Konten dari Pengguna

Mimpi yang Terhenti di Tengah Jalan

Noor Fatimah Albirkah
Mahasiswa universitas Padjadjaran
12 Desember 2024 16:28 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Noor Fatimah Albirkah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Aku tidak ingin menyerah, tapi kampus bukan lagi mimpi, hanya ilusi.” Kalimat ini menggambarkan perasaan getir seorang calon mahasiswa yang harus melepas statusnya sebelum perjalanan akademiknya dimulai. Di balik gegap gempita janji Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-Kuliah) sebagai jembatan menuju pendidikan tinggi, ada realita yang berbeda. Banyak mahasiswa terpaksa mundur karena ketidakpastian dana dan ruwetnya birokrasi. Apakah ini kegagalan sebuah janji atau sekadar harapan kosong?
Foto Kartu Indonesia Pintar (foto oleh Noor Fatimah Albirkah)
zoom-in-whitePerbesar
Foto Kartu Indonesia Pintar (foto oleh Noor Fatimah Albirkah)

Jembatan Impian yang Penuh Lubang

ADVERTISEMENT
Di atas panggung pendidikan tinggi, Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-Kuliah) berdiri sebagai salah satu program unggulan pemerintah. Ia dijanjikan sebagai jembatan yang kokoh, menghubungkan anak-anak muda dari keluarga kurang mampu dengan impian akademik mereka. Dengan KIP-Kuliah, pemerintah ingin menegaskan komitmennya: tidak ada yang tertinggal, semua punya hak untuk bermimpi setinggi langit.
KIP-Kuliah digadang-gadang mampu menghapus sekat sosial dan ekonomi yang kerap menghalangi jalan anak-anak berbakat menuju perguruan tinggi. Melalui bantuan biaya kuliah dan tunjangan hidup, program ini didesain untuk memberikan kesempatan yang setara bagi semua orang. Dalam teori, KIP-Kuliah adalah jawaban atas ketimpangan akses pendidikan tinggi di Indonesia—sebuah solusi yang menjanjikan untuk mewujudkan masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Namun, seperti jembatan yang penuh lubang, jalan menuju mimpi itu seringkali tak sesederhana yang dibayangkan. Di balik klaim muluk-muluknya, realitas di lapangan menunjukkan sisi lain dari program ini: proses yang berliku, birokrasi yang rumit, serta bantuan yang seringkali tidak tepat sasaran. Anak-anak muda yang menggantungkan harapan pada KIP-Kuliah seringkali menemukan diri mereka tersandung oleh ketidakpastian dan sistem yang kurang berpihak.
Di sinilah cerita Azwa, mantan mahasiswa UPI, mengemuka. Sebuah kisah yang mencerminkan paradoks di balik janji mulia KIP-Kuliah. Kisah yang membawa kita untuk melihat lebih dekat—apakah program ini benar-benar menjadi jembatan yang kokoh, atau sekadar janji yang penuh ilusi?

Program Mulia yang Tertatih

KIP-Kuliah dirancang untuk membantu mahasiswa dari keluarga tidak mampu agar dapat melanjutkan pendidikan tinggi. Program ini menanggung biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan memberikan biaya hidup. Namun, kenyataannya, hanya sebagian kecil mahasiswa yang benar-benar mendapatkan manfaat penuh dari program ini.
ADVERTISEMENT
Prosesnya tidak sederhana. Mahasiswa harus mendaftar melalui portal resmi, menyerahkan dokumen seperti foto keluarga, laporan pendapatan orang tua, hingga luas lahan rumah. Data ini kemudian diverifikasi oleh kementerian, bukan universitas.
“Tahapannya mengikuti, prosedur yang telah ditetapkan dari pihak kementerian tidak menambah tidak berkurang. Kami menjaring menyeleksi sesuai dengan ketentuan dan kami menyampaikan pihak kementerian. Hal ini yang memutuskan itu sejatinya bukan kami, tapi pihak kementerian. Ujungnya kami monitoring dan mengevaluasi,” jelasnya Prayoga Direktur Kemahasiswaan UPI.
Seperti yang diungkapkan Direktur Kemahasiswaan UPI, Prayoga, pihak universitas hanya berfungsi sebagai fasilitator untuk memonitor dan mengevaluasi data yang telah dikirimkan ke kementerian.
Namun, pada praktiknya, banyak mahasiswa yang merasa tersisih karena proses ini. Raihan dari BEM REMA UPI mengungkapkan bahwa tidak sedikit mahasiswa yang memenuhi kriteria ekonomi malah ditolak, sementara mahasiswa yang secara ekonomi dianggap mampu justru lolos.
ADVERTISEMENT

Lemahnya Pendampingan

Saat mahasiswa menghadapi kesulitan finansial, universitas dan lembaga advokasi kampus seperti BEM REMA UPI dan BEM Sekolah Vokasi IPB hadir untuk membantu. Langkah-langkah seperti penurunan UKT atau pencicilan biaya kuliah memang tersedia, tetapi tidak semua mahasiswa tahu bagaimana mengaksesnya. Selain itu, upaya untuk menutupi celah bantuan finansial, seperti rencana Beasiswa UPI Charity, masih berada pada tahap wacana tanpa realisasi konkret.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa yang tidak memenuhi syarat KIP-Kuliah diharapkan dapat memanfaatkan beasiswa alternatif. Beasiswa seperti Cendekia Baznas, Bayan Peduli, dan Ikatan Alumni menjadi pilihan. Namun, jumlahnya terbatas dan tidak selalu mampu memenuhi kebutuhan mahasiswa yang terus meningkat.

Mimpi yang Tak Sampai

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa hanya 10% penduduk Indonesia yang menyelesaikan pendidikan tinggi. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah juga menyebutkan bahwa hanya 27% penduduk yang mendapat akses pendidikan tinggi. Padahal, hak atas pendidikan tinggi sudah dijamin oleh Pasal 26 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 31 UUD 1945.
Azwa adalah salah satu dari mereka yang mimpi akademiknya terhenti. Proses birokrasi yang lambat, kurangnya pendampingan, dan ketidakjelasan sistem menjadikannya tenggelam dalam harapan yang pupus. Kisah Azwa adalah simbol bagaimana sebuah sistem yang dijanjikan untuk mendukung malah berakhir mengecewakan.
ADVERTISEMENT

Azwa: Mimpi yang Terhenti Sebelum Terbang

Azwa, mantan mahasiswa yang tertolak KIP-K (foto oleh Riana Nur Amalia)
Azwa, seorang remaja dengan mimpi besar, pernah merasa begitu dekat dengan impiannya menjadi mahasiswa. Ia adalah salah satu siswa berprestasi yang berhasil lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) dan diterima di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Kebahagiaan Azwa membuncah saat itu; ia percaya, kesempatan ini adalah gerbang untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Namun, perjalanan Azwa menuju dunia perkuliahan tak semulus yang dibayangkannya. Saat proses pendaftaran, ia diminta melengkapi berbagai dokumen administrasi, termasuk slip gaji ayahnya. Pada saat itu, ayah Azwa masih mampu memberikan dukungan finansial. Dengan rasa optimis, Azwa memasukkan dokumen yang diminta, tanpa menyangka bahwa dokumen itulah yang kelak menjadi penghalang mimpinya.
ADVERTISEMENT
Ketika penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) diumumkan, Azwa terkejut. Jumlahnya jauh di atas kemampuan keluarganya yang sebenarnya. Dalam waktu yang hampir bersamaan, situasi ekonomi keluarganya berubah drastis. Ayah Azwa mendadak kehilangan sumber penghasilannya, membuat kondisi keuangan keluarga semakin terpuruk.
Dalam kondisi penuh kecemasan, Azwa mencoba mencari solusi. Ia mengajukan banding untuk mendapatkan keringanan UKT kepada pihak UPI. Dengan penuh harap, ia menyampaikan perubahan kondisi ekonomi keluarganya, berharap ada pemahaman dari pihak universitas. Namun, permohonannya ditolak. Alih-alih mendapatkan keringanan, Azwa hanya diberikan opsi mencicil pembayaran UKT—pilihan yang tetap terasa berat bagi keluarganya yang kini kesulitan.
Akhirnya, Azwa menghadapi kenyataan pahit. Tanpa dukungan finansial dan tanpa solusi yang memadai, ia terpaksa menyerah. Keputusan itu sangat menyakitkan baginya; mimpi untuk menempuh pendidikan tinggi yang telah diraih dengan perjuangan besar kini terpaksa dilepaskan.
ADVERTISEMENT
Hari-hari Azwa sekarang dihabiskan di rumah. Ia membantu pekerjaan rumah tangga sembari merenungi masa depan yang dulu terasa begitu cerah. Azwa adalah salah satu dari banyak anak muda di Indonesia yang potensinya terhenti karena sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada mereka yang membutuhkan.
Cerita Azwa bukan hanya tentang kegagalan individu, tetapi juga potret sistem pendidikan tinggi yang masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Di mana harapan itu seharusnya menjadi jembatan, ia justru menjadi ilusi yang menyakitkan. Azwa kini menjadi simbol dari mimpi-mimpi yang terputus, menunggu uluran tangan yang mampu mengembalikannya ke jalur yang seharusnya.

Harapan yang Masih Ada

KIP-Kuliah, sebagai bagian dari amanah konstitusi, harus direvisi secara menyeluruh. Pemerintah perlu mengevaluasi proses sosialisasi, verifikasi, dan validasi program ini. Pihak universitas juga harus meningkatkan kejelasan dan transparansi dalam penyeleksian mahasiswa penerima.
ADVERTISEMENT
Selain itu, harus ada upaya serius untuk memastikan bahwa beasiswa ini tepat sasaran. Penyalahgunaan dana KIP-Kuliah yang sering terjadi hanya memperdalam kecemburuan sosial dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap program ini.
Pendidikan tinggi adalah hak, bukan sekadar kemewahan. Prinsip “tak satupun boleh tertinggal” harus menjadi kenyataan, bukan sekadar slogan. Dengan langkah perbaikan sistem yang nyata, mimpi anak-anak bangsa seperti Azwa tidak akan lagi menjadi ilusi. Pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat harus bahu-membahu menciptakan perubahan agar peluang pendidikan tinggi benar-benar terbuka untuk semua.
Azwa hanyalah satu cerita di antara banyak kisah lainnya. Saat ini, masih ada ribuan mimpi yang menunggu untuk diwujudkan. Kini, waktunya semua pihak bergerak, agar tak ada lagi yang menyerah sebelum sempat mencoba.
ADVERTISEMENT
Credit title:
Debora Christiani Dohona
Restri Bunga Fadhilah
Noor Fatimah Albirkah
Riana Nur Amalia