Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Bingung dan Malah Balik Bertanya Sebagai Lulusan Sastra Indonesia: Mau Jadi Apa?
5 Januari 2025 15:50 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Hartono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika saya ingin mengawali atau memulai sesuatu, saya dihadapakan dengan kebingungan. Dan, ketika saya ingin memulai menulis pun saya dihadapkan kebingungan. Ini sama halnya ketika saya telah lulus kuliah, saya dihadapkan dengan penuh kebingungan.
ADVERTISEMENT
Dalam menulis, saya bingung memulai dengan kata apa dan dengan kalimat yang bagaimana? Sebelum berhadapan dengan kertas putih bersih belum tercoret, ide-ide selalu datang bermunculan dengan tiba-tiba, ketika berkendara di jalan, bangun dari tidur, dan maupun jongkok di toilet. Sekarang saya bingung ingin memulai menulis dengan kata apa dan dengan kalimat yang bagaimana. Tadinya, saya memiliki ide ingin menulis keresahan setelah lima bulan menjadi lulusan sastra Indonesia. Namun yang ternyata tertulis malah keresahan dan kebingungan saya dalam memulai menulis, dan yang jadinya seperti ini tulisannya.
Malam ini saya duduk di kursi sandar di teras rumah, setelah setengah hari menyemai bibit cabai. Cuaca malam ini sama seperti malam menjelang natal, dingin, hujan terus turun meski tak menentu, sejam berhenti – sejam turun, bahkan bisa lebih. Tapi bukan karena ini adalah Bogor, yang jelas ini adalah di penghujung tahun.
ADVERTISEMENT
Saya memakai kaos lengan panjang dan dengan sarung wadimor bergaris lurus warna bolu pandan. Bukan karena ingin terlihat saleh, tapi untuk menghindari kaki dari gigitan nyamuk dan dingin malamnya Bogor.
Nah, sepertinya saya bisa mengawali dan memulai dari sini – setelah ngalor-ngidul kata-kata yang telah keluar. Apakah ini sebuah impromptu? Atau, hanya ketakjelasan saya saja? Ah, entahlah.
Seperti yang saya katakan di awal, saya seorang lulusan sastra Indonesia dan terhitung sudah lima bulan dari setelah dinyatakan lulus dalam lembar SKL (surat keterangan lulus) yang saya lampirkan dan kirim pada beberapa perusahan melalui email. Dan yang sampai saat ini menanti balasan.
Mau jadi apa? Kalimat yang sering ditanyakan pada jurusan kuliah Sastra Indonesia
ADVERTISEMENT
Mungkin, pada saat itu saya bisa menjawabnya, karena di jurusan ini kami mempelajari banyak mata kuliah seperti jurnalistik, teknik penyiaran, pengkajian seni pertunjukan, pengkajian film, desain dan penerbitan, Dsb. Tapi ketika sudah lulus, saya justru bingung menjawabnya. Apakah karena ini saya menjadi bingung? Juga, melihat yang saya pelajari lebih memiliki program studinya sendiri-sendiri seperti jurnalistik, ilmu komunikasi, dan film. Ya, kami tidak dijadikan patokan ketika mencoba karier pada bidang tersebut.
Saya menjadi bingung, dan malah balik bertanya “mau jadi apa?” apa rencana karir saya kedepan sebagai lulusan sastra Indonesia. Perlu digarisbawahi, bukan berarti selama kami mengemban di jurusan sastra Indonesia tidak ada manfaatnya. Selama empat tahun itu, tentu ada manfaatnya. Melakukan apa setelah menjadi lulusan sastra indonesia, bagi saya sendiiri masih membingungkan. Memang, kalau dilihat-lihat banyak teman saya lulusan sastra Indonesia bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan apa yang dipelajarinya.
ADVERTISEMENT
Saya juga pernah, seperti diposisikan sebagai credit marketing officer (CMO) ketika kali pertama mendapat panggilan interview pada perusahaan bank finance di Tangerang Selatan. Dengan katanya, lulusan sastra Indonesia pintar mengolah bahasa pasti jago menawarkan. Tapi saya tidak melanjutkan dan mengambil pekerjaan itu. Saya merasa jurusan sastra Indonesia lebih belajar mengolah bahasa dalam menulis cerita dan, bukan bebricara langsung apa lagi berhadapan mata – ini sih lebih kepada jurusan komunikaksi karena mempelajari struktur audiensnya.
Tapi, juga bukan berarti sastra Indonesia hanya memberi perspektif tentang menulis yang kreatif. Malah, kadang saya merasa beruntung pada jurusan ini karena dalam memandang segala hal jadi punya perspektif. Jurusan ini dituntut harus banyak-banyak membaca, terlebih membaca karya-karya sastra. Hal itu tentu membantu diri dalam mengolah rasa, karsa dan empati.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya bukan lulusan Sastra Indonesia yang menjadi masalah
Saya sadar, ternyata bukan menjadi lulusan sastra yang membuat resah, melainkan memegang gelar sarjana itu yang tidak mudah. Terlebh ketika ada seseorang atau saudara yang bertanya tentang karier kedepan, rasanya membuat saya gundah! Kerja di mana? Bagaimana pekerjaan lulusan sarjana? Dsb. Barangkali, hal ini juga yang menjadi masalah bagi semua lulusan-lulusan sarjana, tidak terkecuali lulusan sastra Indonesia. Dan itu juga yang akhirnya saya sadari, supaya – merasa tenang diri ini sebagai lulusan sastra Indonesia.
Soal karier, sebenarnya tidak hanya pada jurusan sastra Indonesia yang mesti dipertanyakan, melainkan, juga pada jurusan-jurusan lain di bangku perkuliahan. Semua bergantung pada kesadaran, apa yang ingin dicapai dalam hidup dan apa sebenarnya yang menjadi rencana kedepan. Saya pun akhirnya tidak lagi tidak lagi berkutat dengan kebingungan. Saya memilih menjadi petani dan baru memulai sedikit menyemai benih cabai di hari ini, di siang tadi.
ADVERTISEMENT
Dan, seorang pengarang dari negeri bunga Sakura dan pernah saya baca secara kebetulan karyanya sewaktu masih mahasiswa, berkata demikian:
Jauh di kemudian hari, saya mulai memahami kalimat tersebut. Setidaknya, saya anggap kalimat itu sebagai penghibur.