Ada cinta sampai mati di Tampang Allo, Tana Toraja

Nita Sellya
Nita Sellya (Teh Nit) adalah lifestyle blogger yang membahas macam-macam, kadang sesuai pengalaman sendiri, kadang sesuai pengalaman orang lain.
Konten dari Pengguna
26 Desember 2019 10:52 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nita Sellya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Memasuki gua Tampang Allo, saya merasakan keheningan dan kedamaian yang tidak biasa. Tempat ini adalah tempat persemayaman raja-raja dan bangsawan lama, terlihat dari bentuk tau-tau yang masih berbentuk tau-tau lama. Gua ini tidak terlalu luas, namun tinggi menjulang dan terbuka hingga tidak meninggalkan kesan pengap. Di sekelilingnya adalah sawah dan tumbuhan liar. Menuju gua Tampang Allo sebenarnya tidak terlampau jauh dari pintu gerbangnya, namun keheningan sepanjang jalan membuat saya merasa memasuki dunia yang berbeda.
Di Tampang Allo saya melihat banyak tengkorak dan tulang belulang ditumpuk di beberapa tempat. Menurut tour guide kami, asalnya dari erong yang sudah lapuk dan jatuh. Tulang belulang tersebut tidak sembarangan langsung diambil dan ditumpuk begitu saja, melainkan melalui upacara adat yang dilakukan oleh keluarga. Luar biasa ya penghormatan Toraja kepada jasad manusia, bahkan menjadi tulang belulang.
ADVERTISEMENT
Dan tak sekadar makam, Tampang Allo ternyata merupakan bukti cinta sepasang manusia pada satu sama lain, dan dua keluarga besar kepada perdamaian.
Gua pemakaman Tampang Allo di Tana Toraja ini dimulai dari keinginan seorang suami istri yang ingin dimakamkan bersama, bernama Puang Manturio dan Rangga Bulaan. Sang suami, Puang Manturino, adalah seorang penguasa Sangalla di abad ke 16 lalu.
Mereka memiliki cinta yang besar satu sama lain sehingga bersikeras untuk dimakamkan dalam satu tempat yang sama, yaitu di Gua Tampang Allo. Umur tak dapat ditebak, ternyata yang meninggal terlebih dahulu adalah sang istri, Rangga Bulaan. Jasadnya langsung dimasukkan ke dalam rong (lubang) Tampang Allo.
Kepergian Rangga Bulaan membawa duka mendalam bagi Puang Manturino. Hidup tak sama lagi tanpa separuh nyawanya. Tak lama setelah kepergian Rangga Bulaan, Puang Manturino pun berpulang. Death by broken heart is real.
ADVERTISEMENT
Tidak seperti janji sepasang suami istri tersebut, jasad Puang Manturino tidak dimasukkan ke dalam gua Tampang Allo, melainkan dimakamkan di gua Losso, tak jauh dari gua Tampang Allo. Di sini ajaibnya. Saat meninggal dunia, jasad dimasukkan ke dalam erong (peti mati) sebelum diletakkan di gua. Entah bagaimana caranya, suatu hari erong Puang Manturino ditemukan dalam keadaan kosong. Setelah diperiksa, ternyata jasad Puang Manturino sudah berada dalam erong Rangga Bulaan, dalam keadaan berpelukan. Ajaib.
Puang Manturino adalah raja Sangalla. Ketika dia tiada, maka harus ada penerusnya. Maka dari itulah muncul Puang Musu sebagai raja Sangalla yang selanjutnya. Tanda kepemimpinannya adalah pusaka kerajaan yang bernama Baka Siroe’. Puang Musu ini pun juga dijadikan sebgaai pimpinan Tongkonan Puang Kalosi.
ADVERTISEMENT
Di masa pemerintahan Puang Musu, kerajaan Sangalla mendapat serangan dari Kerajaan Bone. Pada saat peperangan berlangsung, sang raja baru, Puang Musu melarikan diri menuju ke Madan dengan melewati sungai Sa’dan. Pada saat itulah Puang Musu bertemu dengan Karasiak.
Ada niat tersembunyi dari Karasiak. Dia menginginkan pusaka kerajaan yang dibawa oleh Puang Musu. Melihat Puang Musu sedang membawa senjata kerajaan, Karasiak berusaha merebut senjata tersebut dengan cara membunuh Puang Musu. Sejak saat itulah keluarga Puang Musu dan Karasiak tidak pernah berdamai.
Tahun 1934 ada niatan untuk berdamai antara keturunan Karasiak dan Puang Musu dengan menikahkan antar keturunan. Mereka pun menjadi satu keluarga dan bersepakat untuk menjadikan gua Tampang Allo sebagai pemakaman keluarga.
ADVERTISEMENT
Jika bepergian ke Tana Toraja, jangan lupa mampir ke sini ya.