Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bonus Demografi Indonesia: Reformasi Hukum untuk Mencegah Bom Waktu
17 September 2024 18:10 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nino Nafan Hudzaifi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2030–2040, Indonesia diperkirakan akan menghadapi bonus demografi, di mana populasi penduduk usia produktif (15–64 tahun) jauh lebih besar dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas).
ADVERTISEMENT
Di tengah angan-angan peluang bonus demografi, jutaan anak muda Indonesia saat ini justru diketahui menganggur. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2024, sekitar 7,2 juta orang Indonesia menganggur, dengan persentase 16,42% (1,2 juta) dari angka pengangguran tersebut berada di usia 15–24 tahun atau masuk ke dalam klasifikasi “Gen-Z”.
Bukan sepenuhnya salah Gen-Z, melainkan terdapat masalah yang jauh lebih struktural. Sebagai elemen normatif yang diharapkan mampu mengatasi masalah sistemik, hukum merupakan salah satu instrumen penentu nasib jutaan Gen-Z ke depan, terutama di era Indonesia Emas 2045.
Presiden RI Joko “Jokowi” Widodo dalam pidato kenegaraannya tahun 2023 telah menyatakan bahwa bonus demografi akan menjadi aspek fundamental dalam upaya meraih Indonesia Emas 2045.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, mengacu pada data BPS di atas, pasar tenaga kerja di Indonesia tampaknya belum mampu menyerap tingginya penduduk usia produktif secara optimal. Terlebih, data Kementerian Ketenagakerjaan per 26 Agustus 2024 menunjukkan bahwa terdapat 45.969 pekerja di Indonesia mengalami PHK.
Jika kondisi tersebut terus dibiarkan, bonus demografi kedepannya hanya akan menjadi beban sosial dan ekonomi negara. Maka dari itu, penting untuk mengkaji persoalan ini secara holistis, terutama tentang sejauh mana kebijakan serta regulasi yang terkait saat ini menanggapinya.
Sejak tahun 2020, Pemerintah RI dan DPR RI telah menginisiasi penerbitan UU Cipta Kerja untuk memperbaiki iklim investasi. Sebagaimana ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, perusahaan yang berinvestasi di Indonesia diharuskan untuk mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia (WNI) dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerjanya. Dengan demikian, investasi yang meningkat diharapkan mampu menyerap banyak tenaga kerja WNI.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto, pada waktu itu juga menuturkan bahwa tujuan akhir dari diundangkannya UU Cipta Kerja ialah untuk mendorong penciptaan lapangan kerja yang lebih besar, mengingat ada sekitar 3 (tiga) juta Gen-Z memerlukan pekerjaan setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, meski UU Cipta Kerja sudah diterbitkan, lapangan kerja yang tersedia masih terbatas. Keterbatasan tersebut kemudian mengakibatkan persaingan tenaga kerja yang ketat, tidak hanya antarlulusan baru (fresh graduates), tetapi juga antara lulusan baru dengan kandidat-kandidat yang berpengalaman. Sebab, beberapa posisi entry-level yang semestinya diperuntukkan untuk lulusan baru, justru mencantumkan syarat minimum pengalaman kerja bertahun-tahun kepada calon pendaftar.
Tidak hanya itu, transparansi proses rekrutmen pun masih jauh dari kata ideal. Banyak pencari kerja yang kerap merasa frustasi akibat ketidakjelasan informasi terkait proses maupun keputusan pemberi kerja dalam setiap tahapan rekrutmen.
Situasi ini menuntut perhatian lebih agar solusi yang diambil benar-benar mampu meningkatkan peluang kerja bagi Gen-Z. Oleh karenanya, terdapat setidaknya dua poin rekomendasi kebijakan hukum untuk membantu Gen-Z menghadapi tantangan di pasar kerja.
ADVERTISEMENT
Pertama, integrasi program magang dalam kurikulum pendidikan dengan standardisasi yang jelas. Melalui program Kuliah Merdeka, terkhusus program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB), Pemerintah RI telah berupaya meningkatkan kesiapan dan keterserapan lulusan baru di dunia kerja. Namun, MSIB Batch 7 diwarnai banyak protes dari mahasiswa lantaran ketidakjelasan pelaksanaan, terutama berkaitan dengan lini masa.
Ketidakjelasan ini tentu amat mengganggu perencanaan akademik, persiapan, dan motivasi mahasiswa, sehingga berisiko memperlambat studi serta mengurangi efektivitas program. Oleh karena itu, program ini perlu dievaluasi lebih lanjut untuk setidaknya memiliki standardisasi yang jelas agar tujuan menjembatani kesenjangan antara kualifikasi lulusan baru dan persyaratan pengalaman kerja dapat tercapai dengan efektif.
Kedua, transparansi lowongan pekerjaan dan proses rekrutmen bagi lulusan baru. Perlu adanya regulasi yang mewajibkan pemberi kerja untuk mencantumkan informasi yang jelas mengenai kualifikasi yang dibutuhkan. Hal ini untuk menghindari lulusan baru terjebak pada lowongan pekerjaan yang sebenarnya bukan diperuntukkan untuknya, begitu pun sebaliknya. Informasi lowongan pekerjaan harus secara jelas mencantumkan keterangan bahwa posisi ini diperuntukkan untuk lulusan baru jika calon pemberi kerja mempertimbangkan untuk menerima, bahkan mengutamakan kandidat lulusan baru.
ADVERTISEMENT
Kemudian, dalam hal pelamar tidak diterima kerja, pemberi kerja juga wajib memberikan umpan balik (feedback) yang konstruktif kepada pelamar baru mengenai alasan ketidakberhasilan mereka dalam proses melamar. Proses rekrutmen yang adil dan transparan ini tentu akan meningkatkan efisiensi serta efektivitas lulusan baru dalam upayanya mencari kerja.
Kedua rekomendasi hukum di atas dapat Pemerintah RI tindak lanjuti melalui berbagai level regulasi sektoral yang relevan, baik yang setingkat Undang-Undang hingga Peraturan Menteri. Rekomendasi ini setidak-tidaknya akan mengurangi kesenjangan antara kualifikasi lulusan baru sebagai supply dan kebutuhan industri sebagai demand, sekaligus menciptakan lebih banyak peluang kerja yang relevan. Langkah-langkah ini dinilai mampu membantu Indonesia untuk mencapai optimalisasi bonus demografi yang diidam-idamkan.
Indonesia perlu berkaca pada negara-negara lain di dunia yang telah lebih dulu menghadapi peluang bonus demografi, baik negara yang gagal maupun berhasil. Kegagalan menyambut bonus demografi pernah dialami Brazil akibat ketidaksiapan anak mudanya menghadapi tuntutan pasar kerja modern imbas dari rendahnya kualitas pendidikan serta kurangnya investasi dalam pelatihan dan pengembangan keterampilan pekerja. Hal ini perlu menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk tidak masuk ke jurang lembah yang sama.
Di sisi lain, Jepang dan Korea Selatan dapat dijadikan contoh yang tepat karena dua negara tersebut berhasil memanfaatkan bonus demografi dengan cara berinvestasi besar-besaran dalam pendidikan, teknologi, dan pelatihan keterampilan kerja. Terserapnya penduduk usia produktif secara optimal oleh pasar tenaga kerja telah terbukti mengantarkan Jepang dan Korea Selatan menjadi leading producers berbagai produk jadi yang berkualitas dan berskala internasional.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, langkah yang tepat akan membawa Indonesia menjemput peluang bonus demografi secara maksimal. Sebagai aktor utama bonus demografi Indonesia yang tumbuh di tengah perkembangan teknologi dan informasi, Gen-Z memiliki keunggulan dalam hal adaptabilitas, kreativitas, dan pemahaman teknologi digital. Dengan berbagai keunggulannya, bukan tidak mungkin, optimalisasi kontribusi Gen-Z dalam perekonomian negara akan mendudukkan Indonesia sebagai salah satu leading producers di pasar global.
Sebaliknya, ketidaktepatan dan lengahnya perhatian terhadap potensi bonus demografi akan berdampak buruk bagi perekonomian nasional di masa depan. Seperti halnya buah “Simalakama”, bonus demografi yang awalnya diharapkan dapat memajukan ekonomi dalam mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045, malah dapat menjadi momok dan menciptakan mimpi buruk berjuluk “Indonesia Cemas 2045”.
ADVERTISEMENT