Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Tax Amnesty: Peluang atau Kegagalan?
8 Februari 2025 18:57 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Niken Kurniasih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Program tax amnesty kembali menjadi sorotan nasional setelah munculnya wacana Tax Amnesty Jilid III, membuka pintu lebar bagi Wajib Pajak untuk melaporkan dan mengungkapkan harta yang belum tercatat tanpa khawatir akan terkena sanksi berat.
ADVERTISEMENT
Di tengah isu yang sedang naik, program tax amnesty justru menuai polemik. Beragam reaksi publik hadir menanggapi program ini. Beberapa menilai kebijakan ini kurang efektif untuk diterapkan dan berpotensi merugikan negara triliunan rupiah akibat tarif tebusan yang dinilai terlalu ringan. Namun, apakah keresahan publik ini terbukti benar?
Pajak, seperti yang umumnya diketahui, merupakan instrumen fiskal yang memberikan kontribusi besar sebagai sumber pendapatan negara. Pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat sangat bergantung pada penerimaan pajak. Oleh karena itu, perpajakan diatur sedemikian rupa untuk memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat sebagai Wajib Pajak. Tak terkecuali aturan mengenai tax amnesty.
Secara umum, tax amnesty adalah kebijakan yang tidak hanya digunakan pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak, tetapi juga mendongkrak penerimaan negara demi menopang pembangunan. Tax amnesty memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melaporkan harta yang belum atau kurang dilaporkan dengan membayar tebusan (redemption fee) tertentu.
ADVERTISEMENT
Sejarah Tax Amnesty di Indonesia
Jika dilihat dari historisnya, pemberlakuan tax amnesty telah dilakukan sebanyak lima kali. Pertama kalinya ditetapkan pada tahun 1964 di bawah pemerintahan Soekarno untuk menggalang dana Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Pada tahun 1984, Presiden Soeharto menggelar pengampunan pajak guna mengatasi krisis akibat penurunan harga minyak, namun gagal mencapai target akibat minimnya sosialisasi dan sistem perpajakan yang belum matang.
Selanjutnya, di era reformasi pada tahun 2008, kebijakan serupa bernama Sunset Policy (2008), berfokus pada penghapusan sanksi administrasi, meski dampak jangka panjangnya terbatas. Kemudian pada Pemerintahan Jokowi, kembali diluncurkan tax amnesty pada tahun 2016-2017 dengan skema tiga periode dan dilanjutkan dengan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Realisasi program tax amnesty tahun 2016-2017 berhasil mengumpulkan uang tebusan Rp130 triliun, deklarasi aset Rp4.813,4 triliun, dan repatriasi Rp146 triliun. Meskipun demikian, capaian target repatriasi masih terbilang cukup kecil, yaitu hanya sebesar 14,6% dari target Rp1.000,00 triliun. Begitu juga dengan realisasi repatriasi pada Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Repatriasi aset yang tetap rendah ini mencerminkan tantangan struktural dalam menarik dana dari luar negeri. Kedua program ini menegaskan bahwa tax amnesty lebih efektif sebagai instrumen perluasan basis data ketimbang repatriasi.
Wacana RUU Pengampunan Pajak
Gagasan tax amnesty kembali mencuat setelah diisukan akan kembali dijalankan pada pemerintahan Presiden Prabowo. DPR membahas rancangan undang-undang untuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada masa pemerintahan Prabowo-Gibran tahun 2025-2029 bulan November lalu. Tax amnesty pun tak luput dari perhatian. Lewat surat yang dikirim oleh Komisi XI DPR, disebutkan bahwa amnesti pajak diajukan untuk menjadi Prolegnas Prioritas 2025 lewat dibentuknya RUU Pengampunan Pajak.
ADVERTISEMENT
Hingga kini gagasan program tax amnesty masih dibahas oleh Kementerian Keuangan bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, sebagaimana dikonfirmasi Menko Polhukam dalam Konferensi Pers Rapat Tingkat Menteri Desk Koordinasi Pencegahan Korupsi, Januari lalu. Dijelaskan juga bahwa dengan adanya kebijakan ini nantinya, tidak akan mengurangi komitmen pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Pembahasan mengenai pengampunan pajak ini merupakan isu yang rumit. Di satu sisi, tax amnesty memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengungkapkan kekayaan yang belum tercatat sekaligus guna menumbuhkan kesadaran kewajiban perpajakan. Sedangkan di lain sisi, kebijakan ini dinilai timpang sebelah karena memberikan ketidakadilan bagi Wajib Pajak yang telah patuh.
Jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, program amnesti pajak juga membawa dampak moral hazard. Kebijakan ini memberikan pengampunan atau keringanan bagi Wajib Pajak yang sebelumnya menghindar dari kewajiban perpajakan, sehingga menciptakan ekspektasi bahwa pelanggaran aturan mungkin tidak akan dikenai sanksi di masa depan. Hal ini mengurangi efek jera dari sanksi hukum dan administratif, mendorong perilaku oportunistik di mana wajib pajak mungkin sengaja menunda atau menghindari pembayaran pajak dengan harapan akan ada amnesti berikutnya.
ADVERTISEMENT
Melihat dari rekam jejak capaian tax amnesty sebelumnya, wacana kebijakan baru ini juga seharusnya menjadi bahan pertimbangan yang krusial bagi para pemegang kekuasaan terkait. Akankah program tax amnesty ini perlu dijalankan kembali pada masa yang mendatang sebagai optimalisasi penerimaan negara ataukah sebaiknya dicukupkan?
Pada akhirnya, keberlanjutan mengenai kebijakan mengenai tax amnesty merupakan hasil akhir dari para pemegang wewenang. Guna memastikan kesuksesan program tax amnesty di masa mendatang, pemerintah perlu merancang regulasi yang komprehensif dan tepat sasaran untuk mengawal keberlangsungan program secara efektif. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat menjadi kunci utama dalam mengoptimalkan langkah ini. Kesadaran kolektif dan partisipasi seluruh pemangku kepentingan dinilai vital guna menciptakan kepatuhan pajak yang transparan dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT