Konten dari Pengguna

Dua Perempuan Penggerak Perdamaian dari Muhammadiyah

Nirwansyah
Ketua Bidang Hikmah, Politik, dan Kebijakan Publik IMM Ciputat
1 Maret 2022 20:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nirwansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi (Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi (Shutterstock)
ADVERTISEMENT
Narasi terorisme belakangan sudah merembes, dihembuskan, dan menyasar organisasi-organisasi Islam. Sebagai salah satu ormas atau gerakan Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah sangat menentang tindakan-tindakan amoral seperti terorisme dan kejahatan kemanusiaan lainnya. Peran Muhammadiyah beserta kader-kadernya sudah terbukti serta teruji di republik ini.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, paham keislaman rahmatan lil ‘alamin sebagaimana yang dianut Muhammadiyah juga sudah menyinari berbagai penjuru dunia dengan mendirikan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah. Ada sekitar 25 PCIM yang sudah tersebar di beberapa benua, seperti Australia, Eropa, Amerika, Afrika, dan Asia.
Di sisi lain, tokoh-tokoh dan generasi muda Muhammadiyah turut terlibat serta dikenal sebagai pembela kemanusiaan dan penggerak perdamaian. Sosok seperti Ahmad Syafii Maarif, Din Syamsuddin, dan Syafiq A. Mughni, misalnya. Ketiga tokoh tersebut sudah malang melintang dalam isu perdamaian, penanggulangan kekerasan, dan pencegahan ekstremisme serta terorisme.
Kalangan muda Muhammadiyah juga tak ketinggalan. Upaya mengonter narasi-narasi terorisme mereka lakukan dengan berbagai cara, mulai dari pelatihan, pendampingan, seminar, atau mempublikasikan tulisan di berbagai media (nasional dan internasional).
ADVERTISEMENT
Melihat fakta tersebut, tindakan terorisme ataupun anti terhadap kemanusiaan sangat bertolak belakang dengan prinsip Persyarikatan yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912 itu. Bagi Muhammadiyah, tidak ada toleransi terhadap tindakan kekerasan, anti kemanusiaan, apalagi terorisme.
Tak terbilang kontribusi Muhammadiyah dalam isu perdamaian dan pencegahan terorisme. Seandainya Muhammadiyah tidak ada, tidak menutup kemungkinan Indonesia akan berkuah darah dan menjadi—meminjam istilah Buya Syafii Maarif—“kepingan neraka” seperti yang berlaku di negara-negara Timur Tengah.
Namun, peran perempuan dalam menggerakkan dan membangun perdamaian kurang menjadi sorotan sebagaimana tokoh-tokoh atau aktivis Muhammadiyah di atas yang didominasi oleh laki-laki. Padahal, perempuan merupakan madrasah pertama dan early warning system di lingkungan keluarga ataupun komunitas terkait bibit-bibit intoleransi.
ADVERTISEMENT
Karenanya, peran perempuan sangat penting dalam isu perdamaian, penanggulangan kekerasan, dan terorisme. Mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Setidaknya, ada dua srikandi Muhammadiyah yang tak bosan dan berani mengambil peran dalam melawan terorisme sekaligus menjadi penggerak perdamaian.
1. Siti Ruhaini Dzuhayatin
Perempuan memiliki kedudukan startegis sebagai pengawal perdamaian. Hal inilah yang sudah dibuktikan oleh Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam berbagai kiprahnya, baik di dalam maupun luar negeri. Ia dikenal sebagai aktivis Muhammadiyah dan ahli dalam bidang Islam, HAM, demokrasi, dan studi gender. Peran dan pemikirannya banyak memberikan inspirasi bagi gerakan perempuan di Indonesia.
Di kancah internasional, kiprahnya dapat dilihat saat ia terpilih secara aklamasi sebagai Komisioner Independen Hak Asasi Manusia Organisasi Kerjasama Islam (IPHRC-OIC) dua kali berturut-turut, yakni pada tahun 2012-2014 sebagai ketua dan 2014-2016 sebagai komisioner. Selama menduduki posisi tersebut, ia memainkan peran penting dalam meredam perseteruan antara Universal Declaration of Human Rights dengan Islamic Declaration of Human Rights tentang nilai-nilai umum HAM. Selain itu, alumni Monash University, Australia ini juga terlibat dalam upaya perdamaian di Afganistan dengan menjadi anggota Afghanistan Indonesia Women Solidarity Network/AISWN.
ADVERTISEMENT
Berkat pengalaman, kepakaran, dan aktivismenya, Ruhaini dipercaya oleh Presiden Joko Widodo sebagai Stafsus Presiden Bidang Keagamaan di tingkat Internasional (2018-2019) dalam rangka membantu presiden untuk mengenalkan wajah Islam wasathiyah Indonesia kepada fora internasional. Tak hanya itu, dosen senior UIN Sunan Kalijaga ini juga diangkat oleh Presiden Jokowi sebagai Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI (2020-2024).
Sebelumnya, pada tahun 1990-an, sosok Ruhaini menjadi figur penting dalam menengahi ketegangan antara feminisme Barat dan isu-isu perempuan dalam Islam. Melihat sepak terjangnya tersebut, gelar Guru Besar yang diraihnya pada tahun 2021 pada Fakultas Syari`ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memang sudah sepatutnya ia sandang.
2. Yulianti Muthmainnah
Di kalangan aktivis perempuan, nama Yulianti Muthmainnah mungkin sudah tidak asing lagi. Sebab, ia sangat produktif dan aktif melakukan publikasi, diskusi, pendampingan, dan pelatihan pada isu-isu Islam, perempuan, hukum, pluralisme, dan kebebasan beragama. Bagi Dewan Pengarah Lembaga Perdamaian Indonesia ini, pluralisme adalah “pandangan yang menghargai kemajemukan, penghormatan terhadap orang lain, dan membuka diri terhadap warna-warni keyakinan.”
ADVERTISEMENT
Pandangan tersebut tidak sekadar menjadi alam ide yang mengawang di langit, tetapi ia berupaya membumikannya dalam berbagai kesempatan. Lulusan terbaik Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah ini melihat ada kekosongan terkait keterlibatan perempuan dalam upaya perdamaian. Posisi itulah yang ia isi dengan mengambil peran pada isu-isu penanggulangan dan pencegahan ekstremisime serta menjadi penggerak perdamaian terutama bagi kaum muda dan perempuan, baik itu di tingkat lokal maupun nasional.
Adapun upaya yang telah dilakukannya, antara lain: pelatihan dan seminar tentang mencipatakan budaya damai di Cirebon bekerja sama dengan tim Fahmina Institute tahun 2013; menggelar diskusi tentang perempuan sebagai agen perdamaian, mengikis konflik dan permusuhan dalam perspektif agama saat perhelatan KUPI 2017 yang mana ia berperan sebagai leader/chair paralel-nya.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, Yuli juga membagikan pengalamannya dalam bentuk tulisan tatkala menjadi fasilitator atau pembicara dalam pelatihan perdamaian. Metode pelatihan yang ia terapkan ialah dengan menggunakan gambar untuk memudahkan peserta memahami materi. Paling tidak ada beberapa materi yang disampaikan, yakni identitas, politik identitas, prasangka, memahami asal mula konflik, pencegahan konflik, pluralisme, dan dialog antaragama. Metode tersebut justru lebih efektif memantik peserta agar berani berpendapat dan terbuka terkait pengalamannya masing-masing.
Sebagai dosen di perguruan tinggi Muhammadiyah, ada pengalaman menarik saat ia mengampu mata kuliah AIK (Al-Islam dan Kemuhammadiyahan) dengan mengikutsertakan mahasiswanya yang non-Muslim. Lalu seperti apa responsnya? Kutipan yang diambil dari tulisan Yuli di bawah judul “Hak-hak Kebebasan Beragama Perempuan; Refleksi Pembelajaran dan Pelatihan di Komunitas” (2022) ini mungkin bisa menjawab pertanyaan tersebut:
ADVERTISEMENT
“Saya mencoba untuk melibatkan semua siswa untuk berpartisipasi, jadi saya meminta mereka yang non-Muslim untuk merefleksikan puasa dari perspektif Kristen. Di bagian terakhir, saya mendapat pemberitahuan dari mahasiswi saya: 'Ini adalah pertama kalinya dalam hidup saya, saya mempresentasikan agama saya di depan teman-teman saya bahkan di universitas Islam Muhammadiyah'.”