Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Move Forward Party yang Pro Demokrasi
1 Agustus 2023 15:02 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Pinadha Maheswari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pita Limjaroenrat, pemimpin Partai Move Forward yang menempati posisi teratas sebagai Calon Perdana Menteri Thailand.
ADVERTISEMENT
Pita dinominasikan sebagai satu-satunya kandidat Perdana Menteri Thailand oleh Partai Move Forward (MFP). Pada putaran pertama pemungutan suara di parlemen Thailand, Pita gagal memperoleh dukungan dari para anggota parlemen.
Dikutip dari Thai PBS World, Pita yang didukung oleh koalisi dari delapan partai politik mengantongi 312 suara Dewan Perwakilan Rakyat Thailand.
MFP sendiri memenangkan suara terbanyak dalam pemilu dan berhasil mengamankan 151 kursi parlemen. Namun, untuk meraih jabatan sebagai PM Thailand dibutuhkan 376 suara yang mewakili suara mayoritas parlemen yang terdiri atas 500 anggota parlemen dan 250 anggota senator.
Sayangnya, di putaran pertama Pita masih kurang 51 suara untuk mendukung pencalonannya. Mengapa bisa terjadi?
Oposisi Pemerintahan
MFP dahulunya didirikan sebagai Future Forward (FFP) yang dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi Thailand pada tahun 2019 karena dianggap melanggar undang-undang pemilu karena menerima pinjaman dari pemimpin partainya, Thanathorn Juangroongruangkit. Akibatnya, 10 anggota parlemen partai tersebut kehilangan statusnya dan dilarang berpolitik selama 10 tahun.
ADVERTISEMENT
FFP yang merupakan partai oposisi pemerintah Thailand kemudian melanjutkan agenda anti-junta dengan perubahan nama partai menjadi MFP.
Pada pemilu Thailand tahun 2023, MFP ingin membentuk pemerintahan baru dengan berbagai program kerja yang ditawarkan, seperti amandemen konstitusi yang menyasar pada Pasal 112 KUHP tentang penghinaan kerajaan, reformasi pendidikan, penghapusan wajib militer, membasmi warisan militer yang pernah dikudeta pada 2014, juga melegalkan same-sex marriage sebagai salah satu pemenuhan hak-hak kaum minoritas LGBT.
Program kerja yang direncanakan MFP diusahakan untuk mendorong demokrasi di Thailand. Hal ini tentu mendapat banyak tentangan dari pemerintah yang condong ke arah junta militer.
Kudeta Militer
Saat ini pemerintahan Thailand banyak dipengaruhi oleh kekuatan militer akibat kudeta yang dilakukan pada tahun 2014 terhadap PM Yingluck Shinawatra. Kala itu, raja mengangkat Jendral Prayuth Chan-O-Cha sebagai perdana menteri menggantikan PM sebelumnya. Hingga pada pemilu 2019 ia kembali dipilih oleh hampir seluruh anggota senat.
ADVERTISEMENT
Kudeta tersebut bukan tanpa sebab, hal ini terjadi akibat adanya unjuk rasa di Bangkok yang menuntut PM Yingluck Shinawatra untuk mengundurkan diri karena dianggap pemerintahan yang dipimpinnya dikendalikan oleh PM terdahulunya yang juga merupakan kakak dari Yingluck Shinawatra, yakni Thaksin Shinawatra.
Hingga akhirnya dengan kisruh politik ini, militer menyatakan kondisi darurat militer. Tetapi, selang dua hari militer menyatakan kudeta terhadap pemerintahan Thailand.
Dampak dari kudeta militer tersebut, para senator di Majelis Tinggi dipenuhi oleh orang-orang pilihan junta militer yang banyak berpihak pada Prayuth. Hal ini membatasi Pita dalam meraih suara senator pada pemilihannya sebagai kandidat PM Thailand yang berasal dari partai oposisi.
Lalu, bagaimana MFP mendapatkan suara terbanyak dalam pemilu?
Politik Thailand telah banyak diwarnai kudeta militer. Sistem pemerintahan Thailand yang menganut monarki konstitusional menempatkan rakyat dalam belenggu pemimpinnya dan sulit menyuarakan pendapat.
ADVERTISEMENT
Pendekatan MFP menarik masyarakat, terutama anak muda di Thailand yang menginginkan perubahan bagi negaranya.
Berbagai tuntutan pada demonstrasi yang dipelopori oleh kelompok pemuda Thailand menjadi gagasan yang diadopsi MFP dalam mengkampanyekan visi dan misinya, karena sekitar 3,3jt penduduk Thailand merupakan pemilih pemula dengan rentang usia 18 hingga 22 tahun. Hal ini menjadi kesempatan untuk mendongkrak suara dari kelompok pemuda Thailand.
Meski begitu, dari hasil survei yang diadakan mengidentifikasi bahwa seperempat dari total suara MFP adalah kalangan di luar kelompok pemuda. Sehingga, keberadaannya di pemerintahan semakin mewakili masyarakat dari berbagai kalangan dan kelompok usia.
Dengan ini, masyarakat dapat keluar dalam belenggu dan bayang-bayang monarki untuk terciptanya demokrasi yang lebih baik di Thailand.
ADVERTISEMENT
Di putaran kedua, pemilihan PM Thailand Pita Limjaroenrat masih terjebak dalam kegagalan dan harus mengganti kandidat lain sebagai calon PM Thailand. Tetapi, saat ini pihak MFP berusaha mengajukan petisi ke Ombudsman untuk meminta MK Thailand agar mengizinkan Pita mencalonkan diri kembali sebagai perdana menteri.
Kegagalan yang dialami oleh Pita Limjaroenrat merupakan bentuk penjegalan pemerintah dari kalangan militer. Karena sudah pasti Pita sebagai pemimpin partai yang progresif dan anti militer akan mereformasi sistem pemerintah yang ada.