Ramadan yang Berbeda

Carrera Zenitha Niqi
Content writer
Konten dari Pengguna
27 Maret 2022 13:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Carrera Zenitha Niqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: kumparan.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Marhaban ya Ramadan. Kaum muslimin di seluruh dunia bersuka cita menyambutnya. Sayangnya Ramadan kali ini kembali disambut dengan bermuram durja. Betapa tidak, selain masih harus berjuang menjaga kesehatan di tengah pandemi, rakyat kembali diberi kado pahit naiknya harga barang menjelang puasa. Bukan ketenangan yang didapatkan rakyat karena adanya jaminan kesejahteraan hidup, namun lagi-lagi rakyat kembali akan disibukkan dengan persoalan “dapur yang harus tetap mengepul”. Akankah Ramadan kali ini kembali rakyat diuji dengan urusan perutnya daripada mendekat pada Allah swt?
ADVERTISEMENT
Pandemi ini memberikan kita pelajaran bahwa Allah Maha Kuasa atas segalanya. Meskipun manusia sudah berikhtiar sedemikian rupa, nyatanya hanya Allah lah yang sanggup mengakhiri pandemi ini. Manusia makhluk lemah tak berdaya di depan kemahabesaran Allah. Maka Ramadan yang akan dilewati di tengah wabah yang belum berakhir ini seharusnya menjadikan umat semakin bertakwa dan mendekat pada Allah swt. Semakin taat pada semua aturan Allah swt.
Ramadan ini seharusnya mengingatkan kita bahwa berhukum pada aturan selain hukum Allah akan membawa kepada kesengsaraan demi kesengsaraan yang nyata. Lihat saja bagaimana culasnya kongkalikong oligarki penguasa dalam urusan minyak kelapa sawit. Tak ada simpati pada rakyat. Rakyat juga selalu dianggap sebagai beban negara, dimana sedikit demi sedikit dicabut subsidi di berbagai sektor. Namun lucunya setiap kebijakan yang dikeluarkan selalu mengatasnamakan “demi rakyat”.
ADVERTISEMENT
***
Menjelang bulan puasa kita kembali diingatkan pada surat Al Baqarah ayat 183.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan bahwa takwa kepada Allah bukan ditandai oleh seringnya puasa di siang hari dan seringnya shalat malam atau kedua-duanya. Akan tetapi, takwa kepada Allah adalah meninggalkan apa saja yang Allah haramkan dan melaksanakan apa saja yang Allah wajibkan.
Dari sisi individu, ketakwaan bisa dimaknai sebagai kemampuan menjadikan aturan Allah sebagai standar dalam aktivitas dan tingkah lakunya. Standar yang dikenal dalam Islam ada lima, yaitu wajib, sunah, mubah, makruh dan haram. Sikap kehati-hatian dalam melangkah supaya selalu dalam koridor syariat inilah yang disebut sebagai takwa.
ADVERTISEMENT
Apabila seorang individu sudah tertanam ketakwaan yang tinggi, akan senantiasa berbuat sesuai aturan Islam. Dia tidak akan pernah mau untuk bermaksiat kepada Allah, seperti mencuri, membunuh, korupsi, menimbun, dan lainnya. Intinya, manusia bertakwa akan selalu bersikap benar sesuai syariat Islam meskipun lingkungannya selalu mengajak pada kemaksiatan.
Namun, sayangnya ketakwaan individu ini memang bisa jebol ketika lingkungan tak berhenti mempengaruhinya untuk bermaksiat. Inilah risiko berat yang harus ditanggung umat ketika hidup dalam kubangan sistem sekularisme. Maksud hati ingin baik, apa daya bisikan kanan kiri membuat pertahanan sekuat malaikat pun roboh juga.
Maka disinilah pentingya membentuk lingkungan yang juga harus kondusif mendukung ketakwaan individu. Ketakwaan yang bersifat kolektif akhirnya menjadi kebutuhan yang mutlak. Seluruh komponen masyarakat juga seharusnya mau tunduk dengan aturan Allah swt. Tetapi ketaatan pada Allah juga tidak bisa utuh dilakukan oleh masyarakat secara keseluruhan, apabila ada kebijakan negara yang bertentangan dengan aturan Allah. Misal soal minuman keras atau minuman beralkohol. Di mana islam jelas melarang khamr, tetapi Negara tidak melarangnya hanya mengaturnya saja.
ADVERTISEMENT
Sehingga kepemimpinan yang bertakwa juga mutlak diperlukan oleh umat. Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. dalam Tafsir al-Quran karya Al-Baghawi menjelaskan bahwa seorang imam atau pemimpin negara wajib memerintah berdasarkan hukum yang telah Allah turunkan serta menunaikan amanah. Jika dia melakukan itu, rakyat wajib untuk mendengarkan dan mentaati dirinya. Sebaliknya, tidak wajib taat kepada kepemimpinan yang tidak memerintah berdasarkan hukum Allah atau memerintahkan kemaksiatan kepada Allah.
***
Hendaknya Ramadan kali ini berbeda. Harus bisa melahirkan ketakwaan individu, kolektif maupun secara kepemimpinan. Sehingga seluruh aturan Allah bisa kita taati secara kaffah baik selama Ramadan dan sesudah Ramadan. Dan ide-ide yang menjauhkan kaum muslimin dari syariatnya seperti moderasi beragama bisa kita tolak sepenuhnya. Ketika semua komponen taat dengan aturan Allah, semoga menjadikan Allah rida untuk mengakhiri pandemi ini dan menurunkan berkah yang melimpah kepada seluruh alam. Wallahu a’lam bisshowab.
ADVERTISEMENT