Konten dari Pengguna

Teror Kuyang di Desa Kalimantan

Nina Hadiyanti Nurchasanah
MomPreneur yang merangkap menjadi freelance writer
12 Oktober 2022 21:59 WIB
comment
30
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nina Hadiyanti Nurchasanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kisah ini diceritakan oleh nenek tetanggaku. Sebut saja dia nenek Nur, dimana kejadiannya ketika dia ikut suaminya yang berprofesi sebagai dokter bertugas di pedalaman Kalimantan Timur, tepatnya di Bontang. Sebuah daerah yang masih kental dengan adat istiadatnya, yaitu adat Kutai, dengan dataran berbentuk perbukitan yang dikelilingi hutan lebat dan sungai yang di atasnya terdapat jembatan yang sudah rapuh dimakan usia. Rumah-rumah penduduk di sana berbentuk rumah panggung, sebagian rumah juga terbuat dari kayu. Dan nenek Nur tinggal di rumah kayu, yang sudah disediakan oleh warga di sana. Untuk masalah buang air, mayoritas warga menggunakan jamban, sebuah bilik yang pembuangannya langsung ke sungai. Sedangkan untuk mandi dan mencuci dilakukan warga di tempat pemandian umum yang airnya berasal dari atas bukit.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, di sana belum ada listrik atau penerangan. Sehingga warga biasa menggunakan obor atau lampu petromax dengan spirtus sebagai bahan bakarnya. Pun hiburan yang biasa dilakukan warga adalah dengan menggelar seni pertunjukan ataupun tari karena belum adanya televisi dan radio. Suatu hari, nenek Nur merasa bosan di rumah dan mengajak suaminya untuk berjalan-jalan selepas sore menjelang maghrib. Setibanya maghrib, suami nenek Nur berhenti di masjid untuk menunaikan ibadah sholat maghrib, sedangkan nenek Nur merasa tenang-tenang saja karena dia sedang tidak sholat.
Senja indah yang mulai berganti malam membuat nenek Nur sedikit bergidik karena mulai gelap. Ia berjalan sedikit untuk melihat keadaan sekitar. Lumayan seram, karena di ujung jalan tampak hutan lebat yang sangat sepi dan gelap. Kemudian dia duduk di atas jembatan yang di bawahnya mengalir sungai yang sangat panjang. Tak ada lampu.
ADVERTISEMENT
"Nur..." Panggil seseorang membuat nenek Nur merinding, tapi ketika ia menoleh ke kanan dan ke kiri tak ditemukan siapapun
"Si-siapa?" Jawab nenek Nur sambil ketakutan. Ingin rasanya membaca doa apapun yang dia hapal, tapi nyatanya lidahnya kelu karena ketakutan.
"Nur......" Panggilnya lagi. Namun kini bercampur dengan bau anyir menyeruak ke hidung nenek Nur. Dia kemudian melihat ke kolong jembatan, banyak bayangan hitam bergelantungan di sana.
"Astaghfirullah.... Mass!!!" Teriak nenek Nur memanggil suaminya dan langsung lari ke arah masjid.
Banyak kepala bergelantungan di jembatan itu tanpa usus. Dan terlihat sangat menyeramkan.
"Kenapa, Nur?" Tanya suami nenek Nur cemas.
"Kepala... Di situ banyak banget kepala" keluh nenek Nur.
ADVERTISEMENT
"Dimana?" Tanya suami nenek Nur sambil mendongakkan kepalanya, nampaknya ia juga penasaran.
"Di bawah jembatan." Jawab nenek Nur sambil memeluk tubuhnya sendiri yang serasa panas dingin.
"Memangnya kamu ngapain, Nur? Kok bisa lihat kepala?" Tanya suami nenek Nur.
"Duduk di situ sebentar," jawabnya
"Hus, jangan ditunjuk, gak baik". Kata salah seorang warga yang ikut menghampiri.
"Kalian tau tidak? Di Kalimantan ini memang kebanyakan jembatan menggunakan tumbal kepala". Lanjut warga yang membuat nenek Nur semakin ketakutan.
"Tinggal di sini memang banyak hal-hal mistis yang tidak masuk akal, kalian harus kuat mental. Belum lagi teror kuyang yang biasa mengincar darah ibu yang baru melahirkan dan ari-ari bayi". Imbuhnya lagi.
ADVERTISEMENT
****
Selepas kejadian "hantu kepala" dan juga peringatan warga, nenek Nur lebih memperbanyak ibadah agar terhindar dari teror-teror mistis yang mungkin saja terjadi.
Sampai pada suatu malam, nenek Nur pergi bersama warga di desanya untuk menonton pertunjukan tari di desa sebelah, sebut saja desa A. Panggung pementasan dibuat di bawah bukit. Jadi pemandangan di atas bukit masih dapat dilihat meskipun samar-samar.
Di desa kami saat itu belum ada jam yang menunjukkan waktu. Jadi warga masih menggunkan perkiraan berdasarkan matahari terbit, matahari tinggi dan matahari tenggelam. Menurut nenek Nur kehebohan terjadi kira-kira hampir tengah malam, disaat pertunjukan hampir selesai. Saat itu dari arah hutan menuju ke arah bukit terlihat sesosok kepala dengan rambut panjang terurai yang hampir menutupi sebagian wajahnya berikut dengan organ dalam tubuhnya dengan darah yang berceceran, berbau anyir dan melayang cepat. Kuyang, begitu warga kami memanggilnya. Sontak hal itu membuat warga panik dan berlarian mengejarnya. Kentongan pun dibunyikan tanda ada bahaya. Warga beramai-ramai berjaga malam takut kuyang itu berbuat ulah kepada ibu hamil, ataupun anak-anak bayi di desa.
ADVERTISEMENT
Matahari mulai menampakkan sinarnya, seketika itu warga melakukan rapat desa untuk menindaklanjuti kejadian semalam. Akhirnya oleh sesepuh desa tersebut, direncanakan untuk mencari sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk. Kemudian warga beramai-ramai pergi ke atas bukit. Terdapat beberapa tetes darah yang sudah mengering di tanah, bebatuan, dan beberapa dahan dan dedauan. Akhirnya atas kesepakatan warga, pada bekas darah tersebut ditetesi perasan jeruk nipis. Tak membutuhkan waktu lama, seorang penari cantik dari salah satu pertunjukan, kira-kira berusia 27 tahunan datang sambil memegang lehernya seperti orang yang sedang kesakitan. Terungkaplah bahwa dia adalah sosok mengerikan tadi malam.
Wanita itu, sebut saja namanya Melati diarak menuju balai desa. Di sana Melati diintrogasi oleh sesepuh dan para petua desa. Di situ Melati mengakui menganut ilmu hitam dengan niat agar terlihat cantik agar rejeki mengalir drastis. Nenek Nur mengatakan memang pada saat itu Melati adalah penari paling disukai warga karena kecantikannya dan paling sering disewa warga untuk tampil. Melati bercerita, jika ada ibu-ibu hamil yang akan melahirkan, secara reflek hidungnya akan mencium bau harum yang membuat darahnya berdesir kelaparan. Dia mengakui hanya menghisap darah dari ari-ari bayi, ataupun meminum darah nifas si ibu. Dia bersumpah tidak pernah mencelakai atau membunuh korbannya. Melati akan menunggu di bawah panggung rumah, dimana ketika orang-orang lengah, dia pun akan menghisap ari-ari tersebut dan meminumnya, sehingga ari-arinya terlihat pucat dan bersih tanpa gumpalan darah.
ADVERTISEMENT
Atas keputusan bersama, Melati mendapat hukuman dimana dia beserta keluarganya harus pergi meninggalkan desa. Dengan berat hati, Melati akhirnya pergi entah kemana.
****
Sudah sekitar 2 tahun nenek Nur dan suaminya tinggal di desa ini, enam bulan lagi waktunya suami mengakhiri tugas pengabdiannya di desa tersebut. Kabar gembira juga menghampiri nenek Nur, karena dia juga sedang mengandung anak pertamanya saat itu. Bertepatan dengan nenek Nur yang sedang mengandung, datanglah seorang bidan yang berasal dari kota untuk bertugas di desa tersebut, sebut saja dia bidan Ida, sama seperti suami nenek Nur, bidan Ida juga akan melakukan pengabdiannya kurang lebih 2.5 tahun di desa tersebut. Suami nenek Nur bilang bidan Ida ini sudah cukup tua untuk melakukan tugas pengabdiannya di desa terpencil.
ADVERTISEMENT
Nenek Nur menyambut antusias adanya bidan di desa ini, karena dia tak perlu jauh-jauh ke kota untuk memeriksakan kandungannya. Kemudian dia berencana selepas maghrib untuk memeriksakan kehamilannya ke rumah bidan Ida yang terletak di ujung bukit.
Menakutkan. Itulah kesan pertama nenek Nur ketika bertemu dengan bidan Ida. Bagaimana bisa orang yang sudah cukup tua menurut suaminya itu memiliki kulit halus tanpa keriput, wajah cantik, mata coklat namun memiliki sorot yang tajam, rambut hitam bercampur putih terurai lebat dan badan yang bagaikan gadis. Senyumnya seperti sedang menyeringai. Dan nenek Nur melihat garis leher bidan Ida yang berbeda dari orang pada umumnya. Jika garis leher kita terlihat samar, bidan Ida terlihat garis terang berwarna kecoklatan dan terlihat mencolok. Namun tutur katanya sangat halus dan ramah. Sehingga nenek Nur mengabaikan pikiran buruk di benaknya. Pemeriksaan pun berlanjut, alhamdulillah janin dalam kandungan nenek Nur tumbuh baik dan sehat.
ADVERTISEMENT
Sebulan kemudian, tiba waktunya kunjungan kedua ke bidan Ida, karena malam itu suami nenek Nur sedang ada panggilan untuk mengobati warga yang sedang sakit, berangkatlah nenek Nur sendirian ke bidan Ida. Nenek Nur dipersilahkan menunggu sebentar karena sedang ada pasien melahirkan di ruangan. Nenek Nur mendengar erangan dari sang ibu namun seketika berubah menjadi tangis bahagia karena terdengarlah suara bayi menangis, pertanda bayi telah dilahirkan dengan selamat.
Entah karena hembusan angin malam yang kencang atau memang ada energi negatif, perasaan nenek Nur tak tenang. Dia juga merasa ingin buang air kecil dan menujulah ke jamban yang terletak di belakang rumah bidan Ida. Begitu berjalan ke belakang, betapa kagetnya nenek Nur tak sengaja memergoki bidan Ida menghisap ari-ari di jamban belakang, namun dengan tubuh yang lengkap. Nenek Nur langsung lari tunggang langgang menjauhi rumah bidan Ida. Dia tak sempat melihat apakah bidan Ida mengetahui bahwa nenek Nur melihat bidan Ida makan ari-ari bayi baru lahir tersebut. Semua bayangan langsung berkecamuk di kepala nenek Nur, fisik bidan Ida yang tak sesuai umurnya, tanda di leher yang terkesan janggal sampai pekerjaan bidan Ida yang sangat dekat dengan ibu-ibu hamil. Sesampainya di rumah, nenek Nur merasa sangat mual, muntah sampai berkali-kali dan lemas tak berdaya. Dia langsung menceritakan kejadian yang baru saja dilihatnya pada suaminya. Akhirnya mereka memutuskan keesokan harinya untuk memulangkan nenek Nur ke rumah ibunya di kota dan sang suami melanjutkan pengabdian tugasnya yang hanya tinggal beberapa bulan lagi di desa tersebut.
ADVERTISEMENT
*TAMAT*