Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menjadi Bos untuk Diri Sendiri Berkat Post-it
9 Mei 2018 14:32 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
Tulisan dari Nitya Paramita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Freelance sering disebut sebagai kedok dari seorang pengangguran. Sesungguhnya saya sama sekali tidak bermasalah dengan itu. Menganggur tidak pernah menjadi hinaan. Malah, kadang saya dengan senang hati mengakui bahwa saya memanglah pengangguran, yang mana artinya, saya bebas.
ADVERTISEMENT
Saya bebas memilih dengan siapa saya bekerja, dan bagaimana saya mengerjakannya. Tidak ada ikatan. Saya bisa bekerja di rumah, jam berapapun, dengan pakaian apapun, dan sambil melakukan apapun. Saya memang digaji oleh klien. Tapi di level pengerjaan, saya adalah bos bagi diri saya sendiri.
Menjadi bos untuk diri sendiri tentunya tidaklah mudah. Di titik tertentu, saya membutuhkan kedisiplinan demi menjaga kualitas kerjaan saya. Saya harus tegas, lucunya, kepada diri saya sendiri.
Jelas, pada awalnya, itu bukanlah hal yang mudah. Ketegasan dalam diri sendiri sangat sulit diciptakan dengan bermonolog.
Saya tak bisa berkata, “Hei saya, jam 9 malam, kerjakan desain A, ya.” Sebab pada kenyataannya, diri saya yang lain pasti malah memaksa saya untuk maraton Black Mirror pada jam tersebut.
ADVERTISEMENT
Saya butuh perantara, yang mampu mengingatkan saya—dengan cara yang halus, bukan yang membentak-bentak seperti bos di kantor saya dulu.
Di titik itulah, saya kemudian menggunakan Post-it, produk dari 3M. Post-it yang saya gunakan berwarna-warni, disesuaikan dengan klien mana saya bekerja. Untuk klien A, saya gunakan Post-it merah; klien B, saya gunakan Post-it kuning.
(Belakangan Post-it yang saya pakai cuma satu warna sih. Karena memang sedang kerja sama satu orang doang.)
Tentunya, sebagaimana manusia pemalas pada umumnya, Post-it-Post-it tersebut kadang tidak saya turuti. Tapi bukan berarti mereka tidak berguna. Mereka sangat berguna.
Sebab, dengan sistem kerja yang saya ciptakan lewat Post-it, menunda pekerjaan justru hanya akan membuat saya capek sendiri.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, misalnya saya menulis, “Edit desain A, Rabu, jam 9 malam” di Post-it yang saya tempel di kamar. Dan ketika itu saya tunda, saya harus menulis lagi, “Edit desain A, Kamis, jam 1 siang” di Post-it baru. Kalau itu ditunda juga, mungkin saya harus kembali menulis, “Edit desain A, Kamis, jam 4 sore.”
Begitu terus. Sampai saya stres—bukannya kerja malah ngabisin Post-it. Saya tidak mau seperti itu. Pernah sih. Tapi seiring jalannya waktu, saya kian jarang mengabaikan jadwal saya sendiri.
Pada akhirnya, saya pun memiliki ritme yang sangat produktif, berkat Post-it.
Bagi sebagian orang, tentunya saya masih terlihat seperti pengangguran. Namun, buat mereka yang paham dunia freelance, saya sudahlah pasti pekerja (lepas) yang teladan. *cie *padahal mah masih cupu
ADVERTISEMENT
Lagipula, memang tidak capek ya dibelenggu kerja 9-5, dipantau bos, dan dibentak tiap hari? Tapi orang mungkin beda-beda sih ya. Saat ini, saya sih lebih suka kerja seperti sekarang. Kerja 9-5 saya enggak kuat. Mungkin biar Dilan saja.
Live Update