Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
SD Swasta Jadi Primadona, SD Negeri Terancam Mati Gaya?
6 Januari 2025 15:36 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nisywa Zahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendidikan anak merupakan keputusan penting yang harus dihadapi orang tua, tidak terkecuali pada sekolah dasar (SD). Tahun ini, terdapat fenomena unik, di mana Akun TikTok @radintabtar, memperlihatkan bagaimana ketatnya persaingan untuk memasukkan buah hatinya yang berusia 3-4 tahun ke SD swasta Islam ternama di Jakarta. Ia bahkan mendapatkan nomor urut (waiting list) ke-675 untuk pendaftaran sekolah pada tahun ajaran 2028/2029.
ADVERTISEMENT
Fenomena serupa tidak hanya terjadi di Jakarta. Melalui platform TikTok, di kota pelajar, Yogyakarta, Anami juga membagikan kisahnya tentang mempersiapkan pendidikan buah hatinya yang masih berusia 4 bulan. Ia bahkan sudah memasukkan nama sang anak ke waiting list sebuah sekolah dasar Islam ternama di Yogyakarta, agar bisa langsung mendaftar ketika tiba waktunya nanti. Video yang diunggah oleh akun lain, @dini_yunta, turut mengkonfirmasi hal tersebut. Video tersebut menjelaskan bahwa kuota pendaftar salah satu SD swasta di Yogyakarta telah penuh hingga tahun ajaran 2028/2029, bahkan tahun ajaran 2030/2031 telah terisi lebih dari 2 kelas.
Stigma terkait SD Negeri vs Swasta
Kejadian di SD swasta di Kota Yogyakarta justru berbanding terbalik dengan SD negeri di kabupaten lain di Provinsi D. I. Yogyakarta. Menurut Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Bantul, Isdarmoko, dilansir detik.com, terdapat 20 SD Negeri yang mengalami kekurangan murid. Selain itu, di Kabupaten Gunung Kidul terdapat dua SD Negeri yang tidak mendapat murid baru. Kekurangan murid pada lembaga pendidikan yang berkepanjangan, termasuk SD Negeri, dapat berakibat penutupan secara permanen dan bermuara pada sulitnya mencapai pemerataan pendidikan di Indonesia.
Keputusan orang tua dalam menyekolahkan buah hati ke SD Negeri atau Swasta tidak terlepas dari stigma terkait SD Swasta dan Negeri yang beredar, salah satunya melalui media sosial. Dewasa ini, media sosial merupakan sarana untuk mencurahkan opini atau gagasan secara independen, tanpa pengaruh orang lain. Salah satu platform media sosial yang digunakan untuk menyebarkan opini mengenai SD Negeri dan Swasta adalah X, baik dari pengguna yang telah terverifikasi maupun tidak. Beberapa pihak berpendapat bahwa terjadi pergeseran dalam kualitas kurikulum yang disediakan oleh sekolah negeri saat ini. Fasilitas pembelajaran yang diberikan pun dianggap kurang efektif, terutama dengan adanya fenomena "jamkos" di beberapa sekolah negeri. Selain itu, kurangnya pengawasan serta penegakan aturan dan kedisiplinan dari pihak sekolah terhadap siswa turut berkontribusi pada menurunnya rasa tanggung jawab di kalangan siswa, yang secara tidak langsung mempengaruhi sikap dan perilaku mereka. Terlebih lagi, maraknya kasus bullying yang terjadi belakangan ini semakin menambah kekhawatiran orang tua. Selain itu, fasilitas di beberapa sekolah negeri, termasuk kebersihan lingkungan serta kualitas fasilitas seperti meja, ruang belajar, dan toilet, masih sering dianggap kurang memadai.
ADVERTISEMENT
Pendaftaran SD Negeri dengan Sistem Zonasi dan Ekonomi
Pada tahun 2017, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerapkan kebijakan penerimaan berbasi zona (Zonasi) bagi jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA. Seleksi pada sistem zonasi terdiri dari empat kriteria dengan urutan: zona prioritas, usia termuda, urutan pilihan sekolah, dan waktu mendaftar. Pada jenjang SD, terdapat dua klasifikasi zona prioritas antara lain: Zona Prioritas Pertama: Diperuntukkan bagi calon siswa yang berdomisili pada RT yang sama dengan RT sekolah dan Zona Prioritas Kedua: Diperuntukkan bagi calon siswa yang berdomisili di kelurahan yang sama/berdekatan dengan kelurahan lokasi sekolah. Sistem tersebut, pada akhirnya, mempengaruhi kualitas input di setiap sekolah, yang menjadi kurang optimal karena adanya keberagaman siswa dan perbedaan kemampuan antara mereka. Hal ini membuat sebagian orang tua khawatir anak mereka akan terpengaruh oleh lingkungan yang berbeda dari yang mereka harapkan. Fenomena tersebut telah memicu kontra dari masyarakat khususnya pada platform media sosial X.
ADVERTISEMENT
Dampak negatif kebijakan zonasi akan lebih dirasakan oleh orang tua dengan ekonomi rendah. Orang tua terpaksa memilih SD Negeri karena keterbatasan biaya. Di sisi lain masalah akan timbul ketika tidak ada SD negeri di sekitar tempat tinggal mereka. Hal ini memaksa orang tua menyekolahkan anak pada SD Swasta yang tentunya dengan biaya yang tidak sedikit.
Nasib SD Negeri
Penurunan minat orang tua dalam mendaftarkan anaknya ke SD Negeri di Indonesia telah menyebabkan penutupan beberapa SD Negeri di berbagai wilayah di Indonesia. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), setelah pandemi COVID -19, antara tahun 2021 hingga 2024, terjadi penutupan SD Negeri yang beroperasi sebanyak 1.206 sekolah. Dalam setiap 2 tahun, rata - rata terdapat 800 lebih SD Negeri harus ditutup karena imbas kekurangan murid. Di sisi lain, SD swasta terus mengalami perkembangan yang ditandai dengan bertambahnya jumlah SD swasta setiap tahunnya.
Sejalan dengan jumlah SD Negeri, jumlah siswa SD Negeri pada tahun ajaran 2021/2022 sebanyak 20.690.002 siswa. Akan tetapi, pada tahun ajaran 2023/2024, jumlah siswa SD Negeri menurun sebesar 2,1% menjadi sebanyak 20.244.837 siswa. Di sisi lain, minat orang tua dalam mendaftarkan anaknya ke SD Swasta menunjukkan tren yang berbeda. Peningkatan minat terhadap SD Swasta terlihat melalui peningkatan murid SD Swasta, khususnya setelah pandemi COVID-19.
Penurunan minat dalam bersekolah di SD Negeri yang bermuara pada penutupan sejumlah SD Negeri menjadi ironi, khususnya ketika melihat anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2024. Anggaran sektor pendidikan naik lebih dari 20% dari tahun sebelumnya. Akan tetapi, hal tersebut tidak sejalan dengan jumlah dan fasilitas SD Negeri. Jumlah SD Negeri yang beroperasi justru turun sebanyak 1.206 sekolah, bahkan dari segi fasilitas, SD Swasta jauh lebih unggul dari SD Negeri. Hal ini dapat menjadi masalah bagi pemerintah di masa yang akan datang, khususnya dalam hal pemerataan pendidikan dan akses pendidikan bagi rakyat miskin.
ADVERTISEMENT
Kelebihan pendaftar pada SD Swasta merupakan hal positif yang menandai meleknya orang tua terhadap pendidikan anak. Akan tetapi, fenomena tersebut tidak seharusnya beriringan dengan nasib SD Negeri yang masih terdapat kekurangan siswa dan tutup. Masalah tersebut harus diperhatikan oleh pemerintah. Anggaran pendidikan telah meningkat setiap tahun, tetapi melihat dari jumlah SD Negeri yang terus berkurang dan fasilitas yang tertinggal jauh dari SD Swasta menandakan penggunaan anggaran yang belum efisien. Selain itu, pemerintah juga perlu meninjau ulang sistem zonasi dan pembelajaran SD Negeri. Kebijakan yang bertujuan menghapuskan sekolah favorit justru malah menempatkan SD Swasta menjadi primadona dan menurunkan kualitas pendidikan SD Negeri yang membentuk stigma negatif pada SD Negeri di beberapa kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT