Obral Gelar Akademisi untuk Politisi, Salahkah?

Carrera Zenitha Niqi
Content writer
Konten dari Pengguna
4 November 2022 9:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Carrera Zenitha Niqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: membuat sendiri dari website canva.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: membuat sendiri dari website canva.com
ADVERTISEMENT
Pada Sabtu (22 Oktober 2022), aksi unjuk rasa mahasiswa mewarnai penyerahan gelar doktor kehormatan oleh Universitas Negeri Semarang (Unnes) kepada Kepala Staf Moeldoko. Demonstran berdiri di teras auditorium dan membentangkan plakat yang bertuliskan, "Mengapa Honoris Causa (HC) dijual lagi?"
ADVERTISEMENT
Beberapa mahasiswa berada di Auditorium Unnes untuk penyerahan penghargaan. Para mahasiswa memprotes banyaknya gelar kehormatan yang telah diberikan Unnes kepada beberapa pejabat. Mereka meminta pihak Kemendikbudristek untuk mengukuhkan semua honor yang dikeluarkan Unnes.
Perwakilan Mahasiswa Ramdan Fitrisal mengatakan, “Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan mencabut gelar doktor kehormatan yang diberikan oleh pihak Unnes jika terbukti tidak memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku".
Mereka juga meminta pimpinan Unnes untuk mengklarifikasi transparansi pemberian gelar kehormatan kepada publik. Setiap pemberian gelar kehormatan diminta ada uji publik. Hal ini bertujuan untuk mempertegas dan memperbaiki wibawa kampus (idntimes.com, 22/10/2022).
***
Penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa (DH.C) kepada banyak pihak kerap mengundang komentar “nyinyir” tentang fenomena jual beli gelar. Tudingan sesat ini tak lepas dari fakta bahwa mereka yang dianugerahi gelar itu adalah bagian dari elite politik atau penguasa. Misalnya Wakil Ketua Umum Golkar, Nurdin Halid yang diberikan gelar kehormatan oleh Universitas Negeri Semarang, lalu ada ketua DPR Puan Maharani yang mendapat gelar kehormatan oleh Universitas Diponegoro.
ADVERTISEMENT
Ada pula nama Abdul Halim Iskandar, Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal dan Migrasi yang dianugerahkan oleh Universitas Negeri Yogyakarta. Selain gelar Doktor Kehormatan, ada pula nama Presiden RI ke-5 Megawati Sukarnoputri yang diangkat sebagai guru besar emeritus pada Juni tahun lalu oleh Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan) dalam jabatan guru besar tambahan.
Tentu timbul pertanyaan mengapa para politisi kerap menganugerahkan gelar kausalitas kehormatan kepada para politisi sebagai jawaban atas fenomena yang seolah sudah menjadi tradisi di negeri ini. Ada apakah di balik pemberian gelar kehormatan ini?
***
Diperlukan beberapa tahun bagi seorang mahasiswa untuk lulus dari perguruan tinggi. Tidak hanya mengorbankan banyak waktu, namun juga dipastikan mampu untuk menyelesaikan seluruh Sistem Kredit Semester (SKS) dan menyusun penelitian ilmiah sebagai salah satu syarat kelulusan. Jelas butuh banyak tenaga, pikiran dan uang untuk mendapatkan gelar akademik.
ADVERTISEMENT
Namun, berbeda dengan mereka yang dianggap berjasa dalam bidang tertentu, mereka memiliki keistimewaan untuk mendapatkan gelar tanpa melalui proses yang panjang dan sulit. Gelar akademik ini dikenal sebagai Honoris Causa.
Honoris Causa diberikan kepada seseorang yang telah memberikan kontribusi kepada universitas dan kemanusiaan. Itu diberikan oleh universitas setelah melalui proses seleksi tertentu dan dengan persetujuan Menteri Pendidikan.
Mengutip dari UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi bagian 72(5) mengatur alokasi jabatan guru besar, Menteri dapat, atas usul Universitas, menunjuk orang yang sangat baik dalam pangkat profesor. Pasal 27 sekarang mengatur tentang pemberian gelar doktor kehormatan. Selain itu, mekanisme pemberian gelar doktor honoris causa sudah diatur dalam Permenristekdikti 65/2016.
Fenomena pemberian gelar kehormatan kepada pejabat negara dikatakan karena mereka telah menemukan solusi terobosan untuk memecahkan masalah negara, atau dianggap orisinal dalam menemukan inovasi dari kebijakan yang diberlakukan atau diimplementasikan sehingga berkontribusi positif bagi negara. kemajuan negara. Apakah tepat?
ADVERTISEMENT
Dari segi kualitas pendidikan, kesehatan dan taraf hidup ekonomi, fakta situasi tidak menunjukkan banyak perubahan. Sejujurnya, di bawah kepemimpinan rezim selama satu dekade terakhir, keadaan masyarakat, terutama umat Islam di negeri ini, masih belum maju.
Anehnya, banyak pejabat yang dianugerahi gelar doktor kehormatan. Sangat mudah untuk percaya bahwa gelar ini tidak lebih dari "balas budi" di kampus. Hal ini terlihat dalam pemilihan pimpinan kampus yang tidak lagi independen.
***
Ini bisa menjadi bom waktu dalam masyarakat dengan banyak sarjana dan orang-orang terpelajar, yang sangat dibutuhkan untuk memberi evaluasi dan kontribusi objektif terhadap berbagai kebijakan negara. Sayangnya kredibilitas kampus sebagai institusi telah tercoreng.
Padahal merekalah yang lebih memahami dasar-dasar pembuatan kebijakan daripada manfaat dan implikasi penerapannya. Tidak ada keseimbangan kekuasaan ketika kampus tidak lagi mandiri dan dikuasai oleh kekuasaan. Tidak ada yang mengkritik kebijakan pemerintah atau menawarkan masukan atau inovasi untuk perubahan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Hal ini tentu saja berbahaya dan dapat menimbulkan kekuasaan otoriter. Dalam dekade terakhir, tampak kampus praktis dalam keadaan mati suri. Idealisme kampus bisa dikatakan telah terbunuh secara mental. Tirani negara, dengan berbagai dampaknya telah membahayakan bangsa Indonesia dan umat Islam pada umumnya. Kampus hanya diam dan sama sekali tidak responsif. Lucunya, kampus ramai-ramai memberikan gelar kehormatan pada pejabat.
Ini adalah keadaan yang menyedihkan di negeri ini dalam hal pendidikan. Di atas segalanya, kami tidak ingin kampus menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan sehingga mereka yang berkuasa bisa seenaknya menggunakan kekuasaannya. Ini karena tidak ada lagi balancing power dari kampus sebagai alat autokritik kekuasaan.
***
Independensi dalam Sistem Islam
Dalam Islam kedudukan lembaga dan orang-orang terpelajar sangat mandiri dan memiliki otoritas tersendiri dalam bidang ilmu pengetahuan. Para cendekiawan menyadari kewajiban mereka untuk takut pada Allah dan mengoreksi penguasa. Mereka memiliki kewibawaan di depan penguasa sehingga bisa leluasa dan merdeka memberikan masukan, saran, dan kritik konstruktif bagi kemajuan bangsa.
ADVERTISEMENT
Para penguasa saat itu memegang kekuasaan dengan cara yang bijaksana dan dapat dipercaya. Selain ketakwaannya, ia juga disukai oleh para ulama dan cendekiawan yang selalu memberikan pendapat yang konstruktif dalam menjalankan kekuasaan. Alhasil, kebijakan baru tersebut akan berdampak positif bagi negara dan kualitas hidup masyarakatnya. Wallahu a'lam.
***