Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Teroris dan Internet
11 Mei 2021 10:41 WIB
Tulisan dari Novrianty Chaerani L tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah satu pengalaman masa kecil yang bagi saya paling menarik adalah memutar video masa kecil sedang bermain tembak-menembak. Membuatku paham berperan sebagai penembak jitu lebih bahagia daripada bermain boneka. Aku pikir mempunyai peran sebagai penembak jitu ternyata membuktikan seberapa kuat diriku mengandalkan sebuah alat.
Ada beberapa kawan gugur karena lupa mengingat rencana sampai saya mengatur strategi apik. Seseorang dari kami memanggil kawan untuk bergabung dengan kelompoknya. Mereka akan dipastikan mencapai satu tujuan dengan hasutan dan janji yang dibicarakan saat awal perjanjian. Peristiwa di atas sontak membuatku berpikir sejenak, "Apakah akses anak muda sekarang mudah untuk mengambil bagian sebagai penembak jitu? Apakah penembak jitu bisa terinspirasi membentuk dirinya sebagai teroris?"
ADVERTISEMENT
Keterlibatan teroris dan anak muda sudah pasti berkaitan erat terutama perekrutan teroris kerap mengincar anak muda. Bagaimana tidak, pemikiran anak muda yang masih bisa diubah cenderung mengikuti apa yang dianggap cocok dengan pendirian.
Namun ternyata, ada dua hal mengapa terorisme selama dua dekade terakhir sangatlah bahaya. Perubahan ancaman yang paling signifikan dalam terorisme, tidak lain seperti kemunculan orang yang mengasingkan diri mempunyai inspirasi dari ideologi teroris dan kemudahan akan radikalisasi secara daring.
Pertanyaan menarik tentang terorisme bukanlah apa bisa faktor ekonomi dan sosial sebagai alasan anak muda bergabung terorisme, tetapi bagaimana ideologi berperan. Teroris yang bernuansa ideologis ialah bukan wabah sui generis atau bisa dibilang tidak diketahui asal usul. Obsesi perjuangan sebagai teroris ideologis sebenarnya untuk mewujudkan perubahan tatanan, melainkan dampak proses perjuangan khususnya bagi masyarakat luas pada umumnya sangat merugikan.
ADVERTISEMENT
Cara kerja teroris untuk mendapatkan dorongan secara psikologis dan sosiologis dapat dibagi ke dalam 3 babak : membingkai suatu peristiwa (framing), pengerahan (mobilization), dan pengambilan keputusan (making decision).
Framing bisa diibaratkan, seperti memberi gambaran akan pendakwah menyoroti bahwa peran Muslim global mempunyai tanggung jawab melawan ketidakadilan akan Muslim di dunia. Ketidakadilan sudah pasti prioritas masalah antara Barat dan dunia Islam.
Rekrutmen dan mobilisasi turut mengambil peran penting untuk mengetahui perkembangan akan pergerakan. Kemudian mobilisasi didukung dengan mulai mendapatkan instruksi keagamaan yang memfasilitasi indoktrinasi, membangun identitas eksklusif, dan melakukan perubahan nilai-nilai keyakinan.
Hadirnya kekecewaan dengan sistem politik dan kondisi sosial memicu muncul grup yang menuntut transformasi sosial total secara holisme dan radikal. Mulai memahami, mendalami ideologi baru, dan menanamkan pada keyakinannya sebagai ideologi yang paling benar sebagai tahap terakhir dalam making decision.
ADVERTISEMENT
Tidak bisa dipungkiri bahwa upaya yang dilakukan ISIS untuk merekrut anak muda lewat media sosial terbilang penuh daya tipu. Meski terbilang sepele, mereka bisa melakukan perbandingan sederhana dengan mengambil contoh perbandingan permainan modern dengan keadaan di lapangan. Bahkan, melihat perang Suriah sebagai arena yang lebih menantang daripada bermain Call Of Duty.
Terlepas dari upaya yang terbilang ekstrem, faktanya kesadaran moral mampu melatarbelakangi anak muda terinspirasi untuk bergabung. Contohnya ialah video menjaga warga sipil, mengunjungi pejuang yang terluka di rumah sakit, dan memberikan permen ke anak-anak. Apabila mengacu pada video, hati siapa yang tidak tersentuh? Jangan sampai terbuai karena itu merupakan taktik yang disebut mujatweets.
Kekhawatiran utama yang perlu disoroti sejatinya bagaimana kesiapan jangka panjang dan proteksi mengatasi terorisme daripada bereaksi akan hasil. Namun, di sisi lain, memastikan anak muda yang masih berjuang dari kerentanan seperti penindasan, pengasingan sosial, dan isu kesehatan mental mendapat pertolongan agar mengurangi potensi remaja terlibat terorisme. Kepercayaan akan orang tua untuk tidak gampang menghakimi memiliki potensi besar untuk membentuk poros kekuatan.
ADVERTISEMENT
Mewujudkan hal tersebut, diperlukan keterlibatan tokoh terutama bisa mempromosikan nilai-nilai kemanusiaan, terlepas dari ras dan agama. Dengan begitu, tindakan seperti itu memperbolehkan remaja untuk mencari jati diri dalam hal positif dan mengatasi anak muda mencari kebutuhan itu sendiri di forum ekstremis.