Konten dari Pengguna

Serayu Mendayu Seiring dengan Budaya Melaju

Nindy Putri Ardiyati
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Amikom Purwokerto
24 November 2024 11:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nindy Putri Ardiyati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Budaya suatu bangsa bersemayam di hati dan jiwa masyarakatnya." - Mahatma Gandhi
ADVERTISEMENT
Fajar baru saja merekah di ufuk timur ketika suara peluit kereta api membelah keheningan pagi di Stasiun Purwokerto. Dari pengeras suara, alunan lembut "Di Tepinya Sungai Serayu" mengalun merdu, menyambut para penumpang yang baru saja tiba atau akan meninggalkan stasiun.
Suasana penumpang menunggu kedatangan kereta di Stasiun Purwokerto. (Dokumentasi pribadi penulis)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana penumpang menunggu kedatangan kereta di Stasiun Purwokerto. (Dokumentasi pribadi penulis)
Melodi yang diciptakan oleh sang maestro Soetedja ini seolah menjadi gerbang pembuka menuju kehangatan budaya Banyumas. Setiap notasi yang mengudara membawa pendengarnya pada perjalanan nostalgia, menyelami keindahan Sungai Serayu yang telah menjadi saksi bisu perjalanan peradaban masyarakat Banyumas dan sekitarnya. Lagu ini bukan hanya sekadar pengiring kedatangan atau keberangkatan kereta, melainkan pengingat akan kekayaan budaya Banyumas. Para penumpang, terutama yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Purwokerto, sering kali terpesona dengan alunan melodinya yang mendayu-dayu.
ADVERTISEMENT
Selain mengalun di Stasiun Purwokerto dan wilayah DAOP 5, lagu Di Tepinya Sungai Serayu disenandungkan pula dalam acara Festival Taman Budaya Soetedja yang digelar pada tanggal 8 sampai 9 November 2024 di Gedung Kesenian Soetedja, terutama di hari kedua acara. Acara yang rencananya akan menjadi berkelanjutan pada tahun-tahun berikutnya ini menjadi bukti bahwa semangat berkesenian yang ditanamkan Soetedja masih berkobar di hati masyarakat Banyumas.
Gedung Soetedja yang menjadi lokasi acara Festival Taman Budaya Soetedja. (Dokumentasi pribadi penulis)
Di acara Festival Taman Budaya Soetedja ini, lagu Di Tepinya Sungai Serayu menjadi lagu wajib bagi para peserta lomba band tingkat SMA/SMK sederajat di sekitar wilayah Banyumas. Lomba band tersebut dilaksanakan di hari kedua acara, yakni pada tanggal 9 November 2024. Para peserta lomba band tidak hanya dituntut menunjukkan kemahiran bermusik, namun diharapkan para generasi muda dapat memahami makna mendalam di balik setiap liriknya sebagai bentuk penghormatan kepada sang maestro.
ADVERTISEMENT
Kisah terciptanya lagu legendaris ini bermula pada saat Soetedja yang sedang dibawa oleh ayah angkatnya, yakni Soemandar untuk memperlihatkan kebun tebu yang akan menjadi modal biaya sekolah musik Sotedja di Eropa. Soetedja dan ayahnya melihat-lihat kebun tebu tersebut menyusuri Sungai Serayu dengan menggunakan perahu.
Sembari mendengarkan ayahnya berbicara, Soetedja kemudian terpikat oleh pesona Sungai Serayu. Soetedja mengamati keindahan alam yang begitu menawan seperti penampakan Gunung Slamet yang tergambar jelas indah di sana, semua elemen di sekitar Sungai Serayu juga menjadi inspirasi yang mengalir deras dalam benaknya. "Lalu tercetus ide untuk menciptakan lagu Di Tepinya Sungai Serayu," kenang Sugeng Wijono, keponakan Soetedja dalam film dokumenter Mencari Soetedja pada kanal Youtube bina_budaya.
ADVERTISEMENT
Sungai Serayu dan pemandangan alam di sekitarnya. (Dokumentasi pribadi penulis)
Lagu Di Tepinya Sungai Serayu memiliki lirik sederhana namun sarat makna yang mencerminkan kerinduan akan masa lalu yang indah. Hal itu yang kemudian menjadikan lagu tersebut sebagai lagu wajib dalam lomba band di acara Festival Taman Budaya Soetedja, menjadi penanda bahwa warisan budaya harus terus dijaga dan dilestarikan khususnya bagi generasi muda.
Soetedja sendiri yang lahir pada 15 Oktober 1909 dikenal sebagai seniman multitalenta asal Banyumas yang tidak hanya mahir dalam menciptakan lagu. Sepanjang hidupnya yang diabdikan untuk seni, Soetedja juga aktif sebagai pemain musik yang andal dalam berbagai genre, seperti musik Barat dan Timur, Hawaian dan Melayu, serta jazz dan keroncong. Melalui keterlibatannya dalam bidang kesenian terutama seni musik, Soetedja berupaya memperkenalkan dan melestarikan warisan budaya Banyumas kepada masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Pemilik nama lengkap Raden Soetedja Poerwodibroto ini kemudian menghembuskan napas terakhirnya pada 12 April 1960. Festival Taman Budaya Soetedja diadakan sebagai wadah bagi generasi muda untuk mengenal lebih dekat sosok Soetedja dan karya-karyanya. Tergolong wafat di usia yang masih belum terlalu tua, nama Soetedja tidak terlalu akrab di telinga masyarakat seperti seniman musik lain pada zamannya. Terlebih lagi rumah miliknya pernah terbakar sehingga banyak peninggalan karya-karya seni musiknya yang hilang, kemudian semakin minim informasi mengenai Soetedja dari kejadian tersebut.
Diadakannya acara Festival Taman Budaya Soetedja ini juga untuk mengenang karya dan dedikasi Soetedja dalam membangun budaya. Terdapat lomba band, lomba berbagai kebudayaan musik khas Banyumas, bincang inspiratif kebudayaan, pameran karya seni, serta bintang tamu lokal dengan ciri khas masing-masing yang merupakan sebuah upaya untuk menarik minat generasi muda terhadap warisan budaya. Keponakan Soetedja, yakni Sugeng Wijono dihadirkan pula dalam acara ini untuk membagikan kisah inspiratif mengenai Soetedja.
ADVERTISEMENT
Di era digital yang serba cepat ini, tantangan pelestarian budaya semakin kompleks. Namun, semangat yang ditanamkan Soetedja tetap hidup dalam denyut nadi generasi penerus. Para peserta Festival Band Soetedja tak hanya membawakan lagu Di Tepinya Sungai Serayu dalam versi original, tetapi berani pula menghadirkan aransemen baru yang lebih kontemporer dan menarik untuk diperhatikan, seperti rock, reggae, jazz, dan lain sebagainya.
Sore menjelang malam di Gedung Soetedja. Matahari sudah tidak menampakkan dirinya lagi, digantikan dengan turunnya tetesan air dari langit yang semakin deras. Di panggung utama festival dalam Gedung Kesenian Soetedja, sebuah orkestra gabungan yang terdiri dari musisi tradisional dan modern juga memainkan medley karya-karya seni musik lainnya. Suara musik keroncong juga berpadu harmonis dengan instrumen modern, menciptakan simfoni yang unik namun tetap membawa ruh Banyumas. Para penonton, dari yang muda hingga yang tua, larut dalam alunan musik yang menjembatani antar generasi tersebut.
Penampilan pemenang lomba juara 1 band dari SMAN 1 Purwokerto berkolaborasi dengan juri membawakan lagu Di Tepinya Sungai Serayu. (Dokumentasi pribadi penulis)
Pemenang lomba band peserta kemudian diumumkan dan tim pemenang menampilkan kembali lagu Di Tepinya Sungai Serayu dengan salah satu juri dengan gubahan instrumen yang luar biasa. Di tepi Sungai Serayu mengalun dengan instrumen modern yang unik namun tidak merubah makna lagu, hal tersebut membuat seperti memperlihatkan bayangan Soetedja yang tersenyum melihat warisan budayanya terus hidup dan berkembang dalam bentuk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Seperti air Sungai Serayu yang tak pernah berhenti mengalir, demikian pula semangat melestarikan budaya harus terus dijaga. Di tengah arus modernisasi dan digitalisasi yang tak terbendung, termasuk budaya itu sendiri, kearifan lokal tetap memiliki tempat istimewa di hati masyarakat. Lagu Di Tepinya Sungai Serayu bukan sekadar melodi yang mendayu-dayu, melainkan pengingat bahwa identitas budaya adalah harta yang tak ternilai, warisan yang harus dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang. Dalam setiap notanya, tersimpan harapan Soetedja akan kelestarian budaya Banyumas yang akan terus hidup, bahkan ketika zaman terus berubah ataupun arus budaya yang semakin melaju begitu cepatnya.