Holywings: Potret Industri Gaya Hidup yang Merusak Generasi

Carrera Zenitha Niqi
Content writer
Konten dari Pengguna
8 Juli 2022 13:56 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Carrera Zenitha Niqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
membuat sendiri via aplikasi canva
zoom-in-whitePerbesar
membuat sendiri via aplikasi canva
ADVERTISEMENT
Akibat promo minuman keras (miras) gratis untuk pelanggan yang bernama Muhammad dan Maria, Holywings menerima gelombang protes dan kecaman dari masyarakat. Setelah menyadari kesalahan yang dibuat, akhirnya Holywings menutup sendiri hampir seluruh outletnya yang tersebar di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Holywings hanyalah salah satu potret di antara banyak contoh industri gaya hidup yang digencarkan di era 4.0. Tak dimungkiri secara ekonomi, sektor ini memang menghasilkan perputaran uang yang cepat dan mudah. Namun perlu dikaji kembali apakah industri semacam ini layak dipertahankan? Mengingat sasaran konsumennya adalah generasi emas bangsa.
***
Permasalahan Holywings seharusnya dikaji dari arah hulu dan hilir. Pembahasan tersebut tidak bisa dipisah atau dikupas satu sisi saja, karena bisa jadi akan memunculkan persoalan yang serupa pada masa depan dari “Holywings” lainnya.
Sebelumnya, mungkin kita harus jujur menjawab sebuah pertanyaan retoris: Mengapa indutri gaya hidup, seperti miras ini masih eksis? Padahal semua orang pasti sepakat bahwa benda tersebut tidak baik untuk manusia, minimal merusak akalnya. Apalagi Indonesia dihuni oleh mayoritas muslim yang menyatakan miras adalah seratus persen haram.
ADVERTISEMENT
Pemeluk Islam memang mayoritas, tetapi negara ini menyandarkan dirinya pada tatanan masyarakat sekular kapitalistik. Sedangkan asas manfaat menjadi nilai utama. Sehingga wajar jika pemenuhan nafsu syahwat menjadi nilai yang terpenting dari manusia. Bahkan menjadi makna sebuah kebahagiaan. Halal haram yang seharusnya menjadi standar seorang muslim tak lagi diindahkan.
Manfaat dalam kaidah kapitalistik kemudian dimaknai dengan sesuatu yang menghasilkan pundi-pundi emas. Akibatnya produk atau isu apa pun yang menghasilkan profit akan terus diproduksi, meski itu merusak manusia sekalipun. Maka dapat dipastikan bahwa industri miras, narkoba, pornografi akan terus berjaya selama masih mendatangkan “cuan”.
Ditambah pula negara sedang menggenjot industri pariwisata yang berhubungan dekat dengan industri gaya hidup ini. Tak lupa dukungan digitalisasi membuatnya makin mudah diakses oleh masyarakat luas. Maka asas manfaat tadi makin terpatri dalam benak. Wajar jika norma dan agama diabaikan. Ini adalah permasalahan hulu yang harus kita pecahkan bersama.
ADVERTISEMENT
Pada problema hilir industri gaya hidup ini akan ditemui sebuah mekanisme disruptor atau “perusak”. Yang dirusak bukan sekadar pola lama, di mana konsumen tidak lagi mampu membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Tetapi betul-betul merusak konsumen, mulai dari pikiran bahkan ada juga yang sampai fisiknya.
Teknik pemasaran sangat dibutuhkan dalam sebuah industri. Hanya saja yang digunakan dalam industry 4.0 saat ini adalah neuro marketing yang melibatkan hormon dopamin dalam tubuh. Dopamin sendiri adalah zat kimia di dalam otak yang bisa meningkat kadarnya saat seseorang mengalami sensasi yang menyenangkan.
Dengan memanfaatkan teknik pemasaran ini maka di dalam pikiran konsumen akan selalu tertarik untuk membeli produk tersebut. Tidak peduli produk tersebut jelek, mahal atau berbahaya sekalipun akan tetap dibeli. Produsen juga tidak peduli jika produknya akan merusak konsumen, asalkan laku terjual. Mereka akan senang mempunyai banyak konsumen setia nan abadi.
ADVERTISEMENT
Teknik pemasaran ala dopamin ini sudah menjerat industri gaya hidup yang cakupannya sangat luas. Milenial juga sudah banyak yang terkena dampak buruknya. Misalnya penggemar selebritas Korea yang sangat membela dan mendewakan idolanya. Tingkah laku mereka kadang tidak bisa membedakan mana realitas dan imajinasi.
Contoh lainnya adalah pecandu game yang sudah terperangkap dalam hiperrealitas. Tak lagi mampu membedakan mana dunia nyata dan dunia virtual. Kondisi ini sungguh mengerikan, jika tidak segera dihentikan maka akan mirip dengan drama Korea bertajuk Memories of the Alhambra. Pada film tersebut pemain game digambarkan terluka fisik bahkan mati meski hanya bertarung secara virtual.
Pada bagian hulu yang mana manfaat menjadi nilai utama menjadikan manusia tak lagi menghiraukan keselamatan, kesehatan atau nilai kebaikan lainnya. Konsumen tak ada yang melindunginya sebagai seorang manusia yang utuh. Ini akan menjadi sebuah proses dehumanisasi. Dan dehumanisasi ini dipercepat dan diperparah dengan sektor hilir, yaitu teknik pemasaran neuro.
ADVERTISEMENT
***
Holywings memang hanyalah salah satu produk industrialisasi gaya hidup era 4.0. Solusi permasalahan yang muncul hari ini tidak cukup hanya dengan menutup outletnya. Namun, persoalan hulu dan hilir yang lahir dari sistem sekular kapitalistik tersebut selayaknya wajib kita renungkan bersama. Mengingat proses dehumanisasi yang akan menimpa generasi bangsa ke depan.
Teknologi yang berkembang pesat juga tidak bisa disalahkan atau ditinggalkan. Namun harus dipakai untuk memudahkan manusia menapaki tujuan penciptaannya sebagai makhluk Allah Swt. Bukan hamba syahwat. Maka diperlukan peran negara untuk mengubah nilai utama atas industri yang dimiliki. Negara mayoritas muslim ini sepertinya perlu berkenalan dengan industri dan ekonomi Islam.