Jalur Rempah menuju Warisan Dunia: Mencatat Kejayaaan, Meniadakan Sejarah Kelam?

Nouvna Nore Susimah
Seorang freshgraduate dari Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia. Dengan minat khusus pada sejarah dan kebudayaan, ia telah terjun dalam kegiatan aktivisme sejak SMA. Saat ini tergabung dalam tim misi Diplomasi Budaya Jalur Rempah.
Konten dari Pengguna
15 Januari 2024 8:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nouvna Nore Susimah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perjalanan mencari rempah oleh VOC dalam Lukisan 'The Return to Amsterdam of the Second Expedition to the East Indies, Hendrik Cornelisz Vroom (1566-1640) di Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda.
zoom-in-whitePerbesar
Perjalanan mencari rempah oleh VOC dalam Lukisan 'The Return to Amsterdam of the Second Expedition to the East Indies, Hendrik Cornelisz Vroom (1566-1640) di Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pencatatan Jalur Rempah sebagai Warisan Dunia dihadapkan dengan tantangan nyata. Ketiadaan bukti peninggalan berwujud (tangible) dari era pra-kolonial menghadapkan proses pencatatan ini pada jalan buntu. Salah satu sumber menyebutkan bahwa bukti fisik berwujud yang berhasil teridentifikasi hingga saat ini hanyalah peninggalan Jalur Rempah era kolonial.
ADVERTISEMENT
Tentu kita semua bisa menebaknya; Belanda. Mantan negara penjajah Indonesia ini memiliki segudang bukti nyata kejayaan rempah Nusantara pada masanya. Namun, hal ini tentu menjadi polemik tersendiri. Pencatatan Jalur Rempah ke UNESCO dianggap harus menghindari narasi-narasi kolonial sejauh mungkin.
Di sisi lain, peninggalan-peninggalan era pra-kolonial sangatlah sulit untuk ditemukan. Hal ini tentunya berkaitan dengan sangat tuanya umur dari Jalur Rempah. Oleh sebab itu, berbagai objek yang diduga sebagai peninggalan Jalur Rempah tentunya telah mengalami banyak perubahan, baik karena faktor alam ataupun manusia.
Namun, sejatinya hal itu tidak mengubah nilai penting dari Jalur Rempah itu sendiri, termasuk nilai-nilai non-bendawi (intangible) yang dapat dengan mudah ditemukan di berbagai wilayah di sepanjang perlintasan Jalur Rempah.
ADVERTISEMENT
Budaya penggunaan rempah dalam berbagai aspek keseharian seperti masakan hingga ritual keagamaan, hingga metafora kehangatan yang diberikan oleh rempah itu sendirilah yang menghiasi kehidupan. Membuat nilai rempah dan jalurnya tetap dan terus berharga.
Desember tahun 2023 lalu, Yayasan Negeri Rempah mengirimkan tim delegasi untuk melakukan misi Diplomasi Budaya Jalur Rempah. Beberapa kali orang-orang yang mukanya terlihat sangat bule menyapa dengan hangat, di antaranya ketika berpapasan dengan seorang ibu dan anak laki-lakinya yang mungkin berumur belasan tahun.
Tidak disangka sapaan hangat dilemparkan oleh perawakan yang begitu bule secara spontan di tengah kerumunan orang-orang yang sibuk berlalu lalang. Menurutmu, apa yang menyebabkan kehangatan itu bisa sampai muncul ke permukaan? Ya, benar. Rempah.
ADVERTISEMENT
Inilah yang dimaksud dengan metafora atas kehangatan dari rempah itu sendiri. Mewarnai kehidupan di berbagai tempat, terkhusus di Negeri Kincir Angin. Sangat jelas terasa. Cerita lain lagi misalnya ketika sedang makan di Toko Restu, salah satu warung makan Indonesia di Amsterdam.
Perempuan berusia 46 tahun itu berwajah bule totok. Sangat mengejutkan ketika mendengarnya dengan antusias memesan rendang dan tempe di warung makan Indonesia. Perbincangan dengan sangat mudah terbuka.
Percakapan berlanjut dan mengalir begitu saja. Dafna namanya. Walaupun sudah generasi ketiga dan wajahnya sangat bule, ternyata ia masih cukup sering mengonsumsi makanan Indonesia. Ibunyalah yang masih rajin memasakannya makanan Indonesia. Dafna juga bercerita perihal keikutsertaannya dalam pencak silat dan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan kebudayaan Indonesia. Masih banyak lagi cerita-cerita kehangatan rempah di Belanda.
ADVERTISEMENT
Semua cerita manis ini rasanya terlalu sayang untuk ditiadakan dari pencatatan narasi besar Jalur Rempah ke UNESCO. Nyatanya, sejarah kelam itu tidak selamanya berarti hitam. Bukankah pencatatan suatu situs di UNESCO berarti mengakuinya sebagai sebuah hal yang patut dijaga karena nilai universal luar biasa (OUV) yang dimiliki? Bukankah nilai luar biasa itu justru harusnya menjadi suatu pengingat untuk kelak kehidupan di masa yang akan datang?
Pencatatan Jalur Rempah ke UNESCO sudah seharusnya menjadi momentum pembentukan kembali visi masa depan. Apakah memiliki unsur kolonialisme lantas menjadi alasan gagalnya Jalur Rempah sebagai wujud pengingat untuk dunia? Bukankan sejarah ada bukan hanya sekadar untuk dikenang, tapi justru utamanya sebagai guru kehidupan? Seperti itulah Jalur Rempah. Nilainya begitu universal, salah satunya perihal kolonialisme. Sepatutnya menjadi pengingat manusia bahwa tidak ada lagi ruang untuk penjajahan di muka bumi ini. Kurang universal apa lagi?
ADVERTISEMENT
Mengakui Jalur Rempah sebagai warisan bersama (common heritage) berarti termasuk mengakui bahwa jangan sampai ada 'Banda' lainnya. Mengakui bahwa adalah suatu kesalahan apabila kita membiarkan masih adanya kekerasan terjadi di muka bumi. Jalur Rempah, justru sejatinya pemegang nilai luar biasa itu sendiri.
Sebagai katalisator peradaban dunia, ia tidak hanya berisikan cerita manis kejayaan masa lampau. Namun, jauh lebih dari pada itu. Jalur Rempah merupakan rujukan pembelajaran kehidupan untuk masyarakat dunia. Inilah hikmah (kebijaksanaan) luar biasa yang dimiliki Jalur Rempah.