Konten dari Pengguna

Bakpia Tradisional: Warisan Kuliner Yogyakarta yang Tak Lekang oleh Waktu

Nindita Aulia Choirunnisa
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
20 Januari 2025 15:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nindita Aulia Choirunnisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pembuatan bakpia tradisional di Pasar Ngasem. Kredit foto: Nindita Aulia
zoom-in-whitePerbesar
Pembuatan bakpia tradisional di Pasar Ngasem. Kredit foto: Nindita Aulia
ADVERTISEMENT
Di balik hiruk-pikuk Kota Yogyakarta yang kental akan nuansa budaya dan pariwisata, ada satu kudapan legendaris yang sampai saat ini terus menjadi ikon kuliner daerah ini, bakpia. Meski saat ini Yogyakarta dipenuhi oleh berbagai merek bakpia modern dengan banyaknya inovasi rasa dan kemasan, bakpia tradisional tetap memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat dan wisatawan.
ADVERTISEMENT

Bakpia yang dikenal sebagai kudapan manis dengan kulit tipis dan isi yang lembut sebenarnya memiliki akar yang cukup dalam di Yogyakarta. Kudapan ini pertama kali diperkenalkan oleh komunitas Tionghoa di daerah Pathuk pada awal abad ke-20. Nama “bakpia” sendiri berasal dari dialek Hokkien, yakni “bak” yang berarti daging dan “pia” yang berarti kue. Awalnya, bakpia berisi olahan daging babi, namun seiring dengan mayoritas penduduk Yogyakarta yang beragama Islam, isian bakpia berganti menjadi pasta kacang hijau, yang kini menjadi rasa klasik dan paling ikonik.

Kampung Pathuk yang berada di dekat Malioboro adalah saksi sejarah perkembangan bakpia di Yogyakarta. Di sanalah usaha bakpia milik Liem Bok Sing, seorang perantau dari negeri Tiongkok, berkembang dengan pesatnya. Beberapa warga Kampung Pathuk pun kemudian ikut merintis usaha pembuatan bakpia. Berawal dari usaha kecil-kecilan, kini kampung tersebut dikenal sebagai sentra bakpia, dengan puluhan toko dan rumah produksi yang menawarkan berbagai varian bakpia klasik.
ADVERTISEMENT
Dalam dua dekade terakhir, tren bakpia di Yogyakarta mengalami pergeseran yang signifikan. Kemunculan merek-merek besar yang memproduksi bakpia secara pabrik dengan menggunakan teknologi modern akhirnya mengubah wajah industri ini. Produksi pabrik memungkinkan bakpia dibuat dalam jumlah besar dengan rasa yang lebih bervariasi, mulai dari rasa yang basic seperti coklat dan keju sampai rasa yang terdengar aneh seperti kumbu hitam dan green tea.
Namun, kemunculan bakpia modern ini bukan tanpa dampak. Para pengusaha bakpia tradisional di Kampung Pathuk, misalnya, merasakan tekanan dari segi harga dan daya saing. “Kalau bakpia dari pabrik bisa dijual lebih murah karena mereka memproduksi dalam skala yang besar dengan menggunakan mesin otomatis. Sedangkan kami masih mengandalkan tenaga manusia untuk membuat setiap bakpia,” ujar Pak Bambang, salah satu pembuat dan pemilik usaha bakpia tradisional yang sudah beroperasi dari tahun 1990-an.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, Pak Bambang tetap yakin bahwa bakpia tradisional memiliki keunggulan tersendiri. “Bakpia buatan kami dibuat dengan sepenuh hati. Mulai dari mencampur adonan kulit, menggiling kacang hijau untuk isian, hingga membentuk dan memanggangnya, semua dilakukan secara manual. Ini yang membuat bakpia tradisional memiliki rasa yang berbeda dibandingkan bakpia pabrik.”
Salah satu keunikan bakpia tradisional adalah proses pembuatannya yang masih mempertahankan cara-cara lama. Adonan tepung yang digunakan sebagai kulit bakpia diuleni dengan tangan hingga mencapai tekstur yang pas, kemudian diisi dengan isian kacang hijau yang telah dihaluskan dan dicampur gula sehingga menjadi pasta kacang hijau yang legit. Proses pemanggangan pun dilakukan dengan oven tradisional, seperti tungku arang, yang bisa memberikan rasa dan aroma khas yang sulit ditiru oleh produksi pabrik.
ADVERTISEMENT
“Bakpia tradisional itu beda. Kulitnya lebih tipis dan renyah, sementara isinya lebih padat dan manisnya pas. Kalau bakpia modern, biasanya kulitnya lebih tebal dan kadang terlalu banyak campuran,” ungkap Lestari, seorang pelanggan setia bakpia tradisional di Kampung Pathuk.
Selain rasanya, bakpia tradisional juga menawarkan pengalaman nostalgia yang tidak bisa ditemukan pada produk modern. “Di era yang serba cepat ini, banyak orang yang mulai merasa jenuh dengan produk yang serba instan. Mereka mulai mencari kembali makanan tradisional yang bisa dinikmati proses pembuatannya. Jadi siapapun yang membeli bakpia kami, tidak hanya mendapatkan makanan namun pengalaman yang bisa dinikmati,” ujar Pak Bambang dengan penuh keyakinan. Banyak wisatawan yang membeli bakpia tradisional bukan hanya karena rasanya, tetapi juga karena nilai sejarah dan cerita di balik setiap gigitannya.
ADVERTISEMENT
Para pembuat bakpia tradisional di Yogyakarta menyadari bahwa untuk tetap relevan, mereka harus bisa beradaptasi dengan perubahan zaman. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan memperluas pemasaran melalui platform digital. Kini, beberapa toko bakpia tradisional telah memanfaatkan media sosial dan marketplace untuk menjangkau pelanggan dari luar Yogyakarta.
“Kami mulai belajar memasarkan produk lewat Instagram dan TikTok. Alhamdulillah sekarang banyak pelanggan dari luar kota yang memesan bakpia kami untuk oleh-oleh atau acara keluarga,” kata Bu Rini, pemilik usaha bakpia tradisional generasi kedua.
Selain itu, para pengusaha bakpia tradisional juga mulai bereksperimen dengan membuat varian rasa baru untuk menarik minat generasi muda dengan tetap mempertahankan teknik tradisional. Salah satunya yaitu Bakpia Wingko Ngasem 1996 usaha milik Pak Bambang yang berhasil mendapatkan penghargaan dari Kementerian Kesehatan pada tahun 2013 atas inovasinya membuat bakpia isi ubi ungu.
Bakpia Wingko Ngasem 1996. Kredit Foto: Nindita Aulia
Eksistensi bakpia tradisional juga tidak lepas dari dukungan masyarakat lokal yang menghargai produk warisan leluhur. Banyak penduduk Yogyakarta maupun wisatawan dari luar kota yang memilih bakpia tradisional sebagai buah tangan untuk keluarga atau kerabat mereka. “Saya selalu beli bakpia tradisional kalau ada tamu dari luar kota. Rasanya lebih autentik dan harganya juga masih terjangkau,” ujar Ratna, warga Sleman.
ADVERTISEMENT
Selain itu, beberapa komunitas dan organisasi budaya turut membantu mempromosikan bakpia tradisional melalui festival kuliner dan bazar lokal. Event semacam ini tidak hanya meningkatkan kesadaran akan produk lokal, tetapi juga memberikan peluang bagi pengusaha bakpia tradisional untuk memperluas jaringan pemasaran mereka.
Meski menghadapi tantangan dari banyaknya pesaing dari produk pabrik, bakpia tradisional di Yogyakarta masih memiliki masa depan yang cerah. Selama ada apresiasi terhadap nilai budaya dan rasa autentik, bakpia tradisional akan terus bertahan di tengah gempuran inovasi modern.
“Kami percaya bahwa ada segmen pasar yang menghargai kualitas dan tradisi. Dan pasti ada pelanggan yang akan selalu kembali ke bakpia tradisional karena mereka mencari rasa yang tidak hanya enak, tetapi juga memiliki makna,” kata Pak Bambang dengan senyum optimis.
ADVERTISEMENT
Bagi para pecinta kuliner, bakpia tradisional bukan sekadar makanan ringan, melainkan warisan kuliner dan simbol dari kekayaan budaya yang patut dilestarikan. Namun, akankah bakpia tradisional mampu terus bertahan dan berkembang menghadapi perubahan zaman yang semakin cepat ini?