Konten dari Pengguna

Persona Non-Grata: Alat Kejut Hubungan Diplomatik

Nona Gae Luna
Diplomat Indonesia Saat ini sedang bertugas di Roma
18 Maret 2018 20:26 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nona Gae Luna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Panggung hubungan internasional belakangan ini diramaikan oleh aksi balas-balasan pengusiran diplomat.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita tahu, hubungan diplomatik antara Rusia dan Inggris memanas dalam bulan ini. Sabtu kemarin (17/3), melalui pengumuman resmi, Kremlin memutuskan untuk mengusir 23 diplomat Inggris dari negaranya sebagai aksi balasan dari tindakan serupa yang diambil oleh Inggris atas diplomat Rusia pada tanggal 14 Maret lalu.
Aksi balas-balasan ini dipicu oleh adanya dugaan upaya pembunuhan seorang eks mata-mata Rusia yang membelot ke Inggris, Sergei Skripal (66), dan putrinya, Yulia (33), pada tanggal 4 Maret lalu di kota Salisbury, Inggris. Setelah melalui proses penyidikan kepolisian, Skripal dan Yulia diduga telah diracuni dengan racun syaraf (nerve agent) Novichok yang selama ini dikembangkan oleh Rusia.
Sergei Skripal. (Foto: AFP/Kommersant Photo/Yuri Senatorov - foto kumparanNews)
ADVERTISEMENT
Bagi Perdana Menteri (PM) Inggris Theresa May, hal ini hanya berarti dua hal, serangan langsung Rusia terhadap Inggris atau kelalaian Rusia yang kehilangan kendali kepemilikan atas racun syaraf tersebut. Di depan Parlemen, PM May menuntut penjelasan Rusia.
Rusia bersikeras pihaknya tidak terlibat dalam serangan tersebut. Dalam tanggapannya, Rusia balik menantang Inggris supaya dapat segera mengirimkan bukti keberadaan racun syaraf tersebut dan mau melakukan investigasi bersama Rusia sesuai dengan kewajiban di bawah Konvensi Senjata Kimia.
Sikap keras ini kemudian berbuntut aksi pengusiran diplomat di masing-masing negara. Melihat dari jumlah diplomat yang terlibat dalam pengusiran ini, aksi pengusiran kali ini adalah yang terbesar bagi hubungan bilateral kedua negara sejak berakhirnya Perang Dingin.
ADVERTISEMENT
Apa saja motif di balik pengusiran diplomat suatu negara? Apakah seorang diplomat dapat menolak untuk pulang dalam kasus seperti ini?
Alasan di balik pengusiran
Salah satu keistimewaan menjadi seorang diplomat ketika bertugas adalah status kebal hukum. Namun hal ini tidak berarti diplomat bisa berlaku seenaknya di negara akreditasi. Sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam pasal 9 Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik, seorang diplomat dapat di-persona-non-grata-kan oleh negara tuan rumah kapan saja dan tanpa penjelasan.
Banyak alasan yang melatarbelakangi langkah ekstrim ini.
Misalnya, keterlibatan diplomat tersebut dalam kegiatan spionase. Ketegangan hubungan Inggris dan Rusia saat ini menjadi contoh sempurna. 23 diplomat Rusia yang diusir tersebut dituduh terlibat dalam kegiatan spionase di Inggris.
ADVERTISEMENT
Seorang diplomat juga dapat diusir karena campur tangannya dalam situasi politik domestik. Masih segar dalam ingatan kita ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama mendeklarasikan 35 diplomat Rusia persona non grata pada bulan Desember 2016 lalu. Langkah ini diambil karena Rusia diduga telah ikut campur dalam Pemilu Presiden AS pada saat itu.
Salah bicara juga dapat menyebabkan seorang diplomat diusir. Hal ini pernah terjadi pada tahun 1952 ketika Duta Besar (Dubes) AS untuk Uni Soviet waktu itu, George F. Keenan, membuat pernyataan yang mengkaitkan Soviet dengan Nazi.
Aksi persona non grata juga dapat digunakan sebagai aksi solidaritas sesama negara. Pada tahun 2008, Presiden Bolivia Evo Morales mendeklarasikan Dubes AS Philip Goldberg persona non grata karena sikap pemerintah AS yang tidak mendukung pemerintahan Morales. Tak lama setelah itu, sebagai bentuk solidaritas, Presiden Venezuela Hugo Chavez juga melakukan hal serupa dan mengusir Dubes AS Patrick Duddy dari Caracas.
ADVERTISEMENT
Suatu negara juga dapat memberikan deklarasi persona non grata untuk seorang diplomat yang bahkan belum mulai bertugas di negara akreditasi. Hal ini biasanya dilatarbelakangi oleh kondisi hubungan bilateral kedua negara yang sedang memanas, misalnya ketika Brazil menolak Surat Kepercayaan Duta Besar RI untuk Brazil Toto Riyanto pada tahun 2015 lalu. Penolakan ini merupakan bentuk protes Brazil atas eksekusi mati warga negaranya yang tertangkap menyelundupkan kokain ke wilayah Indonesia.
Apa yang harus dilakukan?
Ilustrasi Konflik Internasional (Foto: conflictinternational.com)
Dalam praktiknya, ketika suatu pemerintah memutuskan untuk melakukan aksi persona non grata, orang nomor satu alias Dubes negara yang bersangkutan akan dipanggil ke Kemlu setempat. Daftar mereka yang diusir kemudian diserahkan kepada Dubes untuk ditindaklanjuti.
ADVERTISEMENT
Diplomat yang diusir pun harus segera mengakhiri tugasnya dan meninggalkan negara akreditasi dalam jangka waktu yang biasanya dalam hitungan hari atau bahkan 24 jam. Dalam waktu yang sempit ini, diplomat tersebut harus segera mengurus tiket kepulangan, tanpa mengindahkan proses kepindahan yang normalnya memakan waktu bulanan.
Apakah mungkin menolak untuk diusir?
Menolak untuk pergi adalah bentuk pelanggaran hukum internasional. Hal ini juga dapat memicu perang diplomatik yang mempengaruhi aktivitas seluruh Kedubes atau Konsulat. Pihak kepolisian dan keamanan setempat akan turun tangan dan mengelilingi premis Kedubes atau Konsulat. Mereka dapat mencegah semua staf untuk tidak masuk ataupun keluar premis sampai diplomat yang bersangkutan meninggalkan premis.
What’s next?
Meskipun deklarasi persona non grata merupakan langkah yang serius dan penuh pertimbangan, seringkali langkah tersebut dinilai sebagai alat politisasi.
ADVERTISEMENT
Misalnya dalam situasi Inggris dan Rusia saat ini. Rusia menilai Inggris berupaya menurunkan pamor Presiden Rusia Vladimir Putin sebelum Pemilu Presiden yang dilaksanakan hari ini (18/3) di Rusia. Selain itu, bagi Rusia, Inggris juga terlihat menunjukkan ketidaksetujuannya dengan pemilihan Rusia sebagai lokasi Piala Dunia 2018.
Pada sebagian besar kasus, kondisi hubungan diplomatik kedua negara yang terlibat tidak akan rusak permanen, meskipun sempat beku. Dalam kasus hubungan Inggris dan Rusia, kondisi korban dan sorotan media atas kasus ini akan mempengaruhi perbaikan hubungan keduanya.
Pada akhirnya, bagaimanapun juga, pertimbangan-pertimbangan praktis seperti hubungan ekonomi akan berpengaruh dan kembali mendekatkan kedua negara yang sedang berkonflik.
***