news-card-video
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Elitisme vs. Demokrasi: Tantangan Keseimbangan Kekuasaan dalam Pemerintahan

Nisrina Fauziah Jauhar
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta
9 Maret 2025 14:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nisrina Fauziah Jauhar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam konteks politik dan sosial, dua konsep yang saling berhubungan adalah pluralisme dan elitisme. Pluralisme mengacu pada keadaan di mana berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama hidup bersama dalam keragaman dan kesetaraan.
ADVERTISEMENT
Namun, elitisme adalah teori yang berpendapat bahwa kaum elite selalu mengontrol masyarakat biasanya merupakan kelas tertentu yang memiliki kekuasaan dan pengaruh yang signifikan dalam masyarakat.
Elitisme sering kali berarti bahwa kekuasaan berada di tangan kelompok tertentu yang memiliki akses dan kontrol yang kuat atas sumber daya ekonomi dan politik. Dalam konteks ini, elitisme dapat menghambat partisipasi warga negara dalam proses pembuatan keputusan, sehingga demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik.
Elitisme demokratis di Indonesia sering kali mengutamakan stabilitas daripada demokrasi. Teori ini berpendapat bahwa massa umumnya bodoh, apatis, dan tidak memahami aturan, sehingga keterlibatan mereka dalam pemerintahan akan mengganggu ketertiban.
Para elite politik berpendapat bahwa cara terbaik untuk menjaga ketertiban adalah dengan pemimpin yang berwawasan dan mendapatkan persetujuan dari sebagian kecil populasi. Argumentasi lain yang mendukung gagasan ini adalah bahwa para ideolog dapat memanipulasi massa, sehingga kepentingan elite dalam pemilihan umum menjadi pilar utama demokrasi Indonesia saat ini.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam praktiknya, elite politik seringkali memanfaatkan jaringan mereka, menggunakan kontrol atas sumber daya, dan membangun aliansi dengan kelompok bisnis dan pemimpin untuk memobilisasi dukungan rakyat. Pertama, teori elitisme demokratis menomorduakan demokrasi dan menomorsatukan stabilitas.
Dalam praktiknya, elite politik seringkali memanfaatkan jaringan mereka dan mengontrol sumber daya untuk memobilisasi dukungan rakyat. Kedekatan ini dengan praktik kekuasaan Orde Baru, yang menekankan stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan ekonomi, memperkuat elitisme dalam menjaga stabilitas politik.
Kedua, elitisme dapat mempengaruhi stabilitas politik melalui peran institusi politik. Institusi seperti parlemen, pengadilan, dan badan pemerintahan lainnya memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga stabilitas politik melalui pengawasan, keseimbangan kekuasaan, dan penerapan hukum yang adil dan transparan. Kepemimpinan yang kuat dan stabil di tingkat politik nasional juga menjadi kunci untuk mempertahankan stabilitas.
ADVERTISEMENT
Ketiga, elitisme dapat mempengaruhi stabilitas politik melalui partisipasi politik warga. Partisipasi warga negara dalam pemilihan umum, pengawasan pemerintah, dan peran aktif dalam proses kebijakan adalah aspek penting yang dapat menjaga stabilitas politik. Namun, dalam praktiknya, partisipasi politik di negara otoriter seperti Indonesia pada masa lalu seringkali tinggi karena kekuasaan berada di tangan rakyat, meskipun ini tidak selalu berarti partisipasi yang efektif.
Hal ini mengacu pada teori elitisme menurut Mosca dimana peran kelas dominan dalam mengontrol struktur politik dan sosial sangat kuat. Sehingga menimbulkan ketidakmerataan dan sebagian kecil dari populasi mendominasi sebagai mayoritas kelas bawah. Teori yang disampaikan oleh Mosca juga sering disebut teori kelas kasta.
Namun, dalam praktiknya, elitisme dapat mengendalikan proses pemilihan dan memastikan bahwa hanya mereka yang berada di posisi kuat yang dapat menjadi perwakilan.
ADVERTISEMENT
Namun, ada juga pandangan yang menunjukkan bahwa elitisme dan demokrasi dapat dipadukan dalam konteks yang tepat. Misalnya, neo-elitisme, yang menganggap bahwa elitisme tidak selalu anti-demokrasi, melainkan dapat menjadi bagian dari proses demokratisasi jika elite
Foto by: Nisrina Fauziah Jauhar
tersebut berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan yang transparan dan inklusif.
Sehingga secara umum bahwa elitisme dan demokrasi itu tidak bisa disatukan atau dipadukan, karena demokrasi adalah sebagai sebuah prosedur dimana kekuasaan ditangan rakyat dan sebagai contoh diwujudkan dalam sebuah pemilu.
Bukan sebagai alat distribusi kekuasaan yang akan terkonsentrasi pada satu orang/sekelompok orang yang memiliki pengaruh besar sebagai pelaku kelompok kepentingan. Karena demokrasi itu sebuah kedaulatan penuh rakyat.
Meskipun Indonesia dianggap sebagai negara demokratis, masih ada beberapa masalah besar untuk memastikan bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam politik dan memiliki akses yang sama ke kekuasaan politik. Ketimpangan ekonomi, akses pendidikan, dan regional sering memengaruhi mobilitas sosial dan peluang partisipasi politik.
ADVERTISEMENT
Elitisme dapat ditemukan dalam banyak hal dan sikap masyarakat Indonesia. Karena banyaknya perbedaan antara elite dan masyarakat umum, ideologi elitisme ini sering menyebabkan konflik sosial. Rasa tidak adil dan ketidaksetaraan di masyarakat dapat disebabkan oleh kelompok elite yang berkuasa atau tidak peduli.