Konten dari Pengguna

Kerja Keras atau Kerja Cerdas?

Nida Silmi Tsauroh
Journalism Student at Jakarta State Polytechnic. Actively involved in public relations activities. Aiming to be professional in creative industries.
6 Juli 2021 13:03 WIB
clock
Diperbarui 15 Juli 2021 14:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nida Silmi Tsauroh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
www.freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
www.freepik.com
ADVERTISEMENT
Banyak orang yang menjadi workaholic tanpa memikirkan dirinya sendiri. Dapat dikatakan Hustle Culture menjadi sorotan terkini bagi orang yang mencintai pekerjaan. Sebenarnya, apakah budaya ini baik bagi diri kita?
ADVERTISEMENT
Bagi yang belum mengetahui, Hustle Culture adalah budaya di mana para pekerja menjadi gila kerja demi kesuksesan mereka. Ada yang meyakini bahwa dengan bekerja keras dapat membuat dirinya naik pangkat atau mendapat upah gaji yang tinggi. Tetapi, kondisi seperti ini menyebabkan diri kita menjadi sangat ambisius tanpa memikirkan kesanggupan tubuh. Hustle Culture ini dapat dikatakan juga dengan Workaholic.
Istilah hustle culture dan workaholic ini lebih sering digunakan untuk merujuk pada pola perilaku negatif yaitu popularitas yang ditandai dengan menghabiskan banyak waktu untuk bekerja, dorongan batin untuk bekerja keras, dan sikap abai dari keluarga dan hubungan sosial lainnya.
Hal ini mengacu pada berbagai jenis pola perilaku, dengan masing-masing memiliki penilaian sendiri. Misalnya, gila kerja kadang-kadang digunakan oleh orang yang ingin mengekspresikan pengabdian mereka pada karier dalam hal-hal yang positif. "Pekerjaan" yang dimaksud biasanya dikaitkan dengan pekerjaan yang dibayar, tetapi juga dapat merujuk pada tujuan independen seperti olahraga, musik, seni, dan sains.
ADVERTISEMENT
Milenial khususnya — terutama fresh graduate sangat tertarik pada jenis gila kerja yang diagung-agungkan oleh budaya hiruk-pikuk. Ini semua tentang seberapa "sibuk" mereka, berapa juta hal yang mereka lakukan pada saat yang bersamaan. Hustle Culture telah menjadi standar bagi banyak orang untuk mengukur hal-hal seperti produktivitas dan kinerja mereka.
Masalahnya, budaya ini tidak sehebat yang dibayangkan. Ini berbahaya, baik bagi individu maupun lingkungan tempat kerja secara umum. Ini mungkin tampak seperti hal yang baik di atas kertas, tetapi dalam praktiknya, setidaknya ada banyak hal yang harus sangat berhati-hati.
Peneliti telah menemukan bahwa dalam beberapa kasus, aktivitas terkait pekerjaan yang tak henti-hentinya berlanjut bahkan setelah memengaruhi hubungan subjek dan kesehatan fisik. Salah satu penyebabnya dianggap kecemasan dan self-esteem. Lebih lanjut lagi, pecandu kerja cenderung memiliki ketidakmampuan untuk mempercayakan tugas kerja kepada orang lain dan cenderung memperoleh skor tinggi pada ciri-ciri kepribadian seperti perferksionisme.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dikatakan Elon Musk, CEO Tesla dan SpaceX ini, ia mempopulerkan budaya Hustle Culture untuk mendorong kalang muda bekerja lebih giat. Ketika ia memposting sentimen budaya pro-hustle-nya di Twitter, ia disambut dengan penentangan yang gigih. Satu orang mengatakan bahwa hal yang cerdas untuk dilakukan bukanlah bekerja lebih lama, tetapi bekerja secara efisien–menyelesaikan banyak hal dalam waktu yang lebih singkat.
Hustle Culture bukanlah tujuan akhir dari semua pekerjaan. Bahkan, jauh dari itu. Ada cara yang lebih baik untuk menyelesaikan sesuatu.

Bekerja Cerdas

Praktik terbaik adalah tidak hanya bekerja selama mungkin. Bekerja cerdas adalah salah satu cara yang meminimalisir waktu tanpa membuang energi. Bayangkan jika harus menyelesaikan tugas 5 jam, tetapi dapat diselesaikan dalam kurun waktu 3 jam saja. Dengan begitu, kita memiliki waktu luang untuk memeriksa kembali tugas dan dapat beralih ke tugas lain.
ADVERTISEMENT

Merangkul Keseimbangan Kehidupan Kerja

Pikiran yang segar adalah pikiran yang kreatif. Terus-menerus bekerja, di sisi lain menciptakan monoton dan kusam. Jadi pastikan untuk mengambil cuti — habiskan bersama keluarga, menjadi sukarelawan untuk tujuan yang baik, mengejar atau menemukan hobi baru, bepergian ke tempat yang bagus. Apa pun kecuali berbicara tentang pekerjaan. Buat waktu sendiri untuk menghibur dirimu agar kejenuhan menghilang. Hal ini memungkinkan pikiran kita untuk beristirahat dan mengisi ulang ketika kembali bekerja.
(Nida Silmi Tsauroh/Politeknik Negeri Jakarta)