Konten dari Pengguna

Tone Policing, Fenomena Seseorang Lebih Perhatikan Nada Bicara

Nilta Kamila A Haris
Undergraduate Public Health Student (UNAIR) - BEM FKM UNAIR - @mentaripsycenter.id
21 April 2023 16:52 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nilta Kamila A Haris tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan marah-marah. Foto: Rachata Teyparsit/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan marah-marah. Foto: Rachata Teyparsit/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kalian pernah gak sih, merasa terintimidasi karena nada bicara? Disaat kalian ingin menyampaikan sesuatu, tetapi yang dikomentari adalah nada bicara. Entah menurut mereka nadanya terlalu tinggi, nadanya seperti marah, hingga menyuruh kita menurunkan nada bicara karena tidak pantas.
ADVERTISEMENT
Apakah kalian pernah berdebat atau berargumen, tetapi malah bersikap menghakimi kalian karena nada bicara kamu yang menurut mereka tidak pantas?
Fenomena ini disebut tone policing. Menurut Wikipedia tone policing adalah ketika sebuah argumen ditolak atau diterima dalam presentasinya biasanya dianggap histeria atau kemarahan.
Tone policing terjadi pada situasi tertentu di mana orang akan mengomentari nada bicara atau cara penyampaian suatu pembicaraan ketimbang isi konteks pembicaraan tersebut. Ini bermaksud ‘menyuruh’ lawan bicara untuk merendahkan suaranya, jangan terlalu marah, dan lainnya.
Ilustrasi rasis. Foto: Getty Images
Awalnya ini terjadi pada orang-orang yang pada masa lalu yang tertindas dan fenomena ini berkaitan dengan racism. Dahulu saat kaum kulit hitam menyuarakan pendapat demi terhindar dari penindasan, mereka dianggap ‘terlalu marah’, ‘nada bicara terlalu tinggi’ dan lainnya oleh kaum kulit putih. Kaum kulit putih malah mengomentari nada bicara serta tidak fokus pada topik penindasan dan ketidakadilan yang dibicarakan.
ADVERTISEMENT
Tone policing mengutamakan kenyamanan dari orang yang memiliki hak istimewa atas penindasan orang yang kurang beruntung serta yang paling merusak itu menempatkan prasyarat untuk didengar dan dibantu (Ijeoma Oluo, 2018).
Seseorang yang ingin angkat bicara, tentu membutuhkan banyak keberanian untuk melawan penindasan ini. Banyak orang yang terpinggirkan serta harus menderita dan takut untuk angkat bicara karena mereka merasa tidak akan ada yang memercayai atau mendengar cerita mereka terutama pada saat ada rasa kekecewaan atau kemarahan.
Maka seseorang akan cenderung memikirkan apa yang akan orang lain reaksikan jika mereka meluapkan emosinya. Tone Policy hanya semakin menindas orang-orang yang sudah terpinggirkan terlebih lagi pada perempuan yang sudah banyak mengalami penindasan dari masyarakat.
Ilustrasi istri marah dengan suami. Foto: Kmpzzz/Shutterstock
Tone policing juga mengatur emosi gender di mana akan memperkuat stereotype seperti perempuan harus berbicara lembut dan perempuan tidak boleh emosional. Jika ini terus berlanjut akan merugikan kaum terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Itu membuat mereka tidak bisa leluasa dalam meluapkan amarah karena adanya ketidakadilan dan penindasan yang tidak masuk akal. Sedangkan ini bisa menguntungkan bagi kaum yang memiliki hak istimewa.
Mereka akan leluasa juga dalam menghindari percakapan yang membuat mereka tidak nyaman terutama mengenai kekuasaan dan dominasi. Mereka yang seperti itu adalah orang-orang yang tidak peduli terhadap masalah yang ada bahkan tidak ada kemauan untuk mencari solusi bersama.
Perempuan sering kali mengalami pembungkaman karena kebijakan bahasa dan nada. Disaat perempuan sibuk dengan memperjuangkan hak-hak nya mungkin salah satu di antaranya akan memberi komentar bahwa perempuan-perempuan ini ‘terlalu marah’.
Ilustrasi wanita bahagia. Foto: Look Studio/Shutterstock
Di saat ada orang yang tiba-tiba diberlakukan di luar konteks seperti mengomentari nada bicara atau cara penyampaian akan menimbulkan rasa tidak nyaman dan penuh ragu pada orang yang sedang berbicara. Orang tersebut akan merasa dirinya terlalu lebay, terlalu emosional, dan gaslighting lawan bicara.
ADVERTISEMENT
Kita tahu bahwa kesedihan, kemarahan, frustrasi, hingga rasa sakit hati, merupakan hal yang wajar. Apalagi jika kita diperlakukan tidak enak dan semena-mena Sudah sewajarnya manusia jika ingin mengekspresikan rasa sakit hati tersebut. Namun nyatanya di masyarakat, emosi-emosi tersebut dianggap konotasi yang negatif sehingga tidak perlu dilepaskan.
Fenomena ini membuat para perempuan tidak berani untuk mengekspresikan segala bentuk ekspresi. Contohnya disaat perempuan benar-benar marah ia akan cenderung diam. Karena mereka sudah banyak di ‘ejek’ perempuan tidak boleh menaikkan nada suaranya.
Bagi mereka marah adalah sebuah kesalahan. Jikalau marah nantinya akan ada yang nyeletuk ‘gila’ hingga ‘perempuan yang tidak berpendidikan’, ‘perempuan tidak ada adab’, dan lainnya. Sehingga, perempuan yang berhak marah pun akhirnya tidak bisa mengeluarkan amarahnya malah harus mengerti keadaan sekitarnya.
Ilustrasi wanita berteriak atau marah. Foto: Shutterstock
Perempuan tidak bisa marah karena takut akan judge yang akan mereka terima, hingga merasa takut tidak didengar jika marah. Lingkungan seperti ini membuat para perempuan seakan-akan tidak boleh memiliki emosi negatif.
ADVERTISEMENT
Perempuan dituntut selalu ceria, senyum, bahagia, dan menyesuaikan kenyamanan orang lain. Padahal perempuan juga manusia yang berhak untuk berekspresi. Namun, di masyarakat masih mempercayai perempuan tidak boleh kasar.
Pada dasarnya banyak beranggapan emosi dan alasan tidak hidup berdampingan. Asumsi yang menyebutkan bahwa diskusi yang wajar tidak bisa meluapkan emosi adalah salah. Sebagai manusia tentu kita juga berhak meluapkan emosi.
Di saat kamu melakukan tone policing di sini kamu menyiratkan bahwa perasaan kamu sebagai lawan bicara daripada pengalaman atau pendapat mereka di mana di sini kamu belum sepenuhnya aware. Setiap argumen yang keluar tidak menjadi kurang valid jika disampaikan dengan ‘ tidak sopan’.
Ilustrasi berbicara dengan suara nyaring Foto: Shutter Stock
Selagi argumen yang keluar adalah valid maka pada nada atau cara penyampaian tidak pengaruh. Sudah saatnya selama argumen atau pendapat kita benar, jangan takut untuk mengeluarkan suara atau pendapatmu. Reaksi yang tepat jika kamu berada di situasi seperti ini adalah hanya mendengarkan, memeriksa di mana kamu, dan bagaimana kesalahan kamu.
ADVERTISEMENT
Sebagai manusia kita harus tetap aware terhadap sikap. Bagaimana kita mengetahui logat daerah tertentu, bahasa daerah tertentu itu penting sekali. Kita harus aware terlebih dahulu lalu bisa mengidentifikasi.
Jadi, kita tidak terburu-buru mengartikan seseorang tersebut marah besar. Selain itu juga kita harus memahami tingkatan emosi yang sering diungkapkan masyarakat sekitar terlebih lagi pada forum politik atau forum resmi lainnya.
Kuncinya adalah selama kita tidak salty terhadap komentar orang lain di sana, tetaplah percaya diri untuk speak up. Tidak hanya memberanikan diri untuk mengungkapkan emosional kita, maka hubungan timbal balik nya adalah kita juga harus memberikan tempat untuk orang lain atau lawan bicara kita mengungkapkan emosi mereka juga.