Konten dari Pengguna

Memahami Dampak Hukum Mas Kawin Palsu terhadap Pernikahan

Niken Anggraheny
Mahasiswi Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2022
29 April 2024 23:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Niken Anggraheny tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
https://images.pexels.com/photos/20654843/pexels-photo-20654843/free-photo-of-pria-laki-laki-lelaki-wanita.jpeg?auto=compress&cs=tinysrgb&w=400
Mahar atau mas kawin yang menjadi istilah sebutan bagi masyarakat Indonesia merupakan pemberian dari mempelai pria kepada seorang wanita yang dinikahinya. Nantinya mahar tersebut akan menjadi hak milik istri secara penuh. Dalam praktiknya, sebenarnya tidak ada sebuah batasan khusus untuk besaran sebuah mahar dalam pernikahan Islam. Mahar sebaiknya tidak memberatkan calon suami dan haruslah sesuai dengan kadar kemampuan suami, karena pada dasarnya mahar yang diberikan tersebut termasuk sebuah tanda kesanggupan calon suami untuk menafkahi istrinya nanti. Jika memang suaminya seorang yang mampu, maka tidak ada salahnya memberikan mahar yang tinggi untuk menyenangkan hati istrinya. Namun jika ia seorang yang kurang mampu maka pihak istri harus ridha dengan mahar yang disanggupi pihak suami.
ADVERTISEMENT
Pembahasan mengenai mahar di kalangan 4 Imam Madzhab yang memiliki pendapat berbeda hanyalah Imam Malik, beliau mewajibkan adanya 2 pemberian mahar yaitu Zawaj bil Mahr dan Zawaj bil Tafwidh. Jadi, hanya Imam Malik yang mewajibkan memberi mahar pada saat akad, meskipun bukan mewajibkan secara mutlak. Sedangkan ketiga madzhab lainnya atau Jumhur Ulama, mereka tidak mengharuskan pada saat akad harus ada maharnya. Karena menurut mereka mahar tidak termasuk rukun dan syaratnya nikah, akan tetapi harus diberikan setelahnya yaitu berupa mahar mitsil (mahar yang serupa atau sesuai dengan mahar yang biasa diterima pihak keluarga istri atau umumnya di daerah tersebut). Dalam hal pernikahan sebetulnya para ulama sama – sama mengharuskan memberikan mahar, meskipun cara memberinya berbeda.
https://images.pexels.com/photos/265856/pexels-photo-265856.jpeg?auto=compress&cs=tinysrgb&w=1260&h=750&dpr=1
Mas kawin yang biasa digunakan masyarakat Indonesia dalam pernikahan adalah cincin emas atau perhiasan lainnya. Dalam ukuran mahar itu tidak ada batasannya, terpenting bernilai dan bermanfaat bagi si istri. Lalu bagaimana dengan hukum pernikahan yang apabila mas kawin berupa perhiasan emas tetapi emasnya palsu?. Dalam hal ini terdapat dua kemungkinan emas itu palsu. pertama, suaminya ditipu oleh toko emas dan yang kedua memang itu niat dari suami untuk menipu dan berbohong.
ADVERTISEMENT
Hukum Pernikahan dalam permasalahan yang apabila mas kawinnya berupa emas atau barang palsu. Hukum nikahnya tetap sah, namun maharnya wajib diganti. Keputusan dalam digantinya mahar itu ada di tangan istri. Istri bebas dan berhak untuk meminta ganti, merelakan, atau bahkan juga bisa menjadi alasan pembatalan nikah oleh Majelis Hakim apabila mengajukan gugatan. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. an-Nisa ayat 4 sebagai berikut:“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Kompilasi Hukum Islam yang merupakan pedoman atau undang – undangnya masyarakat beragama Islam juga telah mengatur tentang mahar dalam Pasal 30 KHI yang menyebutkan yakni: “Bahwa calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.”
ADVERTISEMENT
Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa memberikan mahar adalah wajib, artinya laki-laki yang mengawini perempuan wajib menyerahkan maharnya kepada calon istrinya sebagai simbol kasih sayang dan berdosa bagi calon suami yang tidak menyerahkan mahar kepada calon istrinya. Yang perlu digaris bawahi dalam permasalahan di atas adalah antara sahnya pernikahan dan hak perempuan yang harus ditunaikan. Mahar itu hak istri yang harus ditunaikan oleh suami, sedangkan sahnya pernikahan tidak berkaitan dengan hal itu.