Ada Apa di Balik Polemik Pengaturan Suara Azan?

Carrera Zenitha Niqi
Content writer
Konten dari Pengguna
6 Maret 2022 5:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Carrera Zenitha Niqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Umat muslim mengunjungi Masjid Istiqlal bertepatan dengan peringatan Milad ke-43 di Jakarta Pusat, Senin (22/2/2021).  Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Umat muslim mengunjungi Masjid Istiqlal bertepatan dengan peringatan Milad ke-43 di Jakarta Pusat, Senin (22/2/2021). Foto: Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masyarakat kembali riuh atas persoalan azan. Diawali dari pemberitaan media asing Agence France-Presse (AFP), di mana seorang Muslimah yang mengalami gangguan kecemasan merasa terganggu oleh azan dan takut untuk melapor. Kemudian Menteri Agama menerbitkan aturan baru tentang azan dan memberikan analogi yang kurang tepat terhadap azan. Hal inilah yang menimbulkan pro kontra di tengah umat.
ADVERTISEMENT
Peraturan soal azan masjid di Indonesia telah tertuang dalam dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam 101/1978 yang kemudian tahun 2018 lalu ditindaklanjuti pelaksanaannya melalui SE Dirjen Bimas Islam B.3940/DJ.III/HK.00.7/08/2018. Terbaru, Menteri Agama menerbitkan SE Menag 05/2022 yang kurang lebih mengatur hal yang sama.
Dari aturan tersebut yang dimaksud dengan pengeras suara adalah perlengkapan teknik yang terdiri dari mikrofon, amplifier, loud speaker, dan kabel-kabel tempat mengalirnya arus listrik. Dalam Instruksi tersebut dijelaskan bahwa syarat-syarat penggunaan pengeras suara antara lain yaitu tidak boleh terlalu meninggikan suara doa, zikir, dan salat karena pelanggaran seperti ini bukan menimbulkan simpati, tetapi kebingungan bahwa umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya. selain itu, suara yang memang harus ditinggikan adalah azan sebagai tanda telah tiba waktu salat (hukumonline.com).
ADVERTISEMENT
Tidak hanya di Indonesia, ternyata banyak negara mayoritas muslim yang juga mengatur perihal azan ini. Seperti Arab Saudi, Mesir, Bahrain, Malaysia dan Uni Emirat Arab (UEA). Alasannya karena di negara-negara tersebut banyak menerima keluhan terkait volume pengeras suara masjid yang dianggap terlalu keras dan mengganggu pendengaran. Di Arab Saudi sendiri pengaturan volume azan diwajibkan maksimal sepertiga dari volume pengeras suara, sedangkan di UEA volume maksimal yang diizinkan sebesar 85 desibel.
Seorang pria mengumandangkan Azan pada pembukaan acara MTQ XVI 2019 Provinsi Banten di kawasan pusat pemerintahan Kota Tangerang. Foto: Dimas Aryo
Untuk menyikapi hubungan masyarakat yang heterogen, solusi teknis ini bisa jadi tepat. Suara azan sebenarnya memang perlu diatur dari sisi kualitas pengeras suara sekaligus dan suara muazin. Kualitas pengeras suara yang buruk, volume yang terlalu tinggi akan sangat mengganggu pendengaran.
ADVERTISEMENT
Semua orang pasti juga tahu seorang diva seperti Rossa misalnya, rela membeli microphonenya sendiri seharga 80 juta Rupiah dengan tujuan agar kualitas suaranya tersampaikan dengan indah di telinga pendengar. Demikian pula dengan azan yang tujuannya sangatlah mulia. Butuh alat yang baik agar pesan indahnya tersalurkan dengan tepat.
Demikian pula suara muazin yang (mohon maaf) kurang merdu alias fals, atau bacaannya kurang baik. Maka bukan syahdu yang akan dirasakan, tetapi malah dijadikan bahan bercandaan bahkan diremehkan. Terkadang di desa, ada beberapa muazin yang sudah tua, sehingga kualitas suara yang dikeluarkan tidak lagi mumpuni. Bahkan yang mendengar malah kadang merasa kasihan. Disini akhirnya perlu kaderisasi muazin, sehingga pendengar azan merasa sahdu dan semakin taat.
ADVERTISEMENT
***
Jika masalahnya berhenti sampai di situ mungkin publik akan setuju saja perihal surat edaran Kemenag terbaru tersebut. Tetapi masalahnya banyak yang mengendus ada yang tidak beres di balik pengaturan azan ini. Seperti soal intoleransi maupun islamofobia. Selain itu jika untuk mengatur kehidupan yang harmonis dalam bermasyarakat, apakah rumah ibadah lain seperti gereja juga diberikan aturan yang sama?
Sebagai contoh saja gereja di Pembrokshire, Inggris barat daya, lonceng gerejanya berhenti berdenting gara-gara diprotes warganya karena mengganggu ketenangan akhir pekan mereka. Jika azan saja diatur di Indonesia, yang notabene negara mayoritas muslim, apakah rumah ibadah lainnya juga mengalami hal yang sama?
Awalnya bisa jadi hanya sebatas pengaturan azan, namun lambat laun akan menjadi pelarangan azan. Ini memang tidak diharapkan, tapi arah ke sana nampaknya semakin kentara. Mengingat azan adalah bagian dari siar Islam yang akhirnya menjadi budaya di negara ini. Tapi kemudian dimunculkan protes suara azan yang mengganggu, sehingga jika tidak diatur dengan baik, lagi-lagi Islam kembali dituding intoleran.
ADVERTISEMENT
Di lain sisi persoalan azan semakin aneh karena hal ini tidak pernah dipermasalahkan selama puluhan tahun, namun mengapa hari ini menjadi begitu sensitif. Tidak hanya azan, persoalan halal city, cadar, khilafah bahkan menjadi perbincangan luas akhir-akhir ini. Apakah memang islamofobia sengaja ditiupkan di tengah umat?
Di dalam Islam, azan mempunyai peranan yang sangat penting. Azan digunakan untuk memanggil kaum muslimin untuk salat. Bahkan seorang muazin akan diganjar ampunan dan pahala yang yang besar. Azan juga bisa digunakan untuk mengusir setan. Ketika mendengar azan maka setan akan lari terbirit-birit. Pastinya setiap orang akan senang jika setan menjauh darinya. Pasalnya dia akan terbebas dari godaan setan yang membuatnya menjadi manusia buruk yang penuh dosa dan maksiat.
ADVERTISEMENT
Normalnya manusia ingin menjadi baik. Tetapi di dalam sistem sekular ini manusia baik akan sulit terwujud, bahkan banyak dari mereka akan menjelma sebagai manusia buruk. Buktinya, banyak pejabat yang awalnya seputih kapas, namun dalam perjalanannya tetap saja menjadi koruptor. Dampak lainnya bisa kita amati dari sedikitnya warga yang beribadah rutin di dalam rumah ibadah. Tak hanya masjid yang hanya berisi satu atau dua saf saja setiap harinya, namun rumah ibadah lain seperti gereja juga mengalami penurunan jumlah jemaat.
Dilansir dari bilanganresearch.com, memberitakan bahwa 1 dari 3 remaja Kristen yang rajin ke gereja berpotensi untuk tidak lagi rutin ke gereja. Lebih lanjut sebanyak 61.8% remaja merasa bahwa gereja sudah tidak menarik dan tidak cocok bagi mereka. Fakta tersebut sekali lagi menunjukkan bahwa sekular memberikan iklim yang tidak sehat dalam urusan agama.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian pengaturan soal azan ini harusnya hanya dimaknai teknis pengaturan keharmonisan masyarakat plural saja. Jangan sampai mengarah pada isu intoleransi bahkan islamofobia yang tujuannya ingin mengacak-acak syariat Islam.Sehingga tidak perlu menguras energi untuk perdebatan hal teknis.
Fokus kita sekarang adalah masalah sekulerisme yng terus menggerogoti nuansa keagamaan bangsa ini. Bahkan mencampakkan agama dari kehidupan. Sehingga hidup tidak terarah dan banyak kerusakan yang terjadi di tengah umat. Ketika sistem sekular ini sudah dicampakkan dan diganti dengan sistem Islam, maka tak perlu berpayah-payah untuk memperkeras suara azan. Karena dengan ketaatannya, kaum muslimin akan menanti-nanti waktu untuk salat.