Konten dari Pengguna

Perempuan dan Dunia Diplomasi Indonesia

Nona Gae Luna
Diplomat Indonesia Saat ini sedang bertugas di Roma
22 April 2018 19:22 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nona Gae Luna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Diplomat (Foto: Creative Commons Design)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Diplomat (Foto: Creative Commons Design)
ADVERTISEMENT
Dunia diplomasi seringkali dianggap sebagai dunia laki-laki. Aktivitas seorang diplomat yang tak kenal waktu dan berpindah-pindah dinilai lebih cocok untuk kaum laki-laki daripada perempuan.
ADVERTISEMENT
Namun apakah stigma ini benar? Ataukah hanya kelanjutan praktek stereotyping yang tidak hanya merugikan perempuan, tapi juga merugikan dunia profesi diplomat itu sendiri?
Dinamika Dunia Diplomasi
Profesi diplomat memiliki tantangan tersendiri yang cukup unik. Setidaknya terdapat tiga karakter tugas yang melekat dengan profesi diplomat.
Pertama, dalam menjalani pekerjaannya, terlebih ketika bertugas sebagai perwakilan di luar negeri, seorang diplomat dituntut untuk dapat siaga selama 24 jam. Utamanya mereka yang menjalani penugasan di negara-negara tujuan utama warga negara asal diplomat tersebut mencari nafkah.
Kedua, seorang diplomat juga seringkali dituntut untuk piawai dalam bernegosiasi. Dalam hal ini, mengutamakan logika dibandingkan perasaan.
Ketiga, kehidupan seorang diplomat juga tidak bisa berdiam di satu tempat. Penugasan yang berpindah-pindah merupakan bagian hidup yang tak terelakkan. Perpindahan dari satu negara ke negara lain ini tidak hanya berdampak pada gaya hidup si diplomat saja, namun juga keluarganya.
ADVERTISEMENT
Tiga karakter tugas tersebut seringkali membuat masyarakat awam menilai profesi diplomasi lebih cocok diemban oleh seorang laki-laki. Padahal hal itu tidak sepenuhnya benar.
Tugas perlindungan warga negara, misalnya. Bagi diplomat RI, upaya perlindungan WNI di luar negeri tidak bisa dipisahkan dengan situasi Tenaga Kerja Wanita (TKW) kita. Dengan sendirinya, peran diplomat perempuan di sini sangat dibutuhkan. Penanganan yang memperhatikan kebutuhan perempuan menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan upaya perlindungan WNI.
Keberhasilan suatu negosiasi juga tidak menjadi domain laki-laki saat ini. Dalam sebuah negosiasi, perempuan sebagai seorang negosiator juga bisa menggunakan logikanya secara cepat, lebih diplomatis dalam melakukan pendekatan dengan pihak lawan dan lebih teliti dalam melihat permasalahan yang ada. Watak nurturing yang dimiliki oleh seorang perempuan juga bisa menjadi instrumen diplomasi yang kuat.
Perempuan dan Dunia Diplomasi Indonesia  (1)
zoom-in-whitePerbesar
Pertemuan bilateral Menlu RI dan Menlu RRT (Foto: dokumen pribadi)
Perempuan dan Dunia Diplomasi Indonesia  (2)
zoom-in-whitePerbesar
Menlu RI berbincang dengan pengungsi Rohingya (Foto: Rini Friastuti - kumparan)
ADVERTISEMENT
Mobilitas seorang diplomat yang tinggi juga tidak menjadi halangan bagi diplomat perempuan dalam melakukan pekerjaannya, baik yang berkeluarga maupun yang tidak. Di banyak negara, sudah banyak diplomat perempuan yang menekuni profesinya dengan berpindah-pindah tanpa mengorbankan keluarga. Dalam hal ini, kebijakan-kebijakan yang mendukung, seperti tunjangan keluarga, menjadi penting untuk mendukung kelancaran proses perpindahan.
Bagaimana dengan Dunia Diplomasi Indonesia?
Dalam hampir dua dekade terakhir, proses rekrutmen Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menunjukkan angka rekrutmen yang relatif seimbang antara kelompok perempuan dan laki-laki.
Saya sendiri direkrut pada akhir tahun 2006, masuk di dalam Angkatan Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu) ke-32. Pada waktu itu, dari total 101 orang yang diterima menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kemlu, terdapat 49 perempuan yang masuk.
ADVERTISEMENT
Saat ini, saya sedang menjalani pendidikan bagi diplomat muda di Sekolah Staf Dinas Luar Negeri (Sesdilu) Angkatan ke-60. Terdapat 36 orang di angkatan ini yang terdiri dari 18 diplomat perempuan dan 18 diplomat laki-laki.
Dari contoh-contoh tersebut, bisa dibilang, proses rekrutmen Kemlu memberikan perhatian yang sama pada dua kelompok gender yang ada, tanpa membeda-bedakan.
Perkembangan ini bisa dibilang revolusioner apabila kita melihat ke belakang. Tidak perlu jauh-jauh, ke periode tahun 1990-an saja. Pada masa itu, persentase jumlah perempuan yang direkrut masih di bawah 20%. Sedikit sekali.
Di tingkat pimpinan, selain Ibu Retno Marsudi yang memegang pucuk kepemimpinan sebagai seorang Menteri Luar Negeri, beberapa diplomat perempuan juga mengemban tugas sebagai direktur jenderal, direktur, atau sebagai Kepala Perwakilan RI di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Tercatat terdapat 11 diplomat perempuan yang menduduki posisi sebagai Duta Besar RI di Aljazair, Argentina, Bangladesh, Bosnia & Herzegovina, Bulgaria, Ekuador, Finlandia, Hongaria, Italia, Peru, dan Slovakia. Sebanyak 6 (enam) diplomat perempuan juga bertugas sebagai Konsul Jenderal RI di Chicago, Houston, Melbourne, Perth, Shanghai dan Vancouver.
Kuantitas vs Kualitas
Meskipun hasil rekrutmen Kemlu dapat dijadikan contoh yang baik bagi pemberdayaan perempuan di dalam dunia diplomasi, masih ada room for improvement bagi Kemlu.
Secara keseluruhan, jumlah diplomat perempuan di Kemlu masih berada di angka 35,1%. Dengan berjalannya praktek rekrutmen saat ini yang tidak diskriminatif, seharusnya kita bisa optimis, jumlah diplomat perempuan bukan tidak mungkin akan lebih tinggi daripada diplomat pria di masa depan.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan kualitas?
Peta jalan Reformasi Birokrasi Badan Kepegawaian Negara tahun 2015-2019 menyebutkan bahwa untuk menciptakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang profesional dan bermartabat, sistem manajemen berbasis merit perlu dibangun. Upaya peningkatan peran perempuan dalam institusi pemerintah apakah dengan sendirinya bertolak belakang dengan meritokrasi tersebut?
Jawabannya, seharusnya tidak.
Sebuah organisasi bisa berjalan dengan baik apabila diisi dengan tenaga yang berkualitas, terlepas dari jenis kelaminnya. Affirmative action memang diperlukan guna menjamin adanya keterwakilan perempuan. Namun untuk Kemlu sendiri, kepastian itu sudah ada dengan sendirinya dalam proses rekrutmen.
Dalam proses promosi pegawai, sistem yang mengutamakan gender tertentu, laki-laki atau perempuan, tanpa melihat kualitas kepemimpinan yang dimiliki juga hanya akan membahayakan keseluruhan sistem. Karena itu, manajemen yang berdasarkan merit harus tetap berjalan. Perhatian kepada peningkatan peran perempuan juga tetap harus ada, sesuai dengan semangat Kartini.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana disampaikan di dalam puisinya di Hari Kartini (21/04), Ibu Retno Marsudi, menyerukan kepada semua perempuan Indonesia, termasuk para diplomat perempuan, “…jadilah motor penggerak kemajuan.”
Selamat hari Kartini!