Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial 2018: Indonesia dan Kemajemukannya

Nona Gae Luna
Diplomat Indonesia Saat ini sedang bertugas di Roma
Konten dari Pengguna
21 Maret 2018 20:15 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nona Gae Luna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tak banyak yang tahu, 21 Maret diperingati tiap tahunnya sebagai Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial sedunia. Apa yang melatarbelakangi peringatan hari internasional tersebut? Apa relevansi peringatan hari tersebut bagi Indonesia?
Ilustrasi: voicesofyouth.org
ADVERTISEMENT
Sejarah peringatan
Peringatan khusus ini dilatarbelakangi oleh peristiwa Sharpeville di Afrika Selatan. Pada tanggal 21 Maret 1960, sebuah tragedi terjadi di Sharpeville dimana polisi Afsel menembak peserta aksi demonstrasi damai yang menentang hukum apartheid. 69 orang mati ditembak, termasuk delapan perempuan dan 10 anak-anak, sementara 180 orang lainnya luka-luka.
Enam tahun setelahnya, negara-negara anggota Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian berhasil mengesahkan resolusi yang memproklamirkan tanggal 21 Maret sebagai Hari Internasional Penghapusan Diskriminasi.
Pada tahun 1979, MU PBB kemudian meminta semua negara untuk dapat memperingati hari internasional tersebut tiap tahunnya selama seminggu sebagai bentuk solidaritas bagi mereka yang berjuang menghadapi rasisme dan diskriminasi ras.
Tema peringatan 2018
ADVERTISEMENT
Sebagaimana disebutkan di dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Oleh karena itu, pembedaan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain sudah sepatutnya perlu dihilangkan.
Namun kenyataan yang terjadi di lapangan berbeda. Praktek rasisme, xenophobia dan aksi intoleransi, khususnya atas kelompok minoritas, migran, dan pengungsi masih ada. Ketidaksetaraan gender masih menjadi masalah. Partai politik yang mengangkat ideologi populis yang sempit juga semakin kuat.
Melihat kenyataan seperti ini, PBB memutuskan tema peringatan tahun ini adalah “Mendorong Tumbuhnya Toleransi, Inklusivitas, Persatuan, dan Menghargai Keberagaman dalam konteks Perlawanan terhadap Diskriminasi Rasial”.
ADVERTISEMENT
Dalam pernyataannya, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengajak semua negara untuk tidak hanya berbicara mengenai toleransi dan pentingnya inklusivitas, namun juga untuk mempraktekkannya. Bagaimana caranya? Pertama, melalui dialog yang mengedepankan keterbukaan. Kedua, dengan memberikan contoh leadership yang berani melawan intoleransi dan diskriminasi dalam segala bentuk.
Nilai Kemajemukan bagi Indonesia
Sebagai bangsa yang majemuk, peringatan hari ini tidak hanya relevan, namun sifatnya sangat krusial.
Indonesia dikenal sebagai mega cultural diversity. Setidaknya terdapat 250 kelompok etnis dengan lebih dari 500 jenis bahasa daerah di Indonesia. Bermacam-macam agama dan kepercayaan juga berkembang di negara ini.
Setelah periode reformasi, banyak kalangan meramalkan dengan tingginya tingkat keberagaman yang dimiliki Indonesia, negara ini pada akhirnya akan menjadi negara gagal (failed state), apalagi dengan lepasnya wilayah Timor-Timur serta pergolakan di Aceh dan Papua.
ADVERTISEMENT
Fund for Peace (FfP), sebuah lembaga penelitian independen internasional berusaha memberikan analisa yang lebih mendalam atas penilaian ini. Menurut FfP, terdapat dua belas indikator yang menentukan apakah suatu negara dapat dinilai sebagai failed state atau tidak. Berdasarkan berbagai indikator tersebut, FfP bekerja sama dengan majalah Foreign Policy tiap tahunnya menghasilkan laporan Failed State Index (FSI) yang seringkali digunakan sebagai rujukan publik untuk menganalisa kondisi kerentanan suatu negara.
Berdasarkan laporan FSI terakhir (2017), Sudan Selatan menempati ranking pertama, disusul oleh Somalia dan Republik Afrika Tengah.
Bagaimana posisi Indonesia? Indonesia sendiri berada di ranking 94 dari 178 negara dengan total skor 72.9. Posisi tersebut sesungguhnya naik dari ranking sebelumnya di tahun 2016 dimana Indonesia berada pada ranking 86 dengan total skor 74.9. Apalagi jika dibandingkan dengan posisi sepuluh tahun lalu yang menunjukkan Indonesia berada di ranking 55.
ADVERTISEMENT
Tanpa berusaha mensimplifikasi masalah yang ada, naiknya ranking ini sedikit banyak menunjukkan bahwa Indonesia dapat membuktikan kemajemukan atau keberagaman yang ada tidak mengancam kesatuan negara.
Namun perbaikan raking ini memang tidak serta-merta berarti negara ini sudah berada dalam kondisi terbaik. Masih banyak hal yang harus dilakukan dalam upaya bersama kita menghargai kemajemukan.
Meskipun bagi banyak negara, Indonesia dinilai dapat mencegah kemajemukan menjadi suatu ancaman kebangsaan, penanaman nilai toleransi dan pentingnya dialog di atas perbedaan tetap perlu dilakukan sejak dini dan dilakukan sehari-hari. Terlebih lagi menjelang Pemilihan Presiden 2019, keberagaman ini hampir pasti akan menjadi isu yang dipolitisasi yang dapat menghasilkan perpecahan bangsa. Semuanya tergantung dari kita semua, apakah kita bisa memaknai kemajemukan yang kita miliki sebagai suatu berkah, atau sebagai suatu musibah.
ADVERTISEMENT