rendahnya kesadaran ini membuat pengguna media sosial melayangkan komentar-komentar yang merendahkan dan tidak manusiawi. Jika edukasi tentang inklusi dan empati di media sosial ditingkatkan, maka seharusnya dapat menurunkan jumlah kekerasan terhadap penyandang disabilitas serta dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesetaraan kelompok disabilitas dengan mereka.
Mengutip dari Jurnal berjudul Jalan Panjang Menuju Inklusi Digital bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia, Molnar berpendapat bahwa terdapat tiga jenis kesetaraan digital, yang pertama adalah adanya kesetaraan terhadap akses atau kesenjangan digital digital tahap awal atau early stage digital equality, yaitu kepemilikan hak agar mampu untuk mengakses teknologi digital. Yang kedua, penggunaan atau kesenjangan digital primer primary digital gap yang berkaitan dengan masyarakat yang menggunakan teknologi digital akan mendapatkan akses agar dapat mengonsumsi teknologi dan komunikasi. Ketiga, kesetaraan digital bagi lapisan kedua atau quality of use, fokus pada kualitas penggunaan teknologi bagi penyandang disabilitas yang memanfaatkan digital untuk kehidupan sehari-hari (Sari Dewi Poerwanti, 2024).
ADVERTISEMENT
Kesadaran kelompok disabilitas tentang kemajuan teknologi tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat. Masyarakat tidak memiliki rasa toleransi terhadap publik dalam upaya menciptakan lingkungan yang inklusif agar dapat memberikan dukungan kepada semua pengguna media sosial, khususnya kelompok disabilitas. Padahal, dengan adanya inklusi dapat mengurangi tindakan kekerasan yang dapat memperkeruh kesenjangan digital di antara kelompok disabilitas dan non-disabilitas. Kesenjangan digital ini timbul karena adanya faktor sosio-demografi yang meliputi usia, tingkat pendidikan, pendapatan, jenis kelamin, tempat tinggal, dan status disabilitas (Seung-Yoon Shin, 2021).
Meskipun pemerintah telah menyuarakan kesetaraan terhadap hak-hak kelompok disabilitas, tetapi masyarakat juga memiliki peran yang penting dalam menciptakan lingkungan berbasis online yang aman dan inklusif. Edukasi tentang etika digital dalam bermedia sosial dan pentingnya menghormati perbedaan harus terus ditegakkan. Masyarakat perlu mendapatkan edukasi secara mendalam agar dapat memahami setiap orang, tanpa melihat dari kondisi fisik atau mentalnya. Semua manusia berhak untuk mendapatkan perlakuan yang setara tanpa adanya pembeda. Selain melakukan edukasi kepada masyarakat, edukasi tentang etika menggunakan media digital berupa media sosial juga perlu diberikan kepada anak-anak usia dini yang telah menggunakan media digital. Hal ini dilakukan agar anak-anak memiliki rasa empati terhadap sesama. Dengan adanya edukasi terhadap anak usia dini, diharapkan dapat menjadi generasi yang yang paham tentang etika dalam menggunakan media digital serta menghormati sesama sehingga kasus kekerasan terhadap kelompok disabilitas dapat berkurang. Penegakkan hukum dan kebijakan perlindungan perlu untuk dipertajam. Walaupun pemerintah telah menyuarakan tentang hak-hak kelompok disabilitas, tetapi seharusnya pemerintah memperkuat hukum dengan melindungi kelompok disabilitas di media sosial serta memberikan saluran yang aman dan mudah untuk diakses bagi mereka yang menjadi korban kekerasan di media digital. Tindakan tegas terhadap pelaku cyberbullying, diskriminasi, dan hate speech harus dilakukan agar pelaku jera.
ADVERTISEMENT