Konten dari Pengguna

Pengaruh Konflik Goma terhadap Kepemilikan Sumber Daya Alam Rwanda dan Kongo

Samuel Soeprodjo
Mahasiswa aktif Hubungan Internasional Universitas Kristen Satya Wacana
27 Februari 2025 13:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Samuel Soeprodjo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Edited by Samuel Soeprodjo
zoom-in-whitePerbesar
Edited by Samuel Soeprodjo
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini dunia dihebohkan dengan munculnya berita tentang perang yang terjadi di Afrika bagian tengah yang melibatkan Rwanda dan Republik Demokratik Kongo (DRC). Konflik yang bermula pada saat kelompok bersenjata M23 menyerang bagian timur DRC lebih tepatnya lagi di kota Goma menjadi konflik yang kemudian banyak dibahas di berbagai media di dunia, bahkan kehebohannya bisa saja menyamai atau bahkan di beberapa negara mengalahkan kehebohan pada saat berita invasi Rusia ke Ukraina.
ADVERTISEMENT
Terlebih dahulu perlu dipahami apa yang sebenarnya terjadi di Afrika bagian tengah terutama Rwanda dan DRC sehingga konflik Goma yang terjadi pada januari tahun 2025 bisa dibilang merupakan kejadian yang akan merubah nasib kedua negara. Konflik yang terjadi antara Rwanda dan DRC pada awalnya tidak melibatkan DRC sama sekali, konflik yang terjadi murni merupakan fakta sejarah yang dahulu pernah terjadi di Rwanda jauh sebelum kemerdekaan mereka.
Latar belakang konflik bermula karena timbulnya keresahan di antara etnis Hutu yang menganggap etnis mereka direndahkan oleh negara-negara barat yang menguasai wilayah Rwanda pada saat itu seperti Jerman dan Belgia yang lebih memilih memberikan kekuasaan penuh kepada etnis Tutsi dalam sistem pemerintahan mereka sehingga muncul rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh etnis Hutu, sehingga pada awal 1960 an etnis Hutu melancarkan revolusi yang kemudian memberikan kekuasaan negara Rwanda pada etnis Hutu yang merdeka pada tahun 1962 dari Belgia. Pemerintahan etnis Hutu berlangsung selama beberapa dekade sebelum akhirnya Paul Kagame yang merupakan pemimpin dari Rwanda Patriotic Front (RPF) melancarkan serangan pada Januari 1991 di kota Ruhengeri menandakan awal dari perang saudara yang mematikan di Rwanda selama beberapa tahun kedepan. RPF pada saat itu memutuskan untuk mengadakan perjanjian perdamaian dengan pemerintahan Rwanda, sehingga pada 4 Agustus 1993 terciptalah Arusha Accords yang bermaksud untuk memberikan posisi pemerintahan kepada RPF agar etnis Tutsi juga dapat berkontribusi pada dunia politik Rwanda, dari perjanjian tersebut terbentuklah United Nations Assistance Mission for Rwanda (UNAMIR) yang bertujuan untuk membantu tercapainya perjanjian yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Setelah Arusha Accords disepakati, muncul pemikiran-pemikiran buruk dari sebagian anggota pemerintah dan militer Rwanda bahwa keikutsertaan etnis Tutsi dalam pemerintahan Rwanda dapat membawa dampak buruk sehingga muncul niat untuk menurunkan presiden Juvénal Habyarimana yang menandatangani Arusha Accords dari pihak pemerintahan Rwanda. Setelah munculnya perjanjian Arusha Accords, pada April 1994 pesawat yang membawa presiden Juvénal Habyarimana ditembak jatuh pada saat ingin mendarat di bandara Kigali. Pemerintahan yang memiliki celah karena kematian sang presiden kemudian diambil alih oleh pemerintah Rwanda lainnya yang anti-Tutsi, genosida pun dimulai keesokan harinya dimana para tentara, polisi, serta masyarakat Hutu diminta untuk membunuh dan mencuri harta benda semua orang yang diketahui ber etnis Tutsi, dari situlah dimulai salah satu genosida paling mematikan yang pernah terjadi dalam sejarah umat manusia, dimana sekitar 1 juta orang tewas dalam aksi pembunuhan massal yang dilakukan oleh etnis Hutu kepada etnis Tutsi. Setelah dimulainya genosida, Paul Kagame bersama dengan RPF melancarkan serangannya kembali dari utara Rwanda menuju ke selatan Rwanda, dalam proses penyerangan UNAMIR telah berkali-kali menyarankan terjadinya pembicaraan antara pemerintah Rwanda dan RPF, namun Paul Kagame tidak berniat untuk mengadakan pembicaraan sampai pembunuhan berhenti terjadi pada etnisnya. Penyerangan RPF terus berlanjut hingga akhirnya pada tanggal 4 Juli RPF berhasil menguasai Kigali dan memaksa pemerintahan Rwanda yang lama untuk mengungsi ke Zaire.
ADVERTISEMENT
March 23 Movement atau M23 sendiri adalah kelompok separatis yang mayoritas ber etnis Tutsi di timur DRC yang dibentuk karena adanya perjanjian perdamaian antara National Congress for the Defence of the People (CNDP) dan pemerintah DRC yang berisi suatu perjanjian akan adanya pembebasan tahanan-tahanan CNDP dan pengintegrasian CNDP ke dalam parlemen DRC setelah konflik Kivu, namun masyarakat-masyarakat DRC yang melihat CNDP sebagai penjahat yang seharusnya menerima hukuman atas perbuatan mereka, menolak adanya perjanjian perdamaian antara CNDP dan pemerintah DRC, tentara-tentara CNDP yang merasa tidak puas akan hasil masyarakat DRC pada akhirnya membentuk March 23 Movement yang diambil dari tanggal penandatanganan perjanjian perdamaian antara CNDP dan pemerintah DRC dan sampai saat ini masih melancarkan serangan di bagian timur DRC, terlebih khusus di provinsi Kivu utara dan Kivu selatan. M23 yang pada dasarnya berisi orang-orang yang memiliki keterkaitan dengan Rwanda ditambah dengan fakta bahwa mayoritas dari tentara-tentara M23 ber etnis Tutsi, maka M23 sudah dari lama menjadi alat Rwanda untuk melaksanakan berbagai macam serangan di bagian timur DRC.
ADVERTISEMENT
Dari konflik Goma, PBB dan Amerika Serikat menuduh Rwanda turut ikut serta dalam invasi di bagian timur DRC namun Paul Kagame masih membantah bahwa negaranya tidak membantu M23 dan semua tentara yang ada di perbatasan DRC semata-mata hanya untuk menjaga kestabilan negaranya dari kelompok-kelompok bersenjata yang bertanggung jawab atas genosida di Rwanda pada tahun 1994 yang banyak mengungsi ke DRC, langkah Paul Kagame secara tidak langsung merupakan cara untuk tetap mempertahankan national interest dari Rwanda itu sendiri.
National interest adalah acuan suatu negara untuk mengambil kebijakan-kebijakan luar negeri yang tentu saja harus menguntungkan negara mereka sendiri. Sejak berada di bawah pemerintahan Paul Kagame, Rwanda telah berhasil untuk menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi paling tinggi bukan hanya di Afrika tapi juga di dunia, hal ini tentu saja sangat luar biasa mengingat belum 30 tahun lalu dunia politik Rwanda mengalami ketidakstabilan parah diakibatkan perang antar etnis, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun yang berada di angka 8% maka momentum sudah berada di jalan yang benar lewat pemerintahan Paul Kagame yang juga secara terus-terusan mendorong pertumbuhan pariwisata Rwanda, hal ini dibuktikan dengan banyaknya perjanjian kerjasama dengan klub-klub atau organisasi olahraga raksasa dunia seperti Arsenal, Paris Saint-Germain, Bayern Munich, Basketball African League, dan African Football League, Rwanda juga menjadi salah satu negara yang sedang dalam proses bidding untuk menyelenggarakan balapan Formula 1, tidak heran jika Rwanda sering dijuluki sebagai “The Singapore of Africa” dan tentu saja pertumbuhan-pertumbuhan baik tersebut akan sedikit memudar jika Paul Kagame mengakui secara publik bahwa negaranya ikut terlibat dalam invasi yang terjadi di bagian timur DRC. Provinsi Kivu utara dan Kivu selatan yang adalah salah satu dari provinsi di DRC yang juga berbatasan langsung dengan Rwanda merupakan surga pertambangan dunia dimana banyak sekali kekayaan alam seperti emas, berlian, dan salah satu yang sering digunakan dalam pembuatan alat elektronik yaitu coltam dapat ditemukan di provinsi Kivu utara dan Kivu selatan, perubahan kepemilikan sumber daya alam yang ada di timur DRC dapat membuat negara manapun yang dapat mengolahnya dengan baik berubah menjadi salah satu negara kaya. Dengan adanya M23 di bagian timur DRC dapat membuka kesempatan besar bagi Rwanda untuk melanjutkan national interest, dimana Rwanda dapat memperkaya negaranya lebih lagi dan melanjutkan tujuannya untuk menjadi salah satu negara terkaya di Afrika bahkan dunia, sebaliknya bagi DRC kehilangan kepemilikan atas pertambangan di bagian timur negaranya dapat membuat DRC menjadi salah satu negara paling miskin di dunia, karena walaupun sudah memiliki tambang yang kaya akan sumber daya alam, DRC masih berada dalam peringkat bawah sebagai negara paling miskin sekaligus negara dengan pertumbuhan ekonomi paling lambat di dunia.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya permainan diplomasi antara Rwanda yang juga terselubung national interest untuk makin memperkuat diri menjadi powerhouse of Africa membuat DRC berada dalam masalah serius. Kehilangan kepemilikan daerah tambang di provinsi Kivu utara dan Kivu selatan dapat menjadikan DRC sebagai negara paling miskin di dunia, dan permainan politik yang terjadi antara DRC dan Rwanda yang juga mengundang atensi dunia internasional dapat menentukan nasib kedua negara kedepannya.