Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mudik, Tradisi Yang Tidak Pernah Dirasakan Sebagian Orang
18 April 2024 17:43 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Nisrina Salwa Dhuha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari Raya Idul Fitri merupakan momen yang selalu ditunggu banyak orang, terutama mayoritas masyarakat muslim yang hendak melakukan mudik. Jutaan orang memadati jalan, pelabuhan, dan bandara demi sampai tepat waktu ke kampung halamannya.
ADVERTISEMENT
Mudik memang menjadi momen yang paling berkesan, tak hanya memberikan kesempatan bagi banyak orang untuk pulang kampung dan berlibur, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Unair Purnawan Basundoro dalam RRI.co.id menyebutkan bahwa mudik juga utamanya merupakan momen silaturahmi dan tradisi saling bermaaf-maafan.
Namun, di tengah keramaian perjalanan mudik dan spesialnya momen mudik, sebagian orang hanya dapat merasakan atmosfer mudik dari media sosial. Selain para pekerja, mereka merupakan orang-orang yang memiliki sanak saudara yang saling berdekatan. Secara turun-temurun, garis keluarga mereka sebagian besar berkembang di satu tempat yang sama, menciptakan jaringan kekeluargaan yang begitu erat sehingga mudik bukanlah sebuah keharusan.
“Ya ga ada tempat tujuan, mau mudik ke mana?” ucap Ozan (20), seorang mahasiswa Itenas yang memiliki keluarga hampir seluruhnya berada di Bandung raya. Sebagai warga Bandung asli, Ozan memiliki kedua orang tua yang berasal dari kecamatan yang sama.
ADVERTISEMENT
Uniknya, tak hanya kedua orang tuanya yang berasal dari daerah yang sama, kakek nenek Ozan pun ternyata berasal dari Bandung raya, sehingga, secara turun-temurun, keluarganya tak pernah merasakan mudik.
Tak jauh berbeda, Siti (19) seorang mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati juga memiliki latar belakang keluarga yang berasal dari daerah yang sama. Terlebih lagi, keluarga terdekatnya pun selalu menikah dengan orang yang satu daerah atau hanya beda kecamatan.
Menikmati Libur Lebaran Tanpa Mudik
Selama ini, momen libur lebaran selalu digunakan bagi para perantau untuk kembali sejenak ke kampung halamannya. Jutaan kendaraan memadati jalan menjadi tanda bahwa hari raya hampir tiba.
Melansir Kemenag.go.id, Mudik memiliki makna konotatif yang memiliki arti dan pesan bahwa manusia akan selalu merindukan tempat asalnya.
ADVERTISEMENT
Pada realitanya, keluarga-keluarga yang saling berdekatan juga nyatanya bisa merasakan makna atau esensi dari mudik itu sendiri tanpa perlu mengalaminya. Rasa rindu berkumpul bersama keluarga dan menunggu momen hari raya tiba juga dirasakan oleh Abdie (20), laki-laki bertubuh tinggi asal Majalaya.
“Walaupun jarak keluarga kami berdekatan, tapi dengan adanya kumpul keluarga, hari raya tetap bermakna karena pada hari biasanya banyak sekali anggota keluarga yang sibuk” tuturnya.
Makna dan esensi tersebut juga dirasakan oleh Ozan dan Siti. Untuk mengisi waktu libur lebaran, mereka sama-sama mempunyai kebiasaan atau tradisi keluarganya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Selama 20 tahun, Ozan menikmati libur lebaran dengan berkumpul dengan keluarga besarnya dan melakukan tradisi Mapay. Mapay dalam bahasa sunda berarti berkeliling atau menyusuri. Ozan, ibu, dan adiknya akan berkeliling ke rumah-rumah sanak saudaranya saat hari kedua lebaran, Mapay ini dilakukan sebagai bentuk silaturahmi dan momen bermaaf-maafan. Walaupun jarak sanak saudaranya terbilang dekat, tradisi ini sangat berkesan baginya karena ia bisa menyusuri kediaman keluarga besarnya.
“Tradisi keluarga aku itu setiap lebaran kami pasti ngumpul, jadi beberapa hari setelah aku mapay, keluarga besar pasti ngumpul lagi di salah satu rumah. Saat ngumpul itu, ada agenda khusus yang dilakukan seperti doa bersama dan penayangan video memoriam, cuplikan foto dari buyut kami sampai cucu terkecil” Ujarnya.
ADVERTISEMENT
Momen kumpul keluarga tersebut menurutnya menjadi momen ia bisa berbaur dan berkenalan dengan sanak saudaranya yang ternyata banyak jumlahnya. Ozan bercerita bahwa sekali berkumpul bisa sampai 100 orang lebih, terdiri dari buyut, kakek, orang tua, hingga anak-cucu, bahkan cicitnya.
Di sisi lain, Siti dan keluarganya memiliki kebiasaan berlibur ke luar kota untuk mengisi waktu libur lebarannya. Ia akan pergi berekreasi mengunjungi tempat wisata pada hari kedua atau ketiga lebaran.
“Keluarga aku kan masih banyak anak kecil tuh, jadi kami tiap tahun selalu berlibur ke luar kota, kalo ga berenang ya ke taman hiburan atau ke kebun binatang, paling sering itu berenang. Terkadang jadi macet-macetan juga di jalan, jadi kayak berasa ikut mudik juga sih”.
ADVERTISEMENT
Mudik Yang Berdampak Baik Bagi Pedagang
Dampak dari tradisi mudik yang dimiliki oleh mayoritas muslim di Indonesia secara kasat mata bisa kita lihat. Seperti jalanan yang dipenuhi oleh kendaraan sehingga terjadi kemacetan, hingga banyaknya pedagang asongan atau warung-warung kecil yang memenuhi bahu jalan.
Walaupun mudik selalu identik dengan kemacetan, nyatanya mudik masih berdampak baik bagi sebagian orang, termasuk para pedagang. Melansir Detik.com, Pedagang kecil yang berjualan kopi dan nasi bungkus merasa mudik menjadi rezeki warga setempat karena berbeda dari hari biasanya, saat mudik mereka bisa mendapatkan penghasilan Rp 200 sampai Rp 300 ribu.
Sebagai orang yang memiliki latar keluarga pedagang, Siti juga merasa bahwa mudik sangat berdampak baik bagi para pedagang dan perekonomian.
ADVERTISEMENT
Melansir Kemenhub RI dalam FGD Mudik Ceria Penuh Makna: Tantangan dan Peluang Pelaksanaan Angkutan Lebaran Tahun 2024 – 1445 H yang diselenggarakan Harian Kompas di Jakarta, Jumat (5/4), Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga mengatakan bahwa mudik memberikan pergerakan ekonomi yang baik pada daerah.
Mudik, Tradisi yang Maknanya Tetap Terasa
Mudik menjadi tradisi tahunan yang memiliki esensi dan makna yang hangat bagi banyak masyarakat muslim. Momen ini menjadi momen menghabiskan waktu bersama keluarga, tak hanya saat berkumpul di kampung halaman, namun juga saat dalam perjalanan.
Walaupun bagi sebagian orang momen pulang kampung tidak pernah mereka rasakan, makna dan esensi dari tradisi mudik nyatanya masih bisa mereka rasakan. Sanak saudara yang dekat tidak memutus kemungkinan momen lebaran menjadi momen melepas rindu dan saling bermaaf-maafan setelah sibuk dengan kesibukan masing-masing.
ADVERTISEMENT
Saat sebagian besar masyarakat menggunakan waktu libur lebaran untuk mudik, keluarga-keluarga yang berdekatan mengadakan tradisi mereka sendiri. Tradisi tersebut nyatanya memberikan makna yang sama dengan mudik.
Anggota keluarga bisa berkumpul, saling bersilaturahmi dan bermaaf-maafan, juga mempererat tali persaudaraan. Ini menjadi bukti bahwa makna mudik tak hanya terbatas pada momen perjalanan pulang kampung, tetapi makna kehangatan lainnya yang timbul dan tetap sama meskipun jarak dan tradisinya berbeda.
Hari raya menjadi hari kemenangan bagi banyak orang. Mudik ataupun tidak, hari raya menjadi waktu penuh kehangatan dan keramaian. Hari raya memberikan kesempatan bagi banyak orang untuk melepas rindu dan mengesampingkan kesibukan dunia yang tidak berujung.