Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kematian Jurnalis dan Pembungkaman yang Bersuara
12 Juli 2024 17:55 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Noor Fatimah Albirkah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hampir genap 9 bulan, penderitaan warga Palestina belum juga usai. Telah banyak korban berjatuhan, gedung-gedung yang dihancurkan, sekolah dan rumah sakit yang sudah tak berbentuk, dan jutaan orang yang terusir dari rumahnya.
ADVERTISEMENT
Seakan tak cukup, Israel juga menargetkan camp-camp pengungsian sebagai titik penyerangan. Rafah yang notabene diklaim sebagai zona aman untuk mengungsi bagi warga Palestina, kini sudah hancur lebur.
Dikutip dari Republika, PBB menyatakan pada 26 Mei bahwa setidaknya 45 orang meninggal dunia dan 200 orang terluka atas penyerangan Israel ke Rafah. Sebanyak satu juta orang juga telah meninggalkan Rafah sejak penyerangan pada 6 Mei.
Agresivitas Israel tak hanya ditujukan pada warga sipil Palestina, tetapi juga pada wartawan dan tenaga medis. Lebih dari 350 tenaga medis yang tewas di jalur Gaza sejak 7 Oktober pada pemberitaan Antara, Selasa (23/4/2024).
Begitupun jurnalis yang meliput kondisi di Jalur Gaza tak luput dari dampak penyerangan Israel. Laporan terbaru pada Rabu (3/7/2024) oleh TRT World dinyatakan sebanyak 153 jurnalis telah tewas terbunuh oleh penyerangan yang dilakukan Israel.
ADVERTISEMENT
CPJ (Komite Perlindungan Jurnalis) merilis jumlah wartawan terbunuh sepanjang tahun 2023. Sebanyak 77 dari 99 jurnalis tewas dalam penyerangan Israel ke Jalur Gaza. Dengan 75 persen adalah jurnalis lokal asal Palestina.
Al Jazeera menyebutkan angka tersebut menjadi yang tertinggi sejak 2015 dengan kenaikan persentase hampir sejumlah 44 persen. Presiden CPJ mengatakan bahwa ancaman terhadap jurnalis sebesar ini belum pernah terjadi sebelumnya pada perang yang lain.
Tingginya angka jurnalis yang terbunuh menimbulkan kecurigaan atas kesengajaan Israel menargetkan wartawan sebagai sasaran penyerangan. Walaupun dalam banyak kasus, pemerintah Israel selalu menyatakan ketidaksengajaan atas terbunuhnya jurnalis yang tengah meliput di medan konflik.
Contohnya adalah pada kasus terbunuhnya jurnalis veteran Al Jazeera, Shireen Abu Akleh yang tertembak di kepala pada saat bertugas di kamp pengungsi Jenin, wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel pada 11 Mei 2022.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu Abu Akleh dengan jelas mengenakan helm dan rompi anti peluru dengan identitas pers yang terpampang nyata. Tetapi sebuah peluru tetap berhasil menembus kepalanya pada saat itu.
Naser Abubaker, Presiden Sindikasi Jurnalis Palestina, dikutip dari VOA Indonesia mengatakan selama 6 bulan tidak ada pernyataan resmi dan pertanggungjawaban dari Pemerintah Israel.
Baru pada September 2022, Pemerintah Israel buka suara terhadap kematian Abu Akleh. Mereka mengklaim bahwa tentaranya salah sasaran dalam menembak jurnalis yang disangka seorang militan.
Upaya pembungkaman tak hanya terjadi kepada jurnalis, tetapi kantor berita Al jazeera juga menjadi sasaran pembredelan Israel. Kementerian Komunikasi Israel menyatakan pada Minggu (5/5/2024) bahwa kantor Al Jazeera di Yerusalem telah ditutup dan pihak Israel telah menyita peralatan komunikasi Al Jazeera.
ADVERTISEMENT
PBB pun mengecam tindakan Israel atas pembredelan tersebut. Juru bicara Stephane Dujarric menyatakan PBB menentang penyimpangan apapun terhadap prinsip kebebasan pers, dikutip dari Antara (6/5/2024).
Lantas, apa tindakan Pengadilan Internasional atas pelanggaran HAM terhadap jurnalis yang tewas dalam penyerangan Israel di jalur Gaza?
Atas kematian yang tidak proporsional di mana jurnalis yang tewas di zona perang lebih tinggi dibanding zona damai, Christophe Deloire selaku Sekretaris Jenderal Reporters Without Borders (RSF) menyatakan pihaknya telah mengajukan pengaduan kepada Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) untuk menyelidiki kasus ini.
“Kami telah mengajukan pengaduan ke Mahkamah Kriminal Internasional untuk mengetahui fakta dan sejauh mana jurnalis secara sengaja menjadi sasaran,” ungkapnya dikutip dari Kompas.id.
Dilansir dari Anadolu Turki, Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), Tim Dawson juga menyatakan telah mengajukan pengaduan mengenai kematian jurnalis di tangan tentara Israel (IDF) kepada Mahkamah Kriminal Internasional (ICC).
ADVERTISEMENT
Dawson juga meminta ICC untuk mempercepat proses penyelidikan terhadap aduan kasus pembunuhan jurnalis tersebut. Karena Dawson melihat kemungkinan bahwa Israel melakukan segala cara untuk melakukan pembungkaman terhadap jurnalis.
Sebagai respon dari pengajuan tersebut, Dawson juga menyatakan bahwa kepala Jaksa ICC, Karim Khan, telah meyakinkan para pimpinan Sindikat Jurnalis Palestina di Tepi Barat bahwa penyelidikan sedang dilakukan.
Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) juga tak kalah menyuarakan kecaman dan mengutuk pembunuhan terhadap jurnalis di Palestina. Dilansir dari Bandung Bergerak (6/11/2023), AJI turut serta bersama enam organisasi jurnalis di Asia Tenggara menandatangani pernyataan bersama atas pembunuhan jurnalis dan warga sipil di Palestina.
Pernyataan tersebut berisi kecaman dan pernyataan mengutuk pembunuhan di tengah operasi militer Israel dan Hamas di Palestina terhadap jurnalis dan warga sipil. Organisasi jurnalis memandang bahwa banyaknya korban jiwa yang jatuh merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia secara mendasar dan kemanusiaan internasional, juga pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Bandung Bergerak, Koordinator Divisi Advokasi dan Ketenagakerjaan AJI Bandung, Ahmad Fauzan mengatakan AJI mengutuk pembunuhan terhadap warga sipil dan jurnalis.
Fauzan juga mengatakan angka-angka jurnalis yang terbunuh bukanlah angka yang sedikit. Hal tersebut menunjukkan adanya kesengajaan tentara Israel untuk membunuh para wartawan di Gaza. Bagi AJI, motif dan perbuatan tersebut merupakan kejahatan perang.
Hal ini sejalan dengan pernyataan dosen Jurnalistik Universitas Padjadjaran, Achmad Abdul Basith. “Memang harus dibuktikan dengan data. Tapi banyaknya jumlah korban menurut saya tidak mungkin itu (adalah) ketidaksengajaan. Pasti itu menjadi bagian dari target, karena kalau melihat dari pola peperangan, tidak hanya Israel, mereka tidak hanya perang secara fisik, tetapi juga perang propaganda media.”
Israel seharusnya mulai menyadari bahwa penyelewengan dan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan mendasar yang diatur Hukum Humaniter Internasional tak selamanya bisa ditutupi dengan dalih ketidaksengajaan. Sudah banyak pihak yang mengecam dan tak ada lagi yang bisa dibodohi.
ADVERTISEMENT
Semua pihak yang masih memiliki hati nurani dan berpihak pada kemanusiaan mulai bangkit untuk menentang dan melawan. Impunitas Israel terhadap hukum internasional perlahan mulai bisa diluruhkan. Semoga perjuangan ini tak mudah pudar dan dapat berumur panjang.