Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Patriarki dalam Kehidupan Perempuan: Analisis Peran, Seksualitas, dan Kekerasan
11 Mei 2025 13:23 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Nova Pebriyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Struktur patriarki menurut Walby, ditemukan 4 (empat) jenis bentuk struktur patriarki dengan rincian sebagai berikut.
ADVERTISEMENT
1. Dalam sistem patriarki, perempuan sering kali dibebani tanggung jawab penuh dalam urusan rumah tangga, seperti memasak dan mengurus anak. Hal ini terlihat dalam cerita ketika tokoh utama, Hamidah, merasa malu karena masakannya dikritik oleh keluarga Idrus, meskipun ia sudah berusaha sebaik mungkin. Kejadian ini mencerminkan pandangan patriarkal yang menilai perempuan dari seberapa baik mereka mengurus rumah, bukan dari kemampuan lain yang mereka miliki. Komentar dari bibi bungsu Idrus yang membandingkan kemampuan memasak Hamidah dengan perempuan lain, baik yang berpendidikan maupun tidak, memperlihatkan bahwa dalam masyarakat patriarki, perempuan yang tidak memenuhi standar tertentu dianggap kurang layak. Bahkan, dalam cerita ini, sesama perempuan pun ikut memperkuat pandangan tersebut. Seolah-olah, urusan dapur lebih penting daripada pendidikan atau pencapaian lain yang dimiliki oleh perempuan. Ini menunjukkan bahwa aturan patriarki bisa datang bukan hanya dari laki-laki, tapi juga dari perempuan yang ikut melanggengkan norma tersebut.
ADVERTISEMENT
“Perkara memasak kupentingkan benar-benar, sebab bukan sekali dua aku pergi ke rumah Idrus diminta orang tuanya memasak ini dan itu untuk mereka, sekadar akan melihat kepandaian ku saja. Kerap kali pula aku merasa malu yang amat sangat, karena buatanku itu dicaci mereka habis-habisan."
2. Patriarki dalam hal seksualitas terlihat dari anggapan bahwa perempuan harus menjadi penyedia kasih sayang sekaligus layanan emosional dan seksual, tanpa mempertimbangkan hak atau kenyamanan mereka sendiri. Dalam cerita, hal ini tercermin saat Hamidah merasa dipermalukan hanya karena ia menjawab sapaan laki-laki dengan sopan. Sikap yang sebenarnya wajar ini justru dipandang negatif oleh lingkungan sekitar. Perempuan dianggap tidak pantas terlalu ramah kepada laki-laki yang bukan keluarganya, karena takut dicap tidak sopan atau murahan. Aturan-aturan sosial seperti ini membebani perempuan untuk terus menjaga citra mereka, bahkan ketika mereka tidak melakukan kesalahan apa pun. Jika perempuan sering disapa laki-laki, maka mereka yang justru disalahkan, seolah-olah itu menunjukkan bahwa dirinya tidak layak dihargai. Ini menunjukkan bahwa dalam budaya patriarki, perempuan dipaksa untuk terus menyesuaikan diri dengan standar sosial yang tidak adil, terutama dalam urusan cara bersikap dan menjaga diri di ruang publik.
ADVERTISEMENT
“Aku bukan sekali dua dihinakan mereka, dikatakan kerap menarik perhatian orang-orang yang membayar makan di sebelah rumah kami. Sebab-sebabnya ialah karena aku menjawab pertanyaan pemuda-pemuda itu dengan hormat, begitu pula apalagi mereka memberi salam kepadaku aku balas. Bukankah ini tak salah? Tetapi pada anggapan mereka tak begitu. Gadis tak seharusnya menjawab penghormatan atau pertanyaan laki-laki".
3. Patriarki dalam bentuk kekerasan dari laki-laki bisa terlihat lewat kekerasan fisik, psikis, maupun verbal. Dalam cerita, Hamidah mengalami penghinaan dari saudara dan iparnya hanya karena ia dianggap menggoda seorang pemuda, padahal ia sebenarnya hanya merespons sapaan dengan sopan. Situasi ini menunjukkan bagaimana perempuan sering kali disalahkan dan dikontrol, bahkan atas tindakan yang sebenarnya tidak salah. Ini sejalan dengan konsep patriarki, di mana laki-laki memiliki kuasa lebih untuk mengatur dan menilai perempuan, sehingga perempuan tidak memiliki kebebasan sepenuhnya dalam menjalani hidup mereka sendiri. Perempuan seperti Hamidah jadi rentan terhadap perlakuan tidak adil, baik secara emosional maupun sosial.
ADVERTISEMENT
“Aku bukan sekali dua dihinakan mereka, dikatakan kerap menarik perhatian orang-orang, dikatakan kerap menarik perhatian orang-orang yang membayar makan di sebelah rumah kami. Sebab-sebabnya ialah karena aku menjawab pertanyaan pemuda-pemuda itu dengan hormat, begitu pula apalagi mereka memberi salam kepadaku aku balas. Bukankah ini tak salah? Tetapi pada anggapan mereka tak begitu".
4. Patriarki dalam budaya terlihat dari adanya standar "perempuan ideal" yang dibentuk lewat aturan keluarga, pendidikan, agama, bahkan media. Dalam cerita, bisa dilihat kalau lingkungan tempat tinggal Hamidah punya aturan yang ketat soal bagaimana seharusnya perempuan bersikap. Para gadis diharapkan untuk tampil feminin sesuai dengan adat, tapi sayangnya aturan-aturan itu justru membatasi ruang gerak mereka. Akibatnya, perempuan jadi nggak punya kebebasan di lingkungannya sendiri karena harus terus menyesuaikan diri dengan harapan-harapan sosial yang kaku dan mengekang.
ADVERTISEMENT
“Kebanyakan daripada adat yang diadatkan disangkakan mereka sebagian juga daripada syarat agama. Gadis-gadis mesti dipingit, tak boleh kelihatan oleh orang-orang yang bukan sekeluarga lebih-lebih oleh laki-laki. Adat inilah yang lebih dahulu mesti diperangi. Inilah yang kucita-citakan. Aku ingin melihat saudara-saudaraku senegeri berkeadaan seperti saudara-saudaraku di tanah Jawa.”
Dosen Pengampu: Ibu Novi Diah Haryanti