Pasif-Agresif Sebelum Ghosting

Novrianty Chaerani L
Cat person yang hampir menginjak umur 24. Profesi saya sekarang menjadi guru Bahasa Inggris dan pekerja lepas menjadi content witer. Lebih condong menulis tentang politik. Berkuliah di Undiknas.
Konten dari Pengguna
26 Maret 2021 18:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Novrianty Chaerani L tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ghosting | Foto: Mela Nurhidayati/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ghosting | Foto: Mela Nurhidayati/kumparan.
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang ghosting, mari aku tarik ke pengalaman pribadiku. Sedari kecil, orang tua saya selalu mengajarkan untuk coba terus berbicara terus terang jika ada masalah di dalam keluarga maupun dengan teman. Bahkan saat saya harus mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah, saya harus berani bertanggung jawab dengan keputusan yang telah melewati proses berpikir logis.
ADVERTISEMENT
Saya sempat tertarik tentang bagaimana teman saya tidak berani untuk berkata iya atau tidak tanpa ghosting. Sungguh hal ini membuat saya berpikir “apa memang tidak sungkan itu sudah mendarah daging?”
Passive Aggressiveness adalah sikap manusia yang kurang mengekspresikan ketidaksukaan secara tidak jelas dengan sindir halus, keras kepala, melakukan kegagalan yang tidak konsekuen akan perbuatan yang telah dijanjikan. Karena perilaku pasif agresif tidak langsung dapat dipahami, seringkali sulit untuk dikenali. Justru penting mengidentifikasi ini penting, bagaimanapun, untuk menghindari beberapa konsekuensi.
Passive Aggressiveness bukan fenomena modern atau baru-baru saja terjadi. Passive Aggressiveness ini tale as old as time Perang Dunia 2 berjalan. Terutama di saat pandemi, akses untuk bertemu orang baru terbatas karena regulasi PSBB yang berlaku. Terbatasnya akses bertemu orang baru secara nyata membuat kita terpaksa membangun koneksi lewat internet, yang di mana mengganggu terjalinnya ikatan pertemanan seakan, seperti sentuhan kulit. Karena di saat kita terhubung lewat internet, secara sadar akan kehilangan jati diri sendiri bahkan masih banyak ketidakjujuran yang perlu dihadapi.
ADVERTISEMENT
Walaupun alasan ini untuk beberapa kasus bisa berbeda, ada alasan mendasar tentang teknologi mengembangkan pasif agresif. Dapat dibagi ke dalam 4 alasan :

1. Terbatasnya Audiensi

Ekspresi muka, nada bicara, mengangguk, dan penegasan dalam berbicara sangatlah penting untuk mendapatkan pembicaraan lebih bermakna dan timbulnya ikatan. Surat Elektronik (E-mail), social media post dan lainnya, masih kurang akan elemen dalam berkomunikasi untuk mendapatkan efektivitas berkomunikasi. Tanpa itu sendiri, akan susah menginterpretasi makna pembicaraan.
Terkadang saat melampiaskan kemarahan atau ketidaksukaan, cenderung tidak bisa berpikir objektif malah ketimbang berpikir subjektif. Akhirnya target kemarahan akan melebar karena potensial audiensi yang tidak terbatas. Bukan lagi menargetkan kemarahan ke satu orang, di sinilah alasan mengapa banyak sekali netizen di media sosial sering merasa tersindir walaupun tidak ditargetkan untuk dirinya, dan tidak banyak juga sampai berujung ke meja pengadilan karena terjerat UU ITE.
ADVERTISEMENT
Sifat pasif agresif bahkan bisa berpotensi buruk untuk melukai perasaan korban berkali-kali dengan menyebarkan foto aib dan post berlindung dibalik anonim.

2. Kekeliruan akan bebas beropini

Teknologi mewakili kita dalam memberi kritik suatu hal tanpa memihak satu pihak dan tanpa merasa bersalah. Terkadang kamu akan bertemu opini berantakan tanpa ada alur logika yang benar di forum diskusi online atau melakukan hal buruk atau menyakiti secara verbal dengan cara lebih diterima secara sosial merupakan tindakan paling mudah dilakukan dibandingkan bertemu.
Seberapa banyak opini dan kata-kata yang kita keluarkan, kita seakan tidak bertanggung jawab akan kata-kata bahkan tidak memikirkan konsekuensi dibalik keyboard. Menghilangkan ilusi kehendak bebas memungkinkan kita untuk fokus pada hal-hal penting, menilai risiko, melindungi orang tak bersalah bahkan mencegah kejahatan.
ADVERTISEMENT

3. Jebakan bersifat provokasi

Seperti sifat pasif agresif, yang selalu mempertahankan kontrol emosi dengan orang lain. Tetapi tidak berlaku saat berkomunikasi lewat media sosial, teknologi memberikan opsi wadah tepat yang disebut jebakan. Dengan menggugah komentar menyulut emosi, bahkan memicu diskusi berujung provokasi atau sekadar debat kusir.
Orang dengan sifat seperti ini tidak akan memikirkan bagaimana perasaan orang yang terluka karena kata-katanya. Bahkan melakukan secara sadar bahwa melukai orang lain lewat komentar jahat sebenarnya sudah tercela, karena apa yang kita lakukan setelah perencanaan sadar cenderung untuk sepenuhnya mencerminkan sifat seutuhnya yang berasal yang proses berpikir, keyakinan, keinginan, dan tujuan prasangka kita.
Penulis akan mengambil contoh, kamu kesal akan suatu hal fatal yang tidak bisa kamu toleransi dengan temanmu. Kamu berembuk, mencari artikel atau menonton Youtube membahas tentang masalahmu, dan berdebat dengan teman-teman selama seminggu. Kamu masih memutuskan memberi tahu keburukan salah satu teman yang fatal (atau bisa dibilang spill the tea with thread), maka memberi tahu keburukan mencerminkan jenis orang seperti apa Anda sebenarnya. Intinya apapun alasan, kamu memiliki pikiran membutuhkan pengakuan bahwa kamu butuh dibela oleh banyak audiensi.
ADVERTISEMENT
Akhir kata aku berpikir, sehabis lelah bekerja, mencari hiburan lewat media sosial adalah pilihan lain mencari kebahagiaan. Tetapi dari semua manfaat, ada kalanya menarik diri sebelum jatuh ke lubang yang dapat meninggalkan rasa sedih, marah dan kebingungan. Menjaga kewarasan berpikir dalam bermedia sosial agar tidak mudah tersinggung sesungguhnya bisa dilatih, dengan cara mengetahui seperti apa sikap pasif agresif, walaupun butuh keberanian untuk belajar dan pemahaman lebih.