Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Perubahan Itu Kekal
22 Februari 2018 17:03 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari Nona Gae Luna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepanjang hidup manusia, daya adaptasi adalah salah satu kekuatan yang perlu dimiliki oleh setiap individu, meskipun seringkali diremehkan. Dari usia dini, kita semua dituntut untuk dapat beradaptasi, baik di lingkungan keluarga besar, sekolah, pekerjaan, ataupun di tengah-tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kemampuan beradaptasi akan terasa lebih sulit jika keadaan menuntut kita untuk berpindah dari suatu situasi yang nyaman ke situasi yang … kurang nyaman. Hal ini terjadi pada saya ketika saya harus kembali hidup di Jakarta setelah merasakan nikmatnya tiga tahun tinggal di New York, Amerika Serikat.
Jalan Kaki di Manhattan
Selama tiga tahun di Manhattan, salah satu kebiasaan yang saya bangun adalah kebiasaan berjalan kaki. Tinggal di Manhattan memanjakan saya dengan luasnya trotoar bagi pejalan kaki dan mudahnya akses ke transportasi umum.
Hampir setiap pagi, karena jarak yang tidak terlalu jauh, saya berjalan kaki selama 20 menit dari tempat tinggal ke kantor. Selama perjalanan tersebut, saya sudah punya playlist khusus untuk menemani saya ke kantor. Ada delapan lagu yang bisa saya dengarkan jika saya tidak terhambat banyak lampu merah. Namun jika waktunya tidak pas dan membuat saya harus menunggu lampu hijau, bisa sampai sepuluh lagu saya dengarkan.
ADVERTISEMENT
Dalam cuaca apapun, saya berjalan kaki. Bagi saya, yang paling menyenangkan adalah berjalan kaki di musim panas dan musim semi. Pakaian tidak perlu tebal, banyak pemandangan di sekeliling kita yang memanjakan mata.
Di musim dingin, berjalan kaki bisa sangat berbahaya. Salju yang lama tidak dibersihkan dapat menjadi permukaan es yang licin. Jika tidak berhati-hati, berjalan kaki di musim ini bisa fatal akibatnya.
Bagi saya, berjalan kaki di New York adalah kesempatan yang berharga untuk melihat interaksi orang lain, ngobrol dengan teman, bahkan introspeksi diri. Seringkali saya menggunakan kesempatan berjalan kaki ini untuk mengenal orang-orang baru secara lebih personal.
Karenanya, ketika dunia pekerjaan menuntut saya untuk berpindah kembali ke Jakarta, saya merasa kuatir. Kekuatiran ini sempat terlupakan karena saya terkubur di dalam proses kepindahan, dari dokumen perjalanan sampai kontainer barang. Namun setelah dua minggu tiba di Jakarta, reality bites, and it bites really hard.
ADVERTISEMENT
Macet di Jakarta
Sebelum pindah ke New York, saya sudah membiasakan diri dengan macet, bahkan sampai pada level bisa ‘menikmati’ macet. Browsing internet, mendengarkan musik, atau tidur adalah kegiatan yang saya lakukan sambil menunggu macet. Saya merasa saya bisa menerima Jakarta apa adanya. Macetnya, semrawutnya, kotornya. You must hate Jakarta first to love it.
Namun sebelum kembali ke Jakarta, rasa gugup tidak bisa begitu saja saya hilangkan. Saya takut saya tidak bisa menyesuaikan diri. Saya bahkan merasa kalau saya tidak rindu keluarga, saya mungkin tidak akan pulang ke Jakarta.
Benar saja. Setelah kembali ke Jakarta, saya merasa kagok. Dalam waktu tiga tahun, meskipun ada perbaikan fasilitas umum di sana-sini, saya tetap merasa sulit. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain tidak lagi sederhana. Pergi ke luar rumah membutuhkan perencanaan yang matang. Salah perhitungan waktu bisa mengakibatkan kita ‘tua di jalan’. Kebiasaan berjalan kaki pun luruh dengan sendirinya.
ADVERTISEMENT
Sempat saya coba berjalan kaki, meskipun tidak mungkin juga dari rumah ke kantor karena jarak yang jauh. Tapi sebagian besar trotoar di Jakarta tidak nyaman. Tidak luas, dipenuhi pedagang kaki lima, dan seringkali dilewati motor. Jakarta seperti tidak memberikan ruang sama sekali untuk pejalan kaki.
Saya pun akhirnya memutuskan sudah saatnya saya mengganti kebiasaan. Saya harus menggunakan kendaraan umum. KRL menjadi pilihan pertama saya karena cepat dan murah, meski tidak nyaman. Saya jadi punya kebiasaan baru sekarang, yaitu melupakan ruang pribadi saya ketika di KRL.
Satu kebiasaan baru yang saya pelihara juga adalah kebiasaan menggunakan aplikasi jasa transportasi online, seperti Go-JEK, GRAB, atau Uber. Dari menjadi orang yang sangat segan naik motor karena panas dan berdebu berubah menjadi orang yang bisa dibonceng di belakang dengan nyaman sambil memakai rok dan shower cap di balik helm. Dari menjadi orang yang menggunakan mobil untuk ke pusat perbelanjaan berubah menjadi orang yang memilih naik motor karena malas terjebak macet.
ADVERTISEMENT
Humans are creatures of habit
Kebiasaan-kebiasaan baru ini tidak mudah saya bangun dan butuh proses. Apalagi saya dituntut harus membangun kebiasaan-kebiasaan ini. It is out of necessity rather than choice.
Setelah satu setengah tahun berada di Jakarta, saya sudah mulai menikmati kembali kota ini. Meski harus bangun lebih pagi untuk berangkat kerja, meski harus berganti beberapa moda transportasi sebelum tiba di rumah.
Bagi sebagian orang, kesulitan perpindahan ini terlihat ‘angkuh’. “Kayak gak pernah tinggal di Indonesia aja…”, kata teman-teman saya. Anggapan ini membuat saya memendam perasaaan tidak nyaman ini. Namun setelah beberapa waktu, saya sadari, ketidaknyamanan ini real karena perubahan itu real.
Salah satu, jika tidak satu-satunya, cara untuk melewati perubahan ini adalah membangun kebiasaan-kebiasaan baru. Awalnya pasti tidak mudah. Namun karena manusia pada dasarnya adalah makhluk kebiasaan, lama-lama kebiasaan yang kita bangun akan menjadi bagian dari diri kita. It becomes our defense mechanism to cope in any kind of situation.
ADVERTISEMENT
Ini bukan masalah #firstworldproblem vs #thirdworldproblem. Setiap manusia mengalami perubahan, suka atau tidak suka. Tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali menerima dan mencoba menyesuaikan diri.