Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hari Perempuan Internasional 2018 yang Transformatif
8 Maret 2018 20:08 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Nona Gae Luna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari Perempuan Internasional diselenggarakan setiap tahunnya di tanggal 8 Maret.
ADVERTISEMENT
Hal apa yang melatarbelakangi peringatan ini di tingkat global? Lalu tema khusus apa yang diangkat untuk tahun ini?
Lahir Dari Gerakan Buruh
Peringatan hari perempuan internasional lahir dari aktivitas gerakan buruh di awal abad ke-20 yang ditandai dengan proses industrialisasi dan pertumbuhan populasi dunia.
Pada tahun 1908, belasan ribu perempuan berdemonstasi di kota New York menuntut jam kerja yang lebih pendek, kenaikan gaji dan hak pilih. Gerakan perempuan juga merambah daratan Eropa dengan dilaksanakannya konferensi internasional untuk pekerja perempuan di Kopenhagen pada tahun 1910 dan peringatan hari perempuan di tingkat internasional untuk pertama kalinya di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss di tahun 1911.
Menjelang Perang Dunia I, sekitar tahun 1913-1914, peringatan hari tersebut ditujukan untuk memprotes terjadinya perang dan mengangkat isu-isu lain terkait perempuan. Gerakan perempuan kemudian juga berhasil memicu revolusi di Rusia. Demonstasi yang dilakukan oleh para perempuan di kota St. Petersburg pada tahun 1917 menggulingkan sistem pemerintahan Tsar Rusia yang berkuasa pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Dorongan PBB
Tahun 1975 kemudian ditetapkan sebagai Tahun Perempuan Internasional oleh PBB. Dua tahun setelahnya, Majelis Umum PBB berhasil mengadopsi sebuah resolusi yang meminta semua negara untuk memperingati United Nations Day for Women’s Rights and International Peace sesuai dengan sejarah dan tradisi masing-masing.
Resolusi tersebut menjadi cikal bakal dari peringatan Hari Perempuan Internasional setiap tanggal 8 Maret.
Inisiatif di tingkat PBB tidak berhenti di situ.
Pada tahun 1995, Beijing Declaration and Platform for Action yang menjamin pengakuan hak-hak asasi perempuan berhasil ditandatangani oleh 189 negara di China.
Visi dokumen ini adalah mewujudkan dunia di mana perempuan dan anak perempuan dapat berpartisipasi di dunia politik, mendapatkan pendidikan, memiliki pendapatan, dan hidup bebas dari kekerasan dan perlakuan diskriminatif.
ADVERTISEMENT
Tema Peringatan di Tahun 2018
Tema ini menanggapi dengan tepat gerakan perempuan di tingkat global yang makin mengemuka dengan dibongkarnya kasus-kasus pelecehan seksual di dalam komunitas Hollywood sejak akhir tahun 2017. Di media massa, gerakan ini ditandai dengan penyebaran tagar #MeToo di media sosial mulai Oktober 2017 dan gerakan “Time’s Up” yang diumumkan pada tanggal 1 Januari 2018 lalu di harian The New York Times.
ADVERTISEMENT
Selain menangkap gejala sosial terkini di tengah-tengah masyarakat, tema tersebut juga berupaya menegaskan pentingnya menerjemahkan momentum positif gerakan perempuan saat ini ke dalam suatu aksi nyata. Bagi PBB, momentum tersebut perlu digunakan untuk aktivisme pemberdayaan perempuan baik di lingkungan perkotaan maupun pedesaan.
Diangkatnya fokus pada aktivisme di tingkat pedesaan ini tidak muncul tanpa alasan. Menurut data yang dimiliki PBB, jumlah penduduk perempuan di pedesaan mencapai lebih dari seperempat populasi dunia. Selain itu, perempuan di pedesaan menempati porsi terbesar dalam 43% tenaga kerja perempuan di sektor pertanian global.
Peran perempuan dalam sektor pertanian sangat penting. Selain menghidupi keluarga, petani perempuan juga membantu tercapainya keamanan pangan baik di desanya maupun di tingkat nasional. Selain itu, mereka juga berperan penting dalam membangun ketahanan terhadap perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, peran signifikan petani perempuan ini tidak diiringi dengan pemenuhan hak-hak mereka. Petani perempuan seringkali dirugikan dalam pembangunan akibat masih adanya praktek diskriminasi dan ketidaksetaraan gender, jika dibandingkan dengan petani laki-laki ataupun sesama perempuan yang hidup di perkotaan.
Di tingkat global, jumlah perempuan pemilik tanah masih kurang dari 20%. Kesenjangan pendapatan antara petani laki-laki dan perempuan juga bisa setinggi 40%.
Namun hal ini diyakini dapat diperbaiki dengan aktivisme yang transformatif. Menurut PBB, petani perempuan di berbagai belahan dunia telah terlibat dalam berbagai aktivisme tersebut demi kehidupan yang lebih baik.
Di sektor ekonomi, mereka berinovasi dengan menggunakan metode bercocok tanam baru. Sementara di ranah politik, mereka juga memperjuangkan hak-haknya, termasuk dengan mencalonkan diri di sektor pemerintah.
ADVERTISEMENT
Tema tersebut juga sangat relevan bagi gerakan perempuan di Indonesia. Selain aktivisme gerakan perempuan di perkotaan yang banyak mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan, aktivisme perempuan dari pedesaan juga telah bergerak memperjuangkan hak-hak dasar mereka.
Aksi Women's March di Taman Aspirasi Monas (Foto: Yuana Fatwalloh - artikel Kumparan)
Para petani berjuang untuk tetap melestarikan pegunungan Kendeng, Jawa Tengah (Foto: Muhammad Husnil - artikel Kumparan)