Beras vs Rokok di Masa Pandemi

Agustin Wahyu Setyawati
ASN di Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan
Konten dari Pengguna
13 April 2021 11:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agustin Wahyu Setyawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi berbagai cara dilakukan walaupun harga rokok mahal, sumber: Instagram/@rokok.indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi berbagai cara dilakukan walaupun harga rokok mahal, sumber: Instagram/@rokok.indonesia
ADVERTISEMENT
Katakanlah tinggal setengah dari pendapatan biasanya. Di masa yang serba sulit seperti sekarang ini, di mana wabah Covid-19 tengah merebak menyebabkan pendapatan anjlok luar biasa. Mungkin anda akan mengatur ulang daftar rencana pengeluaran rumah tangga anda.
ADVERTISEMENT
Jika anda seorang perokok, mana yang akan anda kurangi? Jatah pengeluaran untuk membeli rokok atau beras? Saya tebak anda memilih untuk tidak mengutak-atik jatah rokok. Anda rela mengurangi makan asal rokok tetap jalan. Kira-kira begitu. Sesuatu yang tak masuk akal bagi orang yang bukan perokok.
Namun
fenomena tidak biasa terjadi di kalangan orang miskin Indonesia di tengah masa pandemi ini. Tambahan jumlah orang miskin sebesar 2,76 juta dalam kurun waktu setahun yang dicatat oleh BPS pada September 2020 lalu meninggalkan jejak ironi.
Rokok atau Beras
Ilustrasi beras Foto: Shutter Stock
Pada September 2020, BPS mencatat nilai konsumsi rokok di kalangan orang miskin meningkat di saat konsumsi makanan pokok beras cenderung menurun. Kondisi ini dibandingkan dengan satu tahun yang lalu, September 2019 saat pandemi belum menyerang.
ADVERTISEMENT
Beras dan rokok kretek filter adalah dua komoditas yang memiliki sumbangan terbesar dalam menentukan garis kemiskinan. Suatu batas imajiner yang menentukan suatu rumah tangga miskin atau tidak.
Kontribusi makanan pokok beras terhadap garis kemiskinan menurun dari 25,82 persen menjadi 21,89 persen di perdesaan, sementara di perkotaan kontribusinya menurun dari 20,35 persen menjadi 16,58. Ini artinya si miskin mengeluarkan uang lebih sedikit di masa pandemi untuk konsumsi beras, baik di perkotaan maupun perdesaan.
Ilustrasi rokok. Foto: REUTERS/Eric Gaillard
Ada dua kemungkinan di balik menurunnya kontribusi ini, yaitu harga beras relatif tetap selama kurun waktu satu tahun ini atau memang masyarakat menekan kuantitas beras yang dikonsumsi.
Menurut catatan BPS, pada September 2020 kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau mengalami inflasi sebesar 0,93 jika dibandingkan dengan September 2019. Artinya, jika dari sisi harga beras mengalami kenaikan, maka dimungkinkan memang masyarakat mengurangi kuantitas konsumsi beras sehingga uang yang dikeluarkan untuk beras lebih sedikit. Hal ini dapat dimaklumi, dengan pendapatan yang berkurang maka harus ada kebutuhan yang dikorbankan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, rokok kretek filter justru mengalami kenaikan kontribusi terhadap garis kemiskinan. Kontribusinya terhadap kemiskinan di perdesaan sebesar 10,37 persen menjadi 11,85 persen. Sedangkan di perkotaan mengalami kenaikan dari 11,17 persen menjadi 13,50 persen. Ini artinya si miskin mengeluarkan uang lebih banyak di masa pandemi untuk konsumsi rokok.
Ada dua sinyal yang ditunjukkan oleh angka ini. Pertama, dari faktor harga rokok memang naik. Hal ini ditunjukkan oleh survei BPS pada kelompok tembakau mengalami inflasi. Kemungkinan kedua, diduga kuat dari segi kuantitas juga mengalami kenaikan terkait dengan perilaku merokok masyarakat.
Pengeluaran Rokok Meningkat
Hasil survei Komnas Pengendalian Tembakau pada pertengahan tahun lalu, tepat tiga bulan setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan Covid-19 masuk ke Indonesia, menyatakan bahwa responden yang merokok mengakui memiliki pengeluaran tetap untuk membeli rokok selama masa pandemi, bahkan meningkat.
ADVERTISEMENT
Sebesar 9,8 persen responden yang menyatakan hal tersebut berpenghasilan di bawah 2 juta. Sementara dari sisi jumlah batang yang dikonsumsi, sebagian besar responden yang merokok menyatakan tetap mengonsumsinya dengan jumlah yang sama, bahkan 15,2 persen menyatakan mengkonsumsi lebih selama masa pandemi.
Fenomena ini senada dengan yang dialami oleh tetangga saya yang memiliki penghasilan pas-pasan. Bapak ini biasanya dari pagi sudah berangkat ke pabrik dan baru pulang menjelang petang. Dia mengaku biasanya menghabiskan satu bungkus rokok kretek filter dalam sehari di sela-sela jam istirahat.
Ketika guncangan ekonomi akibat pandemi ikut memukul perusahaannya, maka kebijakan “meliburkan” karyawan yang diterapkan ikut berdampak pada si bapak. Aktivitas di luar maupun di dalam rumah berkurang , membuat bapak ini bisa mengisap batang rokok dua kali lipat lebih banyak dari biasanya.
ADVERTISEMENT
Sulit Berhenti Merokok
Kesulitan seseorang untuk berhenti mengkonsumsi rokok di masa yang normal saja banyak. Apalagi saat ini, di tengah masifnya gempuran virus corona yang menghadirkan berbagai permasalahan dalam masyarakat. Besar kemungkinan upaya para budak nikotin yang tadinya masih punya keinginan untuk lepas dari candunya, kini menjadi semakin sulit untuk merealisasikannya.
Kemungkinan ini diperkuat dengan pernyataan responden pada survei yang digawangi oleh Komnas Pengendalian Tembakau tahun 2020. Sebagian besar responden perokok ini mengaku setuju jika ukuran peringatan kesehatan bergambar (Pictoral Health Warning) pada bungkus rokok diperbesar. Artinya, dari hati kecil mereka menyadari akan bahaya rokok, namun apa daya efek candunya membuat langkah mereka untuk berhenti merokok terasa lebih sulit.
Memang mengubah perilaku perokok ini tidak mudah. Bukan hanya dari sisi si pecandu dan lingkungan sekitarnya. Namun, sebaiknya pemerintah juga tetap berupaya untuk membantu mereka untuk lepas dari ‘makanan’ yang sama sekali tidak mengandung nutrisi, bahkan cenderung merusak jiwa dan raga si pecandunya. Kebijakan fiskal maupun nonfiskal dalam mengupayakan masyarakat untuk berhenti merokok perlu diperkuat. Mereka belum kuasa, namun bukan berarti tidak bisa.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, kita melihat fakta di saat kondisi penghasilan masyarakat tidak menentu akibat deraan bertubi-tubi Covid-19, ada sebagian masyarakat yang ekonominya sudah terhimpit masih saja rela mengesampingkan kebutuhan pokok keluarganya demi rokok. Sungguh ironis.