Revolusi Industri dan Indonesia 4.0

Nona Gae Luna
Diplomat Indonesia Saat ini sedang bertugas di Roma
Konten dari Pengguna
8 April 2018 19:41 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nona Gae Luna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dimulai pada abad ke-18, Revolusi Industri Pertama ditandai oleh mekanisasi produksi melalui tenaga uap dan lahirnya kelas proletariat. Revolusi Industri kedua kemudian bergulir pada akhir abad 19 dengan adanya otomisasi produksi massal.
ADVERTISEMENT
Teknologi pun semakin maju dan memunculkan Revolusi Industri ketiga pada 1950-an yang ditandai dengan perkembangan sistem digital dan teknologi informasi.
Foto: Wikimedia Commons
Revolusi Industri Keempat pertama kali dicetuskan oleh Profesor Klaus Schwab, seorang ekonom Jerman yang juga pendiri World Economic Forum (WEF). Menurutnya, Revolusi Industri 4.0 secara fundamental berbeda dengan revolusi industri edisi sebelumnya.
Revolusi Industri Keempat membuat batas antara dunia digital, fisik, dan biologis semakin tipis, bahkan hilang. Kecerdasan buatan, teknologi robot, big data dan internet of things membuat semua elemen dalam kehidupan manusia terhubung dengan mudah. Beberapa pendapat bahkan sampai jauh berdebat mengenai arti keberadaan manusia di dunia ini yang semakin gampang tergantikan oleh teknologi.
ADVERTISEMENT
Profesor Klaus lebih lanjut mengatakan Revolusi Industri 4.0 dapat berdampak buruk bagi pemerintah yang gagap dan tidak bisa memanfaatkan perkembangan teknologi yang cepat. Kemajuan teknologi memungkinkan tumbuhnya ancaman-ancaman keamanan yang melampaui batas-batas tradisional suatu negara. Adaptasi yang rendah juga akan memperdalam kesenjangan ekonomi antar masyarakat.
Ke depan, negara yang dapat memanfaatkan kemajuan teknologi dengan baik akan bisa menjadi kekuatan global. Namun sebaliknya, mereka yang tidak siap dan sibuk sendiri dengan urusan domestik takkan mampu bersaing.
Indonesia 4.0
Bagaimana kesiapan Indonesia saat ini dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0?
Menurut Global Competitiveness Report terbaru, sebuah laporan tahunan yang diterbitkan World Economic Forum, Indonesia saat ini berada di urutan ke-36 dari 137 ekonomi yang ada di dunia.
ADVERTISEMENT
Foto: weforum.org
Indonesia naik 5 (lima) peringkat dari tahun lalu dan menunjukkan performa yang sangat baik, utamanya karena besarnya pasar yang dimiliki (urutan ke-9 di dunia) dan stabilitas makroekonomi yang baik.
Indonesia juga duduk di peringkat cukup tinggi dari segi inovasi, yaitu peringkat ke-31 di dunia. Namun dari segi teknologi, kesiapan Indonesia dinilai masih rendah (ranking ke-80). Ranking efisiensi labor market yang dimiliki juga masih rendah (urutan ke-96) dikarenakan rendahnya fleksibilitas penentuan gaji dan masih terbatasnya keterwakilan perempuan dalam angkatan kerja.
Apa langkah yang telah diambil Pemerintah dalam menghadapi Revolusi Industri Keempat?
Terdapat 4 (empat) langkah strategis yang telah diidentifikasi oleh Menteri Perindustrian RI Airlangga Hartarto supaya Indonesia bisa siap menghadapi Revolusi Industri 4.0.
ADVERTISEMENT
Pertama, dari sisi sumber daya manusia (SDM), angkatan kerja Indonesia perlu meningkatkan keterampilannya dalam memahami penggunaan internet of things. Untuk itu, pendidikan vokasi perlu diarahkan supaya dapat link and match dengan kebutuhan industri di masa depan. Hal ini juga dibutuhkan untuk menyiapkan tenaga kerja terampil yang siap pakai di sektor industri dengan target mencapai satu juta orang pada 2019.
Kedua, pengembangan program e-smart industri kecil dan menengah (IKM). Melalui program tersebut, diharapkan penguasaan pemanfaatan teknologi digital dapat memacu produktivitas dan daya saing industri nasional.
Ketiga, pemerintah juga meminta industri nasional dapat menggalakkan penggunaan teknologi digital (Big Data, Autonomous Robots, Cybersecurity, Cloud dan Augmented Reality) yang pada akhirnya dapat menaikkan efisiensi dan mengurangi biaya sekitar 12-15%.
ADVERTISEMENT
Keempat, fasilitasi pembangunan tempat inkubasi bisnis yang dapat mendorong pengembangan startup di tingkat nasional. Upaya Pemerintah ini terlihat melalui pembangunan beberapa technoparks seperti di Bandung (Bandung Techno Park), Denpasar (TohpaTI Center), Semarang (Incubator Business Center Semarang), Makassar (Makassar Techno Park) dan Batam (Pusat Desain Ponsel). Tidak hanya pemerintah, institusi pendidikan maupun kalangan swasta juga telah turut membangun fasilitas technoparks di beberapa wilayah Indonesia.
Selain itu, Presiden RI Joko Widodo juga telah secara resmi meluncurkan peta jalan “Making Indonesia 4.0” pada tanggal 4 April lalu di sela-sela Indonesia Industrial Summit 2018. Peta jalan tersebut digagas oleh Kementerian Perindustrian yang pada intinya ditujukan untuk mengupayakan revitalisasi industri nasional secara komprehensif.
Infografis: kominfo.go.id
ADVERTISEMENT
Dalam peta jalan tersebut, terdapat 5 (lima) sektor industri manufaktur yang akan menjadi percontohan untuk memperkuat fondasi struktur industri tanah air, yaitu industri makanan dan minuman, industri kimia, industri tekstil dan pakaian jadi, industri otomotif, dan industri elektronika.
Presiden Jokowi menuturkan bahwa kelima industri tersebut merupakan tulang punggung industri nasional yang diharapkan dapat membawa efek ungkit yang besar dalam hal daya saing. Kelima industri tersebut juga diharapkan dapat berkontribusi bagi perekonomian nasional dengan menciptakan 10 juta lapangan kerja baru dan menjadikan Indonesia dalam 10 besar ekonomi dunia di 2030.
Tidak lupa diharapkan peta jalan ini dapat memastikan pertumbuhan secara inklusif yang melibatkan seluruh lapisan ekonomi masyarakat, tidak hanya perusahaan besar melainkan juga usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
ADVERTISEMENT
Ancaman vs Kesempatan
Sebagaimana mata uang, guliran Revolusi Teknologi 4.0 ini memiliki dua sisi. Kita dapat melihatnya sebagai ancaman atau kesempatan. Langkah-langkah di atas menunjukkan sikap pemerintah yang memilih untuk optimis dan memandang Revolusi Industri 4.0 sebagai suatu peluang yang menjanjikan.
Kebijakan-kebijakan yang antisipatif dan adaptif di atas sudah lahir. Namun tanpa implementasi yang bersifat integratif oleh semua pemangku kepentingan, kebijakan tersebut tidak akan menghasilkan apa-apa. Sustainability juga perlu dipastikan agar kebijakan yang lahir tidak sekadar menjadi alat atau jargon, namun dapat menjadi legacy yang dapat terus dibangun meski terdapat pergantian rezim.
Kebijakan-kebijakan yang inovatif juga perlu tumbuh di tengah-tengah enabling environment yang suportif, bukan dinamika politik domestik yang carut-marut. Situasi politik yang tidak kondusif hanya akan membuat negara ini semakin rentan dan tidak dapat bersaing di kawasan sendiri.
ADVERTISEMENT
***