Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Miskin Tapi Bahagia
4 Maret 2021 13:34 WIB
Tulisan dari Agustin Wahyu Setyawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Miskin tapi bahagia. Mitos atau fakta? Yup, benar. Ini adalah fakta yang terjadi di salah satu provinsi di Indonesia yang banyak dirindukan untuk dikunjungi oleh banyak orang dari luar wilayah provinsi itu sendiri. Lagi dan lagi. Termasuk saya. Provinsi itu adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Karakteristiknya seistimewa namanya.
ADVERTISEMENT
Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka kemiskinan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kondisi September 2020 sebesar 12,80 persen. Angka ini berada di atas rata-rata kemiskinan nasional yang sebesar 10,19 persen, sekaligus menempatkan DIY sebagai provinsi paling tinggi persentase orang miskinnya se-Jawa.
BPS mengukur kemiskinan melalui pendekatan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar dengan cara menghitung Garis Kemiskinan. Garis kemiskinan dapat dibaca sebagai nilai pengeluaran kebutuhan minimum. Dari mana menghitungnya? Yaitu dari rupiah yang dikeluarkan oleh rumah tangga untuk konsumsi makanan dan bukan makanan tertentu. Jika pengeluaran sekelompok penduduk di suatu wilayah tinggi maka akan menarik garis kemiskinan menjadi naik karena rata-rata pengeluarannya naik. Selanjutnya, jika seseorang berada di bawah garis dikategorikan miskin dan jika di atas garis dikategorikan tidak miskin.
ADVERTISEMENT
Lalu di mana letak kebahagiaan provinsi ini? Menurut data yang dikeluarkan oleh BPS, DIY menduduki peringkat ke-8 sebagai provinsi yang penduduknya paling bahagia se-Indonesia. Selain itu, survei dari Litbang Koran Sindo di tahun 2016 juga meyakinkan indikasi kebahagiaan penduduk yang tinggal di Yogyakarta dengan menjadikan Yogyakarta sebagai tempat tinggal paling diidamkan oleh orang-orang untuk menikmati masa pensiun mereka.
Arah Kebijakan
Bagaimana menjelaskan fakta yang bertolak belakang seperti itu. Di satu sisi, Yogyakarta memiliki banyak orang miskin, tetapi di sisi lain mereka bahagia. Lalu pertanyaan selanjutnya, ke mana sebaiknya kebijakan kependudukan diarahkan? Cukupkah dengan kebahagiaan saja?
Banyak dugaan mengarah kepada faktor budaya. Konsep hidup orang Jawa yang cenderung ‘nrimo’ atau menerima apa yang ada, tidak menuntut lebih menjadikan hati mereka bahagia. Menurut mereka, hubungan sosial lebih memengaruhi kadar kebahagiaan seseorang. Hubungan yang baik dengan tetangga dan saudara membuat hidup orang-orang di desa cenderung lebih tenteram. Sehingga ada yang menyimpulkan, walaupun mereka dikatakan ‘miskin’ oleh suatu konsep, namun kenyataannya mereka tetap bahagia.
Mari kita bicara agak lebih teknis. Jika label ‘miskin’ itu merupakan hasil rujukan suatu metode, maka mari kita sedikit kupas metode tersebut. Angka kemiskinan didapatkan dari suatu survei yang disebut Survei Sosial Ekonomi Nasional yang diamanahkan pemerintah untuk dilakukan oleh BPS. Sampel yang disurvei adalah rumah tangga yang tinggal di suatu wilayah yang memenuhi konsep, tidak melihat apakah dia ber-KTP setempat atau tidak.
ADVERTISEMENT
Seperti kita ketahui DIY adalah pusat pendidikan. Terutama di dua kota, Yogyakarta dan Sleman, banyak sekali bertebaran perguruan tinggi. Menurut Kemendikbud, terdapat 107 buah universitas negeri dan swasta tersebar di provinsi itu di tahun 2020 dengan jumlah mahasiswa sebanyak 369.831 orang. Belum lagi, perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama yang berjumlah 17 dengan mahasiswa sebanyak 37.514 orang. Sehingga jika ditotal, ada sekitar 400 ribu lebih mahasiswa yang sedang mengenyam pendidikan di DIY.
Optimalisasi Potensi Mahasiswa
DIY dikenal sebagai provinsi dengan kualitas pendidikannya, terutama perguruan tingginya. UGM, UMY, dan UII adalah kampus-kampus kenamaan di Indonesia. Jika kita melihat dengan cermat, fakta tersebut adalah potensi besar yang dapat dikelola oleh pemerintah daerah selain sektor pariwisata.
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di Yogyakarta yang mencapai 3.699 ribu jiwa, maka berarti sekitar 11 persen penduduk DIY berstatus mahasiswa. Ini sungguh fakta yang unik, yang mungkin tidak dimiliki oleh provinsi lain. Sebelas persen pola pengeluaran di Yogyakarta diwarnai oleh pola pengeluaran mahasiswa.
Anggaplah mahasiswa itu adalah pendatang semua, yang memang bukan penduduk asli yang tinggal di situ dari kecil. Mereka berdatangan dari berbagai daerah untuk melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Kebutuhan utama mereka tentunya tempat tinggal. Hal ini menyebabkan tempat kos dan kontrakan berjamuran tumbuh di sekitar kampus, bahkan saat ini juga apartemen mulai bermunculan untuk mengakomodir para mahasiswa yang ingin tinggal di dekat kampus. Maka dapat dipastikan mereka akan banyak menyumbang banyak pengeluaran, seperti kos, perabotan, jasa-jasa, dan makanan jadi.
ADVERTISEMENT
Menurut BPS, garis kemiskinan Provinsi DIY lebih besar dipengaruhi oleh konsumsi bukan makanan, yaitu sebesar 59 persen. Dapat dimaklumi, jika kehadiran para pendatang khususnya mahasiswa itu sangat memengaruhi jumlah orang yang didefinisikan sebagai si miskin di Yogyakarta. Bagaimana tidak, kebutuhan minimum para mahasiswa akan tempat tinggal, makanan, dan sebagainya dipastikan jauh di atas standar penduduk asli DIY yang tinggal di tiga kabupaten lainnya, selain Sleman dan Kota Yogyakarta.
Oleh karena itu dalam mengambil kebijakan, sebaiknya pemerintah setempat dapat melihat fenomena sosial yang tidak dapat ditangkap dari sebuah metode. Pemerintah setempat dapat mempertimbangkan untuk melihat kemiskinan penduduk asli tanpa dipengaruhi oleh pendatang mahasiswa.
Selain itu, mahasiswa juga dapat menjadi “duta pariwisata”. Secara alami, mahasiswa yang berasal dari luar Provinsi DIY adalah potensi besar untuk mengenalkan DIY sebagai wilayah dengan penuh nilai eksotis. Potensi ini, jika dikelola dengan lebih matang, akan berdampak peningkatan pendapatan dari sektor pariwisata. Bahkan, jika dapat dilihat lebih jauh, pemerintah daerah DIY dapat mendorong mahasiswa untuk melakukan penelitian dengan tema upaya peningkatan kesejahteraan atau upaya peningkatan potensi pendapatan daerah.
ADVERTISEMENT
Memang, metode pengukuran yang baku terkait kesejahteraan tetap penting dilakukan untuk dapat melihat dan membandingkan capaian antarwilayah, namun jangan lupa bahwa setiap wilayah memiliki keunikan dan karakteristik masing-masing, sehingga walaupun permasalahannya sama, namun perlu penanganan yang berbeda.