Konten dari Pengguna

TikTok dan Nasib Hak Digital Kita

Nirma Yossa
Peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Lulusan PhD dari University of Queensland.
21 Januari 2025 19:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nirma Yossa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah bertahun-tahun menjadi perdebatan, larangan TikTok akhirnya mendapat lampu hijau dari Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS). Aplikasi milik ByteDance ini dianggap berisiko terhadap keamanan data negara, dengan 19 Januari 2025 ditetapkan sebagai batas akhir legalitasnya di AS. Namun, situasi berubah cepat ketika Presiden Terpilih Trump mengumumkan rencana menunda larangan, membuat TikTok kembali dapat diakses oleh sebagian pengguna hanya beberapa jam sebelum batas waktu berakhir.
ADVERTISEMENT
Larangan TikTok di Amerika Serikat tidak hanya menjadi isu keamanan nasional, tetapi juga refleksi global atas hak digital yang sering terabaikan di tengah tarik-menarik kepentingan politik dan ekonomi. Ketika TikTok diblokir di AS, lebih dari sekadar platform media sosial yang dihentikan aksesnya, keputusan ini memengaruhi miliaran pengguna di seluruh dunia. TikTok, dengan lebih dari 1,2 miliar pengguna aktif bulanan, telah menjadi ruang penting untuk kreativitas, informasi, dan ekspresi diri. Namun, larangan ini menimbulkan pertanyaan mendesak: bagaimana nasib hak digital kita saat keputusan besar diambil tanpa melibatkan pengguna?
Sumber foto: https://www.flaticon.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: https://www.flaticon.com

Hak Digital sebagai Hak Asasi Manusia

Menurut Digital Rights Watch, hak digital mencakup kebebasan berekspresi, privasi, akses terhadap informasi, dan keamanan data pribadi. Sayangnya, konflik kepentingan antara pemerintah dan perusahaan teknologi sering kali mengorbankan hak-hak ini. Larangan TikTok di AS adalah salah satu contoh nyata. Jutaan pengguna kehilangan akses tanpa kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka. Hal ini mengundang pertanyaan mendasar: seberapa besar wewenang pemerintah dalam membatasi akses teknologi hanya karena risiko yang belum terbukti sepenuhnya?
ADVERTISEMENT
Fenomena ini bukan hanya soal TikTok. Di India, aplikasi tersebut telah lebih dulu dilarang pada tahun 2020 dengan alasan serupa. Akibatnya, jutaan pengguna kehilangan akses secara mendadak, dan ribuan kreator konten kehilangan mata pencaharian utama mereka.
Sumber foto: aaron-weiss-_x6XZ_jp0g8-unsplash

TikTok dan Isu Keamanan Nasional

Dalam konteks geopolitik, TikTok telah menjadi simbol persaingan antara Tiongkok dan negara-negara Barat. Menurut studi penelitian berjudul "Governing Chinese Technologies: TikTok, Foreign Interference, and Technological Sovereignty," negara seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan Uni Eropa telah mengambil pendekatan berbeda dalam menangani aplikasi ini. Sementara AS dan Australia cenderung memprioritaskan isu keamanan nasional, Uni Eropa fokus pada perlindungan data pengguna melalui regulasi berbasis hak, seperti Digital Services Act (DSA) dan General Data Protection Regulation (GDPR).
ADVERTISEMENT
DSA adalah regulasi Uni Eropa yang bertujuan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas platform digital. Regulasi ini mencakup kewajiban untuk menghapus konten ilegal, melindungi data pengguna, dan menyediakan akses yang setara ke layanan digital. Sedangkan, GDPR adalah undang-undang privasi data yang berlaku di seluruh Uni Eropa, yang memberikan kendali lebih besar kepada individu atas data pribadi mereka dan mewajibkan perusahaan untuk mematuhi standar tinggi dalam pengelolaan data tersebut.
Studi tersebut juga menyoroti bahwa regulasi yang terlalu ketat tanpa melibatkan masyarakat dapat menghilangkan ruang digital yang inklusif. Selain itu akan muncul muncul fenomena fragmentasi internet atau 'splinternet,' yang mengacu pada fenomena di mana akses internet global terpecah-pecah akibat regulasi lokal, kebijakan geopolitik, atau tekanan ekonomi. Hal ini menciptakan hambatan lintas batas untuk aliran data, yang dapat mengurangi manfaat globalisasi digital dan mempersempit akses pengguna ke platform tertentu.
sumber foto: shutter-speed-PSCxb6qpiFg-unsplash

Hak Pengguna yang Sering Terabaikan

ADVERTISEMENT
Internet adalah ruang publik, dan pengguna memiliki peran besar dalam menentukan bagaimana teknologi seharusnya berfungsi. Namun, dalam banyak kasus, suara pengguna sering kali diabaikan. Bayangkan jika aplikasi yang Anda gunakan sehari-hari, seperti TikTok atau WhatsApp, tiba-tiba hilang. Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya kehilangan hiburan. Namun, bagi banyak lainnya, ini berarti kehilangan alat kerja, jaringan sosial, bahkan ruang untuk berekspresi.

Langkah untuk Memperjuangkan Hak Digital

Sebagai pengguna, kita dapat mengambil langkah-langkah berikut untuk memperjuangkan hak digital:
ADVERTISEMENT

Masa Depan Digital yang Inklusif

Larangan TikTok mengingatkan kita bahwa akses teknologi tidak boleh dianggap remeh. Sebagai pengguna, kita memiliki hak untuk terhubung dan menggunakan teknologi tanpa takut kehilangan akses secara tiba-tiba. Dengan memahami hak-hak kita, berpartisipasi dalam dialog publik, dan mendukung kebijakan inklusif, kita dapat memastikan bahwa dunia digital yang kita bangun adalah ruang yang adil dan terbuka untuk semua.