Polemik Penerapan Kapitalisme pada Pertanian Indonesia

Nia Kaniasari
ASN Kementerian Pertanian. Pegiat Sosial Kemasyarakatan. Founder Komunitas Rumah Anak Asuh LCC. Salah satu PJ Yayasan Peduli Squad (YPS) di Sumbagsel. Menulis lebih dari 21 Buku Antologi.
Konten dari Pengguna
20 Januari 2022 13:52 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nia Kaniasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petani | Dokumen : Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Petani | Dokumen : Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belakangan ini, Kementerian Pertanian terus menerus menaikkan program besarnya sepanjang tahun kemarin yaitu Gebyar Ekspor Pertanian. Bahkan di akhir tahun 2021, Kementerian Pertanian melepas ekspor pertanian di 34 provinsi yang volumenya mencapai 1,3 juta ton senilai Rp 14,4 triliun ke 124 negara.
ADVERTISEMENT
Lalu saya teringat akan sebuah idiom “Yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin”. Kira-kira dari kacamata awam muncul pertanyaan, seberapa besar persentase dari nilai puluhan triliun tersebut yang langsung dinikmati petani kecil kita.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa petani kita masih dipenuhi jajaran petani miskin alias gurem. Betul memang sekarang sedang gencar-gencarnya Kementerian Pertanian mengejar target petani milenial, mulai dari lawatan Duta Milenial ke sejumlah petani muda sukses.
Sebutan petani milenial yang telah digaung sejak zaman Menteri Pertanian periode sebelumnya ini, secara hitungan kasar, beberapa mengatakan belum mampu mendongkrak naik jumlah petani di Indonesia. Kerawanan negara kita kehilangan sejumlah besar bahkan hilangnya pekerjaan petani menghantui.
ADVERTISEMENT
Bapak Presiden Joko Widodo pun pada awal Bulan Desember 2021 mengatakan bahwa jumlah petani di Indonesia menurun. Beberapa data di Kementerian Pertanian sendiri menyebutkan bahwa jumlah petani kita semakin sedikit. Jika petani milenial naik jumlahnya. Berarti lebih besar jumlah petani berumur dan kurang mampu secara ekonomi yang kemungkinan hilang dari perindustrian pertanian. Jelas, ini membutuhkan kajian penelitian lebih lanjut. Apalagi sejak ada masa pandemi menerpa.
Kembali lagi ke idiom di atas, ungkapan itu merupakan gambaran bahwa ada orang-orang yang harus berjuang lebih keras untuk kehidupannya. Kita dapat melihat juga dari sudut pandang lain terkait dengan fenomena kesenjangan sosial saat ini yang terasa terutama sejak masa pandemi ini. Memang, orang miskin sangat bisa menjadi kaya dengan belajar, tekun, dan bekerja keras. Begitupun sebaliknya, orang kaya sangat mungkin menjadi miskin bahkan dalam waktu yang singkat.
ADVERTISEMENT
Namun dari sudut pandang sosial kemasyarakatan, kondisi ini menjadi fenomena besar-besaran yang tak bisa dipungkiri terutama sejak pandemi. Bahkan, Bulog mengungkapkan bahwa bahan pangan dalam hal ini beras menjadi faktor angka kemiskinan naik. Benarkah ada ketidakadilan dan juga ketidakmampuan pemerintah untuk bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas bawah.
Dalam dunia pertanian, petani yang sukses, setidaknya membutuhkan keluasan dan keterbukaan akses modal serta jaminan pasar. Artinya, ada ekonomi riil yang bergerak. Bukan hanya industri pertanian besar yang semakin besar dan menyelamatkan aset dan keuntungan perusahaannya dengan misalkan bermain saham. Jadi bukan hanya keterampilan atau materi-materi peningkatan kapasitas petani kita.
Perlu diingat, petani kita saat ini, mungkin untuk makan sehari-hari saja sudah sangat sulit. Jangankan untuk investasi pertanian berbau milenial, atau mengejar akses modal atau pasar. Bertahan hidup saja sudah sangat bagus. Di sinilah peran pemerintah benar-benar diharapkan turun langsung ke gang terkecil atau gang tanpa nama di pedesaan. Bukan hanya sekadar mengejar program, formalitas atau pemenuhan target capaian tahunan.
ADVERTISEMENT
Berbicara pasar dan industri, kita teringat akan sistem perekonomian yang kita anut saat ini. Negara kita menganut sistem perekonomian versi sendiri. Belajar dari negara-negara maju. Jadi sistem ekonomi kapitalis pun bukan, sistem ekonomi sosialis pun bukan. Tetapi, pemerintah Indonesia mengusahakan agar bagaimana rakyat sejahtera, kedaulatan negara dan pangan terjaga dengan sistem ekonomi yang tidak menciderai jiwa nasionalis dan Pancasila kita.
Menariknya, ada gejala sistem ekonomi negara kita sudah mengarah ke kapitalisme bahkan mungkin lebih buruk. Sistem Oligarki, di mana para penguasa yang diuntungkan. Oligarki dalam ekonomi ini berarti penguasa yang lebih banyak menikmati keuntungan dari pendapatan yang diperoleh negara. Butuh pembuktian lebih lanjut. Lagi-lagi, pikiran kita bertanya benarkah?
Ketika berbicara kapitalisme pertanian, maka kita berbicara tentang modal milik perorangan ataupun sekelompok orang dalam masyarakat agraris yang bisa mewujudkan kesejahteraan manusia dalam hal ini petani. Dalam penerapannya, setiap petani dimungkinkan untuk menguasai modal dan bisnis dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Pemerintah berkurang campur tangannya. Pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna memperoleh keuntungan bersama, tetapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Semoga saja, tidak. Sebagai catatan, tidak pernah ada negara yang benar-benar mesti menganut sistem ekonomi kapitalis.
ADVERTISEMENT
Ada sisi positifnya, jika benar sistem ekonomi kapitalis berjalan. Pertama ada peningkatan inovasi serta kemakmuran masyarakat petani. Pemerintah memberi kebebasan bagi para pemodal untuk mengembangkan usaha pertaniannya. Dengan demikian, masyarakat bebas membentuk kegiatan usaha pertanian, serta dapat memunculkan banyak inovasi kreatif. Kemakmuran masyarakat petani juga meningkat, karena harta yang diusahakan atau dihasilkan akan menjadi hak milik perseorangan atau individual.
Namun timbul sisi negatifnya yaitu ada kesenjangan sosial serta sikap individualis yang tinggi. Kesenjangan sosial bisa terjadi karena hanya masyarakat yang memiliki modal dan mampu mengembangkan kegiatan usahanya, yang akan hidup makmur. Sedangkan petani kecil dan terpencil jauh dari akses, bisa benar-benar menderita. Terlebih lagi dengan adanya persaingan atau kompetisi bebas. Sikap individualis muncul karena dalam sistem perekonomian ini ada persaingan bebas, sehingga antara individu yang satu dengan yang lain akan berusaha saling menjatuhkan.
ADVERTISEMENT
Contoh mudahnya, sudah menjamur supermarket atau swalayan yang berkembang pesat dibanding pasar tradisional di Indonesia, bahkan bersebelahan dengan toko kelontong kecil. Beberapa toko kelontong favorit saya pun raib karena bangkrut. Kalah bersaing. Contoh lainnya adalah sistem pemasaran online. Petani kecil kita jelas kesulitan mengakses ini. Jangankan mungkin jaringan internet, listrik ada saja sudah bagus.
Pertanyaan selanjutnya adalah benarkah ada peran pemerintah memperhatikan sisi sedetail ini. Kementerian Pertanian sendiri, sudah berusaha kuat untuk menjangkau seluruh wilayah di Indonesia, ke pelosok, ke daerah termiskin guna menyebarkan teknologi pertanian yang kekinian. Ini membutuhkan effort khusus dan jelas tidak bisa ego sektoral saja.
Jangan sampai, bau kapitalisasi dalam sistem pertanian semakin meningkatkan kesenjangan sosial di antara petani. Petani milenial semakin kaya, pemilik industri pertanian semakin makmur, tetapi petani kecil kita semakin terpuruk.
ADVERTISEMENT
Petani kecil ini tidak akan mampu meningkatkan kapasitas produksi mereka. Di kala terjadi kegagalan panen, mereka yang sudah terjerat utang harus merelakan lahan mereka dibeli oleh para petani besar, dan beralih menjadi buruh tani, atau buruh pabrik di perkotaan.
Dalam dunia sosial dan perkembangan internet ini, peran seperti Serikat Petani Indonesia , tidak hanya pemerintah yang benar-benar peduli, yang menuntut kedaulatan pangan dan hak-hak petani kecil menjadi sangat penting. Tentu menghalau laju kapitalisme pertanian.
Melalui komunitas-komunitas non profit inilah, dari hal-hal kecil seperti membeli produk lokal dari petani lokal, berbelanja di pasar tradisional, berwisata lokal ke pelosok hingga menyampaikan suara petani kecil atau kekhawatiran mereka akan berbagai dampak kapitalisme pertanian, lewat media-media sosial. Pemerintah pun mulai menjalin komunitas-komunitas ini, mendengar aspirasinya. Seperti yang dilakukan Kementerian Pertanian melalui program-programnya. Jadi jangan sampai kekhawatiran akan ekspor pertanian yang melambung tinggi itu hanya mampu melambungkan harta para petinggi atau petani milenial dan kaya saja.
ADVERTISEMENT