Mengilmiahkan Ritual Pawang Hujan untuk Mengecoh Kesyirikan

Carrera Zenitha Niqi
Content writer
Konten dari Pengguna
3 April 2022 22:48 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Carrera Zenitha Niqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
kumparan.com
ADVERTISEMENT
Belakangan pernyataan yang muncul dalam postingan di akun resmi Instagram @kemdikbud.ri menghebohkan warga. Akun tersebut menyebutkan bahwa pawang hujan bekerja menggunakan gelombang otak Teta untuk 'berkomunikasi' dengan semesta ketika sedang melaksanakan tugasnya.
ADVERTISEMENT
Sontak hal ini membuat kening rakyat berkerut. Bagaimana bisa pernyataan tersebut bisa keluar dari akun resmi kementrian Pendidikan negara ini. Padahal para ahli Badan Riset Ilmiah Nasional (BRIN) dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah memberi penjelasan yang ilmiah soal hujan di Mandalika. Mereka dibantu TNI AU berusaha menghentikan atau mengalihkan hujan dengan teknologi modifikasi cuaca (TMC) sejak beberapa hari sebelumnya.
Tetapi sayangnya pada saat jam pertandingan terjadi bibit siklon tropis 93F yang dampaknya bisa memberikan potensi pertumbuhan awan hujan di Mandalika. Sehingga usaha saintis yang dilakukan tidak bisa mengalihkan hujan dari Mandalika tepat pada tanggal 20 Maret. Hanya saja berhentinya hujan saat itu menurut prediksi BMKG bukan karena pawang hujan, tetapi memang karena durasi hujan yang sudah selesai.
ADVERTISEMENT
***
Pendidikan dan teknologi adalah dua hal yang saling berkelindan. Proses pembelajaran yang dilakukan manusia secara terus menerus dalam sebuah sistem pendidikan yang baik, mampu mengantarkan manusia dari zaman yang masih mempercayai mitologi akibat keterbatasan ilmu yang dimiliki, menuju zaman metaverse bahkan lebih canggih lagi ke depannya. Sedangkan teknologi adalah hasil dari proses pendidikan tersebut. Kecanggihan teknologi ini juga bisa membantu hidup manusia lebih efektif dan efisien.
Yang membuat aneh adalah mengapa seorang Menteri pendidikan malah menyuguhkan konsep kesyirikan yang berlindung di balik kearifan lokal, lalu diterjemahkan dalam bahasa ilmiah. Namun sayangnya hal itu tidak berhasil. Tetap ada perbedaan yang jelas antara ilmu sains dengan mitologi. Menurut Erma Yulihastin, peneliti klimatologi di pusat riset iklim dan atmosfer BRIN, mengatakan bahwa ilmu yang digunakan pawang hujan tidak bisa dipahami secara nalar. Karena ilmu tersebut dibangun pada zaman ketika manusia masih mempercayai konsep mitologi untuk memahami ilmu semesta.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, ilmu sains dibangun oleh satu metode yang mutlak secara ilmiah, dan bisa ditiru dan dipelajari oleh siapa pun. Termasuk ilmu cuaca yang sudah sangat berkembang 100 tahun terakhir ini. Apalagi ilmu cuaca sekarang sudah didukung oleh teknologi dan komputerisasi. Sehingga persoalan menurunkan, memindahkan, mempercepat turunnya hujan bisa dilakukan dan diuji secara saintifik.
Satu hal ini memang akhirnya akan menjadi tugas besar untuk sistem pendidikan negara ini. Ketika menterinya saja masih menerjemahkan area mitos ke dalam ranah ilmiah, maka arah pendidikan bangsa mau digiring ke mana. Mau lanjut ke zaman metaverse atau lebih suka berkubang dalam gua mitologi. Ditambah pula dengan mas Menteri yang dalam kebijakannya juga dinilai tidak terlalu taat beragama.
ADVERTISEMENT
Hal ini jelas tidak bisa diacuhkan. Karena pendidikan adalah tonggak suatu negara. Jika memang pendidikan yang diinginkan adalah sekular, di mana masih mewacanakan mitologi, maka hal ini jelas harus ditolak dan direvisi total.
Tidak bisa dipungkiri alam sekuler memang sangat permisif dengan hal-hal klenik atau mitos semacam ini. Agama menjadi sesuatu yang harus dipisahkan jauh dari kehidupan sehari-hari. Agama tidak boleh ikut campur urusan politik, pendidikan, hukum, minyak goreng, bahkan soal kearifan lokal. Agama hanya boleh hadir di majelis ta'lim, di kala Ramadan, di musola dan masjid. Sehingga lumrah jika hal klenik alias kesyirikan akan terus lestari di bawah nama kearifan lokal.
***
Pawang hujan bisa dikategorikan dalam kesyirikan karena biasanya ada ritual meminta bantuan jin untuk menahan hujan. Tidak pernah Rasulullah saw mencontohkan ritual penghentian hujan sebagaimana yang dilakukan oleh seorang pawang hujan, apalagi dengan menggunakan cawan emas. Dalam Islam hanya diperkenankan meminta pertolongan pada Allah, bukan kepada makhlukNya seperti jin, setan dan semisalnya.
ADVERTISEMENT
Ramadan ini menjadi momen yang tepat untuk merenungkan dosa akibat kesyirikan. Kesyirikan di dalam Islam adalah dosa besar nomer wahid yang tidak bisa dimaafkan. Dalam surah An-Nisa ayat 48 yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.
Kita masih ingat bahwa ujung dari serangkaian ibadah puasa Ramadan adalah ketakwaan. Dan makna ketakwaan sendiri adalah ketundukan secara totalitas pada aturan Allah swt. Ramadan ini harusnya menjadi kawah candradimuka untuk meluluhkantakkan dosa besar dan kecil. Dan kesyirikan jelas salah satu kemaksiatan yang harus dijauhi oleh orang yang bertakwa.
ADVERTISEMENT
Standar baik dan buruk pada orang yang bertakwa adalah aturan Allah atau syariat Islam. Label baik akan dipasangkan pada perbuatan yang dibenarkan syariat atau benda yang dihalalkan syariat. Demikian sebaliknya.
Demikian pula ketika menempatkan budaya atau kearifan lokal. Ketika budaya tersebut tidak bertentangan dengan aturan Islam maka boleh saja dilakukan atau dipakai. Dan sebaliknya, orang bertakwa otomatis akan malu dan menjauh pada budaya yang bertentangan dengan aturan Alah SWT.
Jikalau memang kesyirikan seperti pawang hujan ini dianggap sebagai kearifan lokal Indonesia, maka hendaklah ditolak karena bertentangan dengan agama. Dan pada budaya yang tidak berlawanan dengan syariat maka bisa terus dilestarikan. Seperti saling bermaafan ketika lebaran, ketupat lebaran, batik motif flora, dan masih banyak lagi. Sebagaimana ungkapan terkenal dari Minang: Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah (adat bersendi syariat dan syariat bersendi kitab Allah SWT).
ADVERTISEMENT
Lebih jauh lagi ketika ketakwaan ini tidak hanya mewarnai selama Ramadan, tetapi juga setelah Ramadan, maka aktivitas kita secara keseluruhan akan terpatok pada standar baku syariat. Dengan demikian pendidikan dan teknologi juga akan diayomi dalam sistem Islam yang rahmatan Lil Alamin. Sistem pendidikan akan terjauhkan dari mitologi sehingga kemajuan teknologi akan semakin melesat ke depan. Sebagaimana sejarah kejayaan peradaban Islam ratusan tahun silam yang mengantarkan Islam menjadi mercusuar pendidikan dan teknologi dunia saat itu. Dan masa itu pun akan segera kembali insyaAllah. Wallahu a’lam.