Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Literasi Digital Sebagai Salah Satu Konsep Baru dalam Dunia Pendidikan Modern
22 Januari 2021 20:57 WIB
Tulisan dari Niken Ayu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Teknologi digital tak bisa dipungkiri memang mempengaruhi beragam sendi kehidupan manusia. Mulai dari pekerjaan rumah tangga sederhana seperti memasak hingga pekerjaan konstruksi berskala besar semua sangat tergantung pada teknologi. Sebagai hasil dari itu, masyarakat mau tidak mau tidak hanya mempelajari cara penggunaan teknologi-teknologi tersebut, akan tetapi juga belajar untuk saling berinteraksi satu sama lain; antara manusia dan teknologi, agar terjadi keseimbangan di antara keduanya. Dalam tahap mencapai keseimbangan tersebut, manusia secara tidak sadar telah mengembangkan kompetensi, keterampilan, dan sikap yang baru. Tiga poin di atas dapat digabungkan di bawah istilah “literasi digital”.
ADVERTISEMENT
Literasi digital oleh Gilster (1997) didefinisikan sebagai “Kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format dari berbagai sumber yang disajikan melalui komputer”. Kress (2003) menunjukkan bahwa layar yang ada pada gawai telah menjadi media komunikasi utama. Orang membutuhkan keterampilan membaca dan menafsirkan makna teks digital, simbol dan grafik (Gee, 2003). Menurut Lankshear dan Knobel (2003), orang memiliki jenis pengetahuan baru yang terkait dengan "praktik sosial yang jenuh secara digital".
Literasi digital dapat dianggap sebagai kerangka dari payung keterampilan, pengetahuan dan etika (Calvani, Cartelli, Fini, & Ranieri, 2008). Martin (2008) menggambarkan orang yang melek akan digital sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi, mengakses, mengelola, mengintegrasikan, mengevaluasi, menganalisis, dan mensintesis sumber daya digital. Menurutnya, literasi digital dapat dipahami dalam tiga tingkatan. Beberapa penulis menekankan aspek kognitif dan sosio-emosional sementara yang lain fokus pada keterampilan teknis (Eshet-Alkalai, 2004).
ADVERTISEMENT
Spires dan Bartlett (2012) telah membagi berbagai proses intelektual yang terkait dengan literasi digital menjadi tiga kategori: (a) mencari dan mengonsumsi konten digital, (b) membuat konten digital, dan (c) mengkomunikasikan konten digital. Ke tiga poin tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
A. Mencari Dan Mengonsumsi Konten Digital
Sangat penting untuk mengembangkan keterampilan dalam menemukan, memahami,dan mengkonsumsi konten digital yang tersedia diantara jutaan website di internet. Namun keterampilan tersebut tentunya harus dibarengi dengan sikap kritis untuk melihat tingkat keakuratan dan relevansi dari bacaan yang kita konsumsi melalui internet. Leu (2008) menjelaskan bahwa ada konsensus yang menyebutkan bahwa keterampilan pencarian website yang efektif harus dikembangkan untuk keberhasilan pendidikan dalam masyarakat digital.
B. Membuat Konten Digital
ADVERTISEMENT
Konten digital dapat dengan mudah dibuat oleh guru dan siswa melalui berbagai media dan berbagai alat Web 2.0. Penerapan konten digital mungkin merupakan metode yang penting dan efektif untuk meningkatkan pengajaran dan pembelajaran (Bakkenes, Vermunt, & Wubbles, 2010). Dengan meningkatkan kemampuan guru yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya teknologi modern, para siswa diharapkan dapat menjadi lebih kreatif dalam melakukan pembelajaran dengan sistem yang baru. Tak melulu harus terfokus pada hal-hal tekstual yang cenderung monoton. Peran guru di sini adalah sebagai pembimbing, fasilitator, dan pengarah siswanya dalam berkreasi, siswa dibebaskan untuk menyalurkan ide-idenya yang terkait dengan keterampilan sebagai masyarakat yang hidup di era teknologi dengan tetap memperhatikan batasan-batasan seperti norma dan etika.
ADVERTISEMENT
C. Mengkomunikasikan Konten Digital
Konten digital harus dikomunikasikan secara efektif agar menjadi media pendidikan yang bermanfaat. Menggunakan situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram mengharuskan pengguna untuk memahami dan memanipulasi informasi dalam berbagai format. Media yang digunakan untuk mengkomunikasikan konten digital harus bersifat sosial, partisipatif, kolaboratif, mudah digunakan, dan memfasilitasi pembuatan komunitas online.
Guru dan siswa diharapkan mampu mengkomunikasikan konten digital menggunakan perangkat mobile seperti handphone, komputer, dan tablet serta memberikan kemudahan dan kecepatan pada proses komunikasi antar guru dan siswa. Selain itu, media digital juga menyediakan akses ke kumpulan orang yang tak terbatas dan sumber daya konten digital secara global untuk memperkaya pengalaman belajar. Jenis komunikasi ini memberi kemungkinan lebih banyak penyesuaian dan personalisasi untuk minat dan kebutuhan masing-masing pelajar, yang berpotensi meningkatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran akademis.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari tiga poin yang dijelaskan di atas, literasi digital merupakan hal yang dibutuhkan dalam dunia modern yang sudah memasuki abad ke-21 ini. Banyak negara telah mulai untuk melakukan reformasi ulang dalam bidang pendidikan mereka. Menjadikan media digital sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan mutu pendidikan di negara mereka. Beberapa negara bahkan memasang standar dan kewajiban yang harus dilakukan siswa untuk mencapai literasi digital, di Australia misalnya, pada tahun 2008 mereka telah memulai apa yang disebut dengan “Revolusi Pendidikan Digital” untuk itu, mereka melengkapi sekolah, guru, dan siswa dengan teknologi yang diperlukan untuk menyediakan pendidikan digital yang berkualitas.
Selain Australia, Inggris juga merupakan salah satu negara yang memiliki Program Studi Komputasi (Departemen Pendidikan Inggris, 2013) sebagai bagian dari kurikulum nasionalnya, dengan tujuan agar “siswa menjadi melek teknologi digital — dapat menggunakan, dan mengekspresikan diri serta mengembangkan ide mereka melalui, informasi dan teknologi komunikasi — pada tingkat yang sesuai untuk tempat kerja di masa depan dan sebagai peserta aktif dalam dunia digital ”
ADVERTISEMENT
Literasi digital dapat digunakan dalam sebuah improvisasi untuk mengemasnya ke dalam sebuah bentuk yang lebih menarik minat pelajar untuk melakukan pembelajaran. Salah satunya melalui “literasi berbasis game”. Tentu saja, banyak pihak yang memiliki minat yang besar untuk menggunakan game komputer dalam pendidikan, pihak-pihak tersebut memahami game sebagai "alat bantu mengajar" yang netral. Untuk menggunakan permainan untuk mengajar bidang kurikulum lainnya, sampai saat ini, sebagian besar proposal untuk pengajaran yang berbasis game komputer di sekolah telah dikembangkan oleh banyak guru bahasa di berbagai belahan dunia, beberapa meminta bantuan dari pihak luar yang lebih kompeten dalam bidangnya untuk membantu realisasi ide dari para guru. Di Indonesia sendiri telah banyak dijumpai berbagai pengembangan game berbasis bahasa yang dapat diunduh dan dimainkan di komputer maupun perangkat telepon pintar yang lazim dimiliki di kalangan pelajar. Dengan demikian, para pengembang game cenderung menekankan aspek game yang paling mudah dengan masalah sastra tradisional dari guru bahasa tersebut, misalnya, dengan narasi atau konstruksi pendidikan karakter.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, literasi berbasis game adalah perwujudan dari konvergensi yang semakin mencirikan media kontemporer: permainan yang memanfaatkan buku dan film, begitu pula sebaliknya, sehingga identitas teks “asli” seringkali kabur. Pengguna (pemain, pembaca, pemirsa) harus mentransfer beberapa pemahaman mereka melintasi dan di antara media ini, dan sejauh ini masuk akal untuk berbicara tentang "literasi" yang beroperasi — dan dikembangkan — di seluruh media (Mackey, 2002).
Namun, menganalisis game hanya dalam hal dimensi representasi ini menghasilkan paling banyak sebagian akun. Misalnya, karakter dalam permainan berfungsi baik dalam cara tradisional sebagai representasi dari manusia (atau bukan manusia), dan sebagai titik akses ke tindakan si karakter; tetapi perbedaan krusial adalah bahwa mereka dapat dimanipulasi, dan dalam beberapa kasus diubah secara positif, oleh pemain. Ini menunjuk pada interpenetrasi yang diperlukan dari dimensi representasi dan ludis permainan; yaitu aspek-aspek yang membuat game dapat dimainkan (Carr, 2006). Lebih jauh lagi, dalam mengembangkan "literasi berbasis game" juga perlu memperhatikan aspek produksi dan pengguna (pemain, pembaca, pemirsa).
ADVERTISEMENT
Selain penggunaan permainan, alternatif lain yang dapat diambil untuk mengimprovisasi literasi digital adalah menggabungkannya dengan konsep digital storytelling. Para pelajar dapat meningkatkan kompetensi digitalnya dengan menguasai keterampilan dasar pembuatan media digital dengan perangkat teknologi selama tahap produksi kegiatan dari digital storytelling (Frazel, 2010; Ibrahim et al., 2013; Smeda et al., 2012). Sadik (2008) menunjukkan bahwa digital storytelling memungkinkan siswa untuk menggunakan teknologi baru dengan cara yang efektif, terutama ketika mereka terlibat dengan sumber daya digital dan alat pengeditan yang berguna untuk membuat cerita yang berkualitas.
Siswa dapat secara efektif mengembangkan literasi digital melalui kegiatan digital storytelling, misalnya menggunakan alat teknologi termasuk kamera, mikrofon dan perangkat lunak untuk mengedit video (Yuksel, Robin, & McNeil, 2011). Menurut Barber (2016), penggabungan elemen multimedia ke dalam digital storytelling mendorong kemampuan produksi dan pengeditan video. Siswa dapat mempelajari keterampilan mengedit video untuk membuat klip video untuk kegiatan mendongeng digital (Clark, Couldry, MacDonald, & Stephansen, 2015; Xu, Park, & Baek, 2011). Mereka juga dapat menggunakan berbagai media dan format untuk mempresentasikan ide dan untuk berbagi ide tersebut dengan orang lain dengan cara yang kreatif. Mendongeng digital diyakini bermanfaat bagi siswa. Beberapa manfaat yang dapat diambil dari kegiatan digital storytelling ini salah satunya adalah memberikan motivasi dan refleksi untuk pembelajaran yang lebih mendalam (Barrett, 2006; Sadik, 2008; Smeda et al., 2014). hal ini akan tampak pada saat pembelajaran ketika siswa diberikan tugas-tugas yang menantang untuk mengintegrasikan pembelajaran baru ke dalam pembelajaran sebelumnya (Moon, 1999). Siswa bekerja sama dalam menyusun tema dan mendongeng berdasarkan alur cerita yang telah ditentukan. Pembelajaran terjadi dalam penciptaan cerita ketika siswa mengkonstruksi alur cerita dan menceritakan kisah berdasarkan tema (McDrury & Alterio, 2003). Pembelajaran mendalam terjadi ketika siswa mencoba menghubungkan ide dengan pengetahuan dan pengalaman mereka sebelumnya dan memeriksa logika dan argumen dengan hati-hati (Weigel, 2002). Oleh karena itu, refleksi pembelajaran yang mendalam akan menjadi salah satu manfaat pedagogis dari mendongeng digital (Barrett, 2006; Moon, 1999; Weigel, 2002).
ADVERTISEMENT
Di luar manfaat pedagogis tersebut secara tidak langsung para siswa telah mengembangkan skill dan kemampuan mereka dalam hal-hal yang berkaitan dengan multimedia. Sebagai contoh kemampuan mengedit video dan mengintegrasikan cerita yang akan disajikan kepada para pendengar agar maksud dari siswa sebagai penyampai cerita dapat tersampaikan dengan jelas benar, yang berarti juga mengembangkan kemampuan dalam aspek penyusunan cerita mereka.
Sebagai penutup, literasi digital telah mempengaruhi berbagai sendi dalam pendidikan kontemporer. Informasi tersedia bagi siswa, dan guru dapat digunakan untuk mengajari siswa, terutama remaja, cara menggunakan informasi ini secara efektif, etis, dan bertanggung jawab. Terlihat dengan jelas pula bahwa literasi digital telah sangat mengubah pendidikan modern. Berbagai macam metode pembelajaran terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Literasi berbasis game dan digital storytelling merupakan beberapa contoh bagaimana dunia pendidikan terus berkembang untuk menggembangkan kompetensi, keterampilan, dan sikap yang dimiliki oleh para siswa di abad 21.
ADVERTISEMENT