Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mewaspadai Sengatan Ekonomi Global
25 Oktober 2023 12:33 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Nofi Candra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dari sisi ekonomi makro, resesi global akan berimbas pada pelemahan permintaan atas komoditas ekspor nasional, karena pertumbuhan ekonomi di negara-negara destinasi ekspor Indonesia akan ikut terseret turun, seperti Amerika, China, dan Uni Eropa. Situasi ini akan membuat kalkulasi para produsen komoditas ekspor nasional (termasuk UMKM) berubah. Mereka berpeluang menurunkan volume produksi.
ADVERTISEMENT
Tentu ada opsi lain, jika tak tega mengurangi tenaga kerja. Misalnya, mereka juga berpeluang tidak mengurangi produksi, tapi menyiasatinya dengan mengubah komposisi pemasaran produk dengan menambah proporsi produksi untuk pasar dalam negeri sebagai substitusi atas pasar ekspor yang berkurang. Tapi risikonya, akan ada penurunan harga (rugi) akibat kelebihan supply domestik di tengah pelemahan permintaan dalam negeri.
Selain itu, secara temporal mereka juga masih punya opsi lainnya, jika tidak mengambil dua opsi tersebut, yakni tetap berproduksi dengan volume semula, dengan risiko volume "inventory" akan berlipat. Namun risiko lanjutnya, jika dalam waktu lama permintaan tak juga membaik, justru mereka (produsen komoditas dan produk ekspor) akan mengalami bubble produksi.
Tapi karena kondisi dalam negeri kurang prospektif akibat beberapa kebijakan ekonomi domestik belakangan sangat berpotensi menambah inflasi dan menekan permintaan, menurut hemat saya, berkemungkinan besar para produsen komoditas ekspor akan mengurangi produksi. Risikonya, akan ada "lay off" tenaga kerja yang jumlahnya tentu akan berbanding lurus dengan pengurangan kapasitas produksi.
ADVERTISEMENT
Rentetannya tentu sudah bisa ditebak. Daya serap ekonomi nasional atas angkatan kerja, baik yang lama maupun yang baru, akan berkurang. Pengangguran akan bertambah, kemiskinan pun demikian. Dan akhirnya permintaan dalam negeri juga akan ikut tertekan. Alhasil, akan ada tambahan "deflationary pressure" pada perekonomian nasional. Jika tak terlalu siap, maka resesi akan terjadi, lalu berujung dengan stagnasi untuk waktu yang cukup lama.
Di sisi lain, secara moneter, resesi global akan menimbulkan ketidakpastian pasar, terutama bagi pelaku pasar finansial. Semakin tidak pasti prospek ekonomi global, akan semakin banyak investor yang akan memindahkan dananya ke instrumen "safe heaven" dan "hard currency," salah satunya mata uang dolar. Dengan kata lain, ancaman capital outflow akan semakin besar bagi Indonesia. Pelepasan berbagai macam instrumen investasi finansial (terutama surat utang) akan terjadi.
Arti lainnya, demand terhadap dolar akan tinggi, sementara demand terhadap rupiah akan menurun drastis. Alhasil, nilai tukar rupiah akan ikut terjun bebas. Jika rupiah melemah tajam dalam waktu yang lama, maka biaya impor akan ikut naik, lalu memaksa para produsen berbagai macam barang untuk pasar domestik yang berbasiskan bahan baku impor akan ikut mengubah perhitungan bisnisnya.
ADVERTISEMENT
Jalan terpahit tentu dengan menaikkan harga jual, seperti yang dilakukan pemerintah dan Pertamina atas harga BBM. Ujungnya, ekonomi nasional yang sudah dihantui inflasi akan semakin diselimuti inflasi lebih lanjut.
Secara moneter, ancaman resesi global tidak saja datang dari kenaikan harga-harga komoditas dunia akibat seteru Rusia-Ukraina, sekuel perang dagang Amerika-China, dan Hamas vs Israel, tapi juga karena kebijakan Bank Sentral Amerika yang mulai menghentikan non conventional monetary policy bernama Quantutative Easing bersamaan dengan menaikkan suku bunga acuan.
Kecenderungan psikologi "strong dollar" akibat ketidakpastian global berpadupadan dengan peningkatan daya tarik instrumen investasi finansial negeri Paman Sam akibat kenaikan suku bunga acuan the Fed.
Pada mulanya, jika hanya berpatokan kepada kebijakan moneter Amerika, terutama soal kenaikan suku bunga the Fed, saya masih "sanksi" akan terjadi capital outflow besar-besaran di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, kebijakan the Fed menaikkan suku bunga bukanlah karena faktor ekonomi Paman Sam yang sudah "overheated" sebagai akibat dari peningkatan "aggregate demand," tapi justru sebaliknya (pelemahan permintaan), yang berpadu dengan inflasi tinggi alias stagflasi.
Dengan kata lain, ekonomi Amerika memang sedang memburuk yang akan membuat daya tarik investasi di sana juga ikut menurun. Sementara itu, perekonomian kita, baik pertumbuhan maupun level inflasi, masih jauh lebih baik dibanding Amerika. Dengan asumsi itu, ancaman capital outflow semestinya tidak akan terlalu besar.
Namun seiring berjalannya waktu, di satu sisi inflasi di negera-negara maju semakin menggila dan di sisi lain pertumbuhan di negara besar seperti China juga semakin menurun, menguatkan sinyal bahwa resesi global pelan-pelan sudah merangsek ke depan mata kita.
ADVERTISEMENT
Situasi ini akan membuat para investor global yang mengantongi berbagai macam instrumen investasi finansial di dalam negeri mulai berhitung ulang, apakah akan bertahan atau hengkang.
Bertahan dengan kondisi ekonomi domestik yang tidak terlalu buruk, tapi secara terang-terangan dihantui ketidakstabilan moneter dan fiskal, terutama ancaman degradasi nilai mata uang dalam negeri di satu sisi dan memburuknya kapasitas fiskal sebagai jaminan kemampuan membayar kembali utang pemerintah di sisi lain, memang bukan pilihan yang mudah.
Sebagian nampaknya sudah memilih hengkang, baik atas nama managemen risiko, atau atas nama spekulasi mata uang atau pula atas nama "carry trader" pasar surat utang (berpindah ke negara lain yang menawarkan yield yang lebih besar). Artinya, mereka hengkang tidak melulu harus kembali ke Amerika, sebagaimana dikhawatirkan banyak pihak. Boleh jadi ke tempat lain selain negeri Paman Sam.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, tanpa perlu menyebutkan angka, cukup dengan melihat reaksi Bank Indonesia saja, kita sudah bisa memahami bahwa jumlahnya pasti tidak sedikit. Pelepasan aset-aset finansial berupa surat utang negara, dalam batas tertentu, masih bisa disambut oleh BI dengan dalih devisa negara masih kuat menahannya.
Tapi pelepasan aset-aset di pasar modal, mau tak mau, akan ikut menggeret valuasi beberapa emiten, lalu menekan nilai saham gabungan. Jika terjadi dalam jumlah yang besar, lampu kuning akan menyala di Bursa Efek Nasional
Di sisi lain, jika BI terus menerus mengintervensi dengan membeli segala instrumen investasi domestik yang dilepas investor global, agar rupiah tidak jatuh lebih dalam, lama-lama devisa negara (foreign exchange reserve) bisa menipis. Apalagi, performa ekspor nasional sudah sejak lama memang tak lagi prima, bahkan acapkali defisit. Tentu ingatan kita akan kembali ke krisis 1997, di mana devisa negara mendadak cekak.
ADVERTISEMENT
Saya menduga, karena alasan inilah BI langsung menaikkan suku bunga acuan sampai ke level 6 persen untuk mencegah capital outflow lebih lanjut. Kenaikan suku bunga akan mendorong pemerintah menaikkan yield surat utang, agar para investor surat utang tidak kabur dan investor baru tertarik untuk segera masuk.
Alhasil, akan dibutuhkan tambahan anggaran untuk menambal tambahan yield surat utang di waktu mendatang di satu sisi. Tapi juga akan terjadi penipisan likuiditas antar perbankan di sisi lain, yang berisiko menekan pertumbuhan dari sisi investasi.
Meski begitu, tidak berarti urusan selesai sampai di situ. Selama ketidakpastian global masih berlangsung, kita akan terus was-was. Situasinya memang cukup sulit. Setelah menaikkan harga BBM tahun lalu, meski terkesan egois, pemerintah boleh jadi merasa sudah berada dalam posisi lumayan aman secara fiskal karena beban subsidi berkurang alias masih ada ruang fiskal untuk menutup bunga dan cicilan utang.
ADVERTISEMENT
Tapi ancaman lain juga menghantui, yakni nominal utang dalam rupiah berpeluang terus meningkat. Semakin rupiah terpuruk, semakin bertambah nominal rupiah utang pemerintah dan perusahaan swasta, meskipun nominal dolarnya tetap sama.
Hal ini menjadi masalah penting karena anggaran pemerintah dan perusahaan swasta, terutama terkait perhitungan pemungutan pajak dan kalkulasi bisnis dalam negeri, dilakukan dalam mata uang rupiah. Jadi jika rupiah melemah secara tajam, maka akan ada penambahan rupiah untuk setiap dolar utang lama pemerintah maupun utang lama swasta.
Semua risiko di atas, akan bertransformasi menjadi ancaman nyata bagi masyarakat, terutama mayoritas kelas menengah ke bawah. Baik pengurangan kesempatan kerja, kenaikan harga barang-barang, maupun penambahan bunga dan cicilan utang pemerintah, termasuk risiko terpahit perusahaan-perusahaan gulung tikar, akan menambah beban ekonomi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pemerintah bisa saja mencari aman secara fiskal dengan mencabut subsidi, sehingga anggaran negara masih dianggap aman oleh para kreditor pasar uang. Tapi pencabutan subsidi BBM berserta multiplayer effect-nya atas harga komoditas pokok adalah risiko bagi pendapatan mayoritas masyarakat yang memang pas-pasan (secara per kapita jauh di bawah negara-negara emerging market lainya)
Kelas menengah di Indonesia bukanlah kelas menengah sebagaimana yang kita pahami di negara maju. Kelas menengah Indonesia adalah "vurnerable middle class," yang jumlahnya sengaja dibuat besar agar terkesan bahwa pemerintah telah berhasil membangun fundamental ekonomi nasional yang berbasiskan konsumsi domestik.
Nyatanya tidak demikian, mereka mengonsumsi BBM bersubsidi bukan karena karena ingin mencuri kesempatan, tapi karena kalkulasi rasional bahwa pendapatan mereka memang belum aman dari berbagai tekanan ekonomi. Jadi mayoritas kelas menengah kita masih berada di level "lower middle class" yang akan melakukan penyesuaian perilaku ekonomi saat tekanan ekonomi bertambah.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, mayoritas kelas menengah kita terpaksa berperilaku seperti kelas bawah, menikmati segala macam kemudahan ekonomi yang diberikan pemerintah, karena status kelas menengah yang mereka sandang hanya bersifat "nominal," bukan substansial.
Jika dipaksa mengubah perilaku, pendapatan mereka akan tertekan. Risikonya, segala kemudahan cicilan kredit yang mendukung gaya hidup kelas menengah mereka selama ini bisa saja terhenti dan menyebabkan peningkatan kredit bermasalah di pasar kredit nasional.