Konten dari Pengguna

Harapan Buruh Tani dan Bangku Sekolah Anaknya

Nindi Widya Wati
Mahasiswi jurnalistik dari Politeknik Negeri Jakarta
17 Juli 2021 8:07 WIB
·
waktu baca 1 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nindi Widya Wati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Buruh tani sedang menanam bibit padi. Foto: Nindi Widya Wati
zoom-in-whitePerbesar
Buruh tani sedang menanam bibit padi. Foto: Nindi Widya Wati
ADVERTISEMENT
Kesuksesan dan kebahagiaan seorang anak turut menjadi rasa syukur setiap orang tua. Ketika melihat tiap fase hidup dari putra-putrinya. Sosok seorang ibu selalu mendoakan perihal apapun yang menjadi kebaikan untuk keluarga terlebih anak-anaknya. Bahkan, turut bekerja keras membanting tulang untuk mewujudkan harapan anak juga tak segan untuk dilakukan.
ADVERTISEMENT
Hal serupa juga tercermin dari mereka, para ibu yang sehari-hari bekerja menjadi buruh tanam bibit padi di sawah. Penghujan merupakan waktu pertanda menjelang musim tanam padi. Hal yang ditunggu dengan sangat antusias oleh para buruh tandur (penanam bibit padi dalam Bahasa Jawa).
Siang yang teramat panas , sewaktu saya mengirim makan siang untuk kakek di sawah. Matahari terik, seperti di atas kepala rasanya. Namun, ketika menyusuri pematang sawah pandangan mata justru teralihkan, oleh para buruh tandur paruh baya yang meskipun hampir tengah hari masih harus menanam bibit padi. “Ayo istirahat dulu, makan siang Bude,” sapa ku kepada ibu-ibu yang masih betah berada di tengah sawah.
Sawah dengan ukuran yang cukup luas, memang bukan milik para buruh tandur tersebut. Mereka hanya sekadar menjadi pekerja, yang dibayar harian oleh pemiliknya. “Berangkat biasanya sebelum matahari terbit, supaya bisa segera selesai menanam,” ucap Bude Salamah sembari memastikan bibit yang telah ditanamnya tidak berantakan.
ADVERTISEMENT
Rasa bersyukur selalu menjadi batas untuk melihat rezeki yang diberikan oleh Tuhan, begitu pula oleh para buruh tandur. Berusaha tidak membandingkan hidup dengan kepunyaan orang lain. Tak mengapa jika hidup harus diawali dengan berangkat pagi buta. Bahkan, menginjakkan kaki pada pekatnya lumpur sawah yang membuat langkah kaki menjadi sangat berat. Sebab, bagi mereka sangatlah percuma jika hidup diukur dengan penggaris milik orang lain.
Bagi para buruh tandur, jika dapur tiap pagi bisa mengebul serta kebutuhan anak dapat selalu terpenuhi. Perasaan kurang seperti tiada maknanya. “Meskipun ibunya cuma jadi buruh tandur, tapi … anak-anaknya kalau bisa harus kuliah,” hal tersebut menjadi harapan serta doa dari Bude Lastri, ibu dari anak yang memasuki semester dua perkuliahan. Jika orang tua hanya mampu sampai bangku sekolah dasar, maka untuk putra-putrinya harus bisa mendapatkan pendidikan lebih layak.
ADVERTISEMENT
Boleh saja hanya hamparan sawah, suara jangkrik, serta kaki penuh lumpur yang menjadi pemandangan para buruh tandur. Namun, setiap waktu harapan serta doa agar anak-anaknya menjadi orang yang lebih sukses selalu menggema sampai ke langit. “Selalu percaya doa sama usaha mbak, itu yang jadi pegangan,” ucap para buruh tandur yang perlahan menyelesaikan pekerjaannya.
Masa depan cerah untuk putra-putrinya coba disajikan oleh mereka para buruh tandur. Sangat percaya bahwasanya sukses bukan hanya milik para orang kaya dan berada. Namun, juga dapat menjadi hal nyata bagi orang-orang yang terus sabar, dan bersungguh-sungguh.
Nindi Widya Wati
Politeknik Negeri Jakarta