Konten dari Pengguna

Sekaten Surakarta: Tradisi Maulid Menyatu dalam Budaya dan Spiritualitas Jawa

N Dimas Ferdyansyah
Saya adalah seorang mahasiswa matematika UIN WALISONGO SEMARANG
13 Mei 2025 19:15 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari N Dimas Ferdyansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Tradisi yang diyakini berasal dari dakwah Sunan Kalijaga pada masa Kerajaan Demak sebagai bentuk pendekatan kultural untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat yang masih menganut kepercayaan Hindu-Buddha.

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Setiap bulan Maulid atau Rabi’ul Awal, Keraton Surakarta menggelar sebuah tradisi agung bernama Sekaten untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan bentuk warisan budaya dan dakwah Islam yang telah hidup selama berabad-abad dan membentuk identitas sosial masyarakat Jawa.
Sekaten berasal dari kata "syahadatain" (dua kalimat syahadat), yang kemudian mengalami pelafalan khas Jawa. Sekaten adalah bentuk khas masyarakat Jawa dalam merespons perayaan kelahiran Nabi.(Eko, M. F., Al-Mumtaza, D. H., & Panggabean, Y. P.,2024)
Bukan hanya dengan ceramah agama, tetapi melalui pendekatan budaya: gamelan, gunungan, dan kirab pusaka menjadi bagian dari dakwah yang membumi.Tradisi ini telah berlangsung sejak abad ke-15 dan terus dijaga oleh masyarakat, khususnya di lingkungan keraton dan Masjid Agung Surakarta.
ADVERTISEMENT
Tradisi Sekaten bermula dari dakwah Sunan Kalijaga pada masa Kerajaan Demak yang ingin menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa, yang kala itu masih didominasi oleh kepercayaan Hindu-Buddha. Melalui pendekatan budaya lokal dan kesenian gamelan, Sekaten menjelma menjadi sarana dakwah kultural yang membumi dan inklusif.
Ilustrasi Sekaten Surakarta: Tradisi Maulid Menyatu dalam Budaya dan Spiritualitas Jawa. Sumber: Unsplash/K. Hayy S
Puncak Sekaten adalah acara Grebeg Maulud, di mana dua gunungan raksasa diarak menuju masjid. Gunungan ini terdiri dari hasil bumi, jajanan pasar, dan bahan makanan pokok. Masyarakat akan berebut isi gunungan karena diyakini membawa berkah.
Gunungan dibagi dua: kakung (laki-laki) dan estri (perempuan), yang melambangkan keseimbangan hidup. Keseimbangan ini merupakan filosofi penting dalam budaya Jawa, yang juga selaras dengan ajaran Islam mengenai keharmonisan hidup.
Semua prosesi dilakukan tanpa alas kaki sebagai bentuk penghormatan dan kesederhanaan. Masyarakat memakai pakaian adat seperti batik dan blangkon, memperkuat identitas budaya dalam perayaan keagamaan. Lebih dari sekadar tontonan budaya, Sekaten juga mengandung nilai-nilai luhur seperti toleransi, gotong royong, spiritualitas, dan penghormatan terhadap leluhur. Tradisi ini menjadi refleksi kuat dari sila-sila dalam Pancasila, seperti Ketuhanan Yang Maha Esa (nilai spiritual), Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (nilai sosial), dan Persatuan Indonesia (nilai budaya yang menyatukan). Inilah yang membuat Sekaten terus bertahan. Ia bukan sekadar acara tahunan, tapi bagian dari identitas kolektif warga Surakarta.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif teori kewarganegaraan, pelestarian tradisi seperti Sekaten merupakan wujud nyata dari civic engagement masyarakat terhadap warisan budaya mereka. Masyarakat tidak sekadar menjadi penonton, tapi ikut menjadi pelaku dan penjaga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Namun, dalam arus globalisasi dan komersialisasi budaya, Sekaten menghadapi tantangan eksistensi. Dulu menjadi media dakwah, kini Sekaten cenderung diposisikan sebagai atraksi wisata. Hal ini memicu kekhawatiran akan pergeseran makna sakral menjadi sekadar hiburan.
Lantas, apakah tradisi Sekaten harus dilestarikan, diadaptasi, atau ditinggalkan?
Maka jawabannya adalah dilestarikan dengan penyesuaian kontekstual. Tradisi ini masih sangat relevan sebagai media edukasi sejarah dan spiritualitas, namun tetap harus dimodernisasi dalam kemasan yang sesuai zaman. Adaptasi dapat dilakukan melalui digitalisasi dokumentasi, edukasi di sekolah, hingga menjadikan Sekaten sebagai laboratorium budaya bagi generasi muda.
ADVERTISEMENT
Menjaga Sekaten bukan hanya soal mempertahankan serangkaian ritual, tetapi juga menjaga identitas dan nilai luhur bangsa. Sebagaimana perayaan Maulid di Demak yang juga mengandung makna spiritual mendalam. melalui pembacaan Al-Barzanji dan sedekah makanan tradisi seperti ini adalah jalan tengah antara Islam dan budaya lokal.
Daftar Pustaka:
Azra, A. (1998). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.
Berger, P. L., & Luckmann, T. (2018). The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Jakarta: LP3ES. (Terjemahan)
Eko, M. F., Al-Mumtaza, D. H., & Panggabean, Y. P. (2024). Konstruksi Sosial Tradisi Sekaten Surakarta dalam Perspektif Teori Tafsir Sosial. TUTURAN: Jurnal Ilmu Komunikasi, Sosial dan Humaniora, 2(3), 151–159. https://doi.org/10.47861/tuturan.v2i3.1079
ADVERTISEMENT
Kaptein, N. (1994). Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW: Asal-usul dan Penyebaran Awalnya. Seri INIS XXII. Jakarta: INIS.
Partokusumo, K. K. (1995). Kebudayaan Jawa: Perpaduannya dengan Islam. Yogyakarta: IKAPI.
Van Bruinessen, M. (1999). Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Bandung: Mizan.