Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Suhu Cirebon Makin Panas, Pilkada Bisa Apa?
14 November 2024 14:15 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Nisa Nurul Hamdiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cirebon menghadapi tantangan besar dalam menghadapi krisis iklim. Menurut data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu di Cirebon terus mengalami kenaikan yang signifikan. Dalam dua dekade terakhir, suhu rata-rata tahunan di Cirebon meningkat hampir 1°C, dari 28,7°C pada 2010 menjadi 29,4°C pada tahun 2023. Laporan terbaru dari World Meteorological Organization (WMO) menyoroti bahwa tren pemanasan ini sebagian besar dipicu oleh aktivitas manusia, terutama dari sektor industri. Meski kenaikan suhu global adalah fenomena yang melibatkan banyak faktor, aktivitas industri di Cirebon menjadi salah satu kontributor utama perburukan kondisi iklim.
ADVERTISEMENT
Industrialisasi yang Menggerus Daya Tahan Lingkungan
Seiring perkembangan industri di Cirebon, muncul apa yang disebut sebagai metabolic rift, sebuah konsep yang dikemukakan oleh Karl Marx untuk menjelaskan hubungan yang rusak antara manusia dan alam akibat kapitalisme industri. Teori metabolic rift merujuk pada bagaimana sistem produksi kapitalistik, dengan skala ekstraksi sumber daya alam yang masif, merusak siklus metabolik alam. Dalam konteks Cirebon, industrialisasi besar-besaran, terutama di sektor manufaktur dan energi, seperti industri semen, pabrik kimia, dan PLTU, menciptakan ketidakseimbangan ekologis.
Pembangunan industri telah mengakibatkan eksploitasi besar-besaran terhadap alam tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap regenerasi ekosistem. Dalam hal ini, metabolic rift menggambarkan bagaimana produksi industri yang berorientasi pada laba memutus hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan, sehingga menciptakan kerusakan yang mendalam pada ekosistem. Kerusakan ekosistem akibat pencemaran udara, dan penggunaan lahan secara masif, baik untuk pabrik maupun PLTU, menghasilkan dampak jangka panjang yang memperparah krisis iklim. Yayasan Cerah mencatat bahwa kerusakan lingkungan di Cirebon telah mengurangi daya dukung ekologis secara drastis, memicu krisis sosial dan kesejahteraan masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Kerusakan ini tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga berpengaruh pada dimensi sosial. Sebagai contoh, ICEL (Indonesian Center for Environmental Law) melaporkan bahwa penggusuran lahan petani dan nelayan untuk keperluan industri di Cirebon telah menyebabkan ketidakadilan struktural, di mana kelompok masyarakat kecil harus menanggung beban dari aktivitas industri besar. Krisis sosial-ekologis ini merupakan manifestasi dari rusaknya hubungan antara manusia dan alam akibat proses produksi yang eksploitatif.
Kerusakan Ekologis Memicu Krisis Sosial
Krisis lingkungan yang dialami Cirebon juga berdampak pada aspek sosial-ekologis. Yayasan Cerah mencatat bahwa komunitas nelayan di pesisir Cirebon mengalami penurunan hasil tangkapan akibat pencemaran laut dan peningkatan suhu air. Selain itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) melaporkan bahwa petani di daerah pedalaman semakin sulit mendapatkan air bersih akibat deforestasi yang dilakukan oleh industri ekstraktif.
ADVERTISEMENT
ICEL juga menyoroti kurangnya penegakan hukum terkait perlindungan lingkungan di Cirebon. Industri besar sering kali lolos dari tanggung jawab atas kerusakan yang mereka sebabkan karena lemahnya regulasi dan pengawasan. ICEL menekankan bahwa kerusakan ini tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi juga memperburuk ketidaksetaraan sosial di daerah tersebut.
Pertaruhan Besar dalam Pilkada untuk Lingkungan
Dalam konteks Pilkada, pertanyaannya adalah: sejauh mana pemimpin daerah yang terpilih mampu mengatasi krisis iklim ini? Sayangnya, seperti yang dicatat oleh JATAM dan Greenpeace, banyak kandidat Pilkada yang didukung oleh oligarki ekonomi yang memiliki kepentingan besar dalam industri ekstraktif. Kepentingan ini sering kali lebih kuat daripada tekanan publik untuk menerapkan kebijakan ramah lingkungan.
Pilkada seharusnya menjadi kesempatan untuk mendorong perubahan, tetapi tanpa komitmen tegas dari para kandidat terhadap energi terbarukan dan pengurangan emisi, hanya sedikit yang dapat diharapkan. Misalnya, WALHI dan Greenpeace telah menyerukan moratorium pembangunan PLTU baru, tetapi usulan ini tidak mendapat tanggapan serius dalam debat politik lokal.
ADVERTISEMENT
Pilkada Bisa Apa?
Suhu di Cirebon telah mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Menurut data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu rata-rata di Cirebon pada tahun 2023 mencapai 29,4°C, meningkat dari 28,7°C pada tahun 2010. Peningkatan suhu ini sejalan dengan tren global yang menunjukkan kenaikan suhu rata-rata sebesar 0,2-0,3°C per dekade di seluruh Indonesia.
Kenaikan suhu ini, yang diperparah oleh aktivitas industri ekstraktif, menyebabkan peningkatan intensitas dan frekuensi gelombang panas, serta mengganggu siklus pertanian dan meningkatkan risiko kebakaran hutan di sekitar wilayah tersebut. Data dari Greenpeace juga menunjukkan bahwa tingkat polusi udara di Cirebon mencapai angka yang sangat memprihatinkan, dengan konsentrasi PM2.5 yang melebihi ambang batas aman WHO selama lebih dari 100 hari dalam setahun.
ADVERTISEMENT
Pilkada menawarkan secercah harapan bagi perubahan kebijakan, tetapi hanya jika para pemimpin daerah yang terpilih berani menantang dominasi oligarki industri ekstraktif. Tanpa tindakan nyata untuk mengurangi emisi dan melindungi lingkungan, Cirebon akan terus menghadapi dampak buruk dari kenaikan suhu dan krisis sosial-ekologis.
Masyarakat Cirebon membutuhkan pemimpin yang berkomitmen pada keberlanjutan, bukan sekadar janji kosong dalam kampanye. Jika tidak, pertanyaan besar akan tetap ada: ketika Cirebon semakin panas, Pilkada bisa apa?