Kisah Keluarga yang Memiliki Jiwa Menyulam Benang dan Menganyam Daun

Maria Alsabina Ningsih Lado
Mahasiswa Jurnalistik, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Jawa Barat.
Konten dari Pengguna
11 Mei 2021 11:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maria Alsabina Ningsih Lado tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dorothea Cere (49), sedang menenun kain Telopoi. Sumber foto: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dorothea Cere (49), sedang menenun kain Telopoi. Sumber foto: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Menenun atau “menyulam benang” merupakan suatu pekerjaan atau mata pencaharian bagi sebagian masyarakat di wilayah Nusa Tenggara Timur.
ADVERTISEMENT
Salah satunya keluarga Dorothea Cere (49) atau yang biasa disapa mama Dorche ini bertempat tinggal di Rendu, kecamatan Aesesa Selatan, kabupaten Nagekeo, yang sehari-harinya bekerja sebagai penenun kain adat. Selain kain tenun, ia juga membuat beberapa benda adat lainnya yang biasa digunakan dalam ritual adat.
Beliau sendiri telah menekuni kegiatan menenunnya sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Berbekal pengajaran dari orang tuanya dahulu, kegiatan menenun ini ia teruskan ke anak-anaknya yang saat ini telah menginjak usia dewasa. Salah satu putrinya yang bernama Megidiana (21) mengatakan bahwa mamanya dahulu belajar menenun dari omanya.
Selain Megi, adapula adik dan kakaknya yang juga bisa menenun dengan baik. kegiatan menenun sendiri sudah menjadi tradisi turun temurun di keluarganya. Megi juga mengatakan bahwa mereka pandai menenun karena diajari oleh ibunya sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, begitupun dengan kakak dan adiknya.
ADVERTISEMENT
Waktu yang dihabiskan dalam membuat satu kain pun beragam, mulai dari tiga hari hingga memakan waktu sampai dua atau tiga minggu tergantung ukuran kain, dan juga tingkat kesulitannya. Proses menenun ini masih menggunakan alat tradisional sebagai warisan turun temurun keluarga.
Selain menenun kain, ibu lima anak ini pun membuat baju dari kain hasil tenunannya. Baju yang dibuat olehnya merupakan baju adat daerah Nagekeo yang biasa disebut dengan “kodo”
Kain dan barang lain hasil karya tangannya dijual di Pasar Danga, yang merupakan pasar induk di Kabupaten Nagekeo. Selain menjual di pasar Danga, mama Dorche juga menjual barang dagangannya ke pasar Rabu, yang terletak di Boawae, Nagekeo, NTT.
Sejauh ini belum ada kerja sama dari dinas atau pihak terkait untuk mengedarkan hasil tenunannya, sehinga ia hanya dibantu dengan anak-anaknya untuk mempromosikan dan menjual hasil karya tangannya tersebut.
Baju Kodo. Sumber: Dokumentasi Pribadi
Makna dibalik kain Telopoi dan kain Ragi yang ditenun
ADVERTISEMENT
Kabupaten Mbay, Nusa Tenggara Timur, sendiri memiliki ragam kekayaan alam dan warisan leluhur yang sangat terkenal, dan masih dijaga keberadaannya hingga saat ini. Kabupaten ini juga terkenal dengan kain adat yang merupakan ciri khas dan biasa digunakan masyarakat setempat dalam berbagai kegiatan.
Kain adat atau kain tenun ini sendiri memilki berbagai macam motif atau makna yang tersembunyi dibalik indahnya selembar kain.
Kain Ragi. Sumber Foto: Dok Pribadi
Kain Telopoi. Sumber Foto: Dok Pribadi
Kain telopoi yang pada umumnya berwarna hitam dan merah keungu-unguan ini memiliki makna yang cukup dalam yakni, warna hitam sendiri melambangkan ketegasan dari pemakainya, sedangkan warnah merah atau ungu melambangkan keagungan dan kelembutan.

Makna dari kedua warna

Menandakan bahwa yang dapat memakai kain tersebut hanya anak gadis atau perempuan saja tidak dipergunakan untuk laki-laki, biasanya mereka memakai kain tersebut dalam susunan ritual adat.
ADVERTISEMENT

Makna dari garis-garis yang terdapat pada kain

Sesungguhnya wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum pria, maka makna dari garis ialah kesamaan derajat dari seorang perempuan dan laki-laki.
Sedangkan kain ragi yang memiliki warna dasar hitam serta motif yang berwarna kuning ini sendiri melambangkan ketegasan serta kehangatan, di mana orang-orang yang mengenakan kain ini akan dinilai sebagai orang-orang yang memiliki wibawa dengan kelembutan yang mendalam.
Ada beberapa motif yang biasanya disulam pada kain. Motif emas, motif gambar emas zaman dahulu ini biasanya disulam pada ujung bawah dan ujung atas kain, motif yang kedua adalah motif bunga kaca piring, yang melambangkan keindahan dari kain tersebut, serta motif ruit atau belah ketupat.
ADVERTISEMENT

Anyaman dari daun lontar

Mama Dorche pun tidak hanya lihai dalam menenun kain, tetapi ia juga pandai dalam membuat anyaman dari daun lontar atau yang biasa dikenal dengan Bola Nata (wadah berbentuk bulat atau kotak).
Bola Nata sendiri merupakan sebuah wadah yang biasa digunakan mama-mama di daerah Nagekeo untuk menaruh sirih dan pinang dalam acara adat. Selain Bola Nata adapula Bola Bae (Tas dari daun lontar), Bola bae ini juga merupakan suatu hasil karya yang biasa digunakan masyarakat untuk menaruh barang-barang keperluan mereka. Karena Bola Bae ini berfungsi seperti tas pada umumnya.
Bola Nata. Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi
Bola Bae. Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi

Ragam Harga kain

Kain buatan mama Dorche sendiri dibandrol dengan harga yang cukup beragam, mulai dari Rp 350.000,00 hingga Rp 1.200.00,00. Tergantung ukuran kain dan tingkat kesulitan motif kain. Selain itu adapula kain yang berukuran 1 meter (telah dibuat selendang) yang dibandrol dengan harga Rp 150.000,00. Sedangkan kain setengah jadi (bakal baju) dibandrol dengan harga Rp.500.000,00.
ADVERTISEMENT