Konten dari Pengguna

Baku Tikam dalam Sarung: Antara Harga Diri dan Revolusi Pelestarian

Novandi Anggoro
Mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang
27 April 2025 14:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Novandi Anggoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki banyak sekali adat serta budaya yang tersimpan didalam nya. Seperti di Pulau Sulawesi, tepatnya di Makasar, Sulawesi Selatan. Tradisi yang melibatkan dua pria dalam satu sarung, melakukan baku tikam.

Ilustrasi Sigajang Laleng Lipa (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sigajang Laleng Lipa (Foto: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
Masyarakat Suku Bugis menyebutnya dengan Sigajang Laleng Lipa atau baku tikam dalam sarung, tradisi ini menjadi sebuah simbol harga diri atau masyarakat Suku Bugis menyebutnya dengan "Siri' Napacce." Tradisi Sigajang Laleng Lipa kini sedang berada di persimpangan antara kebanggaan budaya atau revolusi pelestarian. Sigajang Laleng Lipa, sebagai metafora dari konflik yang harus di selesaikan Sigajang Laleng Lipa atau saling tikam dalam sarung, adalah tradisi yang berasal dari Suku Bugis Makasar. Tradisi ini menjadi sebuah langkah terakhir dalam konflik yang tidak bisa diselesaikan secara damai, dimana dilakukan dengan cara melibatkan dua orang pria melalukan duel di dalam sarung menggunakan badik (senjata tradisional berbentuk pisau dari suku Bugis). Dengan pemenang dianggap sebagai pihak yang benar dan yang kalah bahkan sampai meninggal adalah pihak yang salah. Tradisi ini juga menjadi sebuah metafora dari sebuah konflik yang tak terpecahkan, yang dimana menunjukkan betapa seriusnya konflik tersebut dan betapa pentingnya untuk dapat menemukan solusi. Sigajang Laleng Lipa memiliki signifikansi budaya yang sangat kuat, karena mencerminkan nilai-nilai kehormatan "Siri' Na Pacce", kesetiaan, serta keteguhan dalam menghadapi sebuah masalah. Kini Sigajang Laleng Lipa menjadi sorotan karena resiko kematian dan upaya kreatif dalam pelestarian budaya nya. Fakta dan Sejarah: Harga diri di dalam sarung dan sebilah pisau Sigajang Laleng Lipa menjadi sebuah tradisi yang sangat dihindari oleh Masyarakat Bugis, karena Masyarakat Bugis Sulawesi Selatan mengenal sebuah pepatah yang berbunyi "Ketika Badik telah keluar dari sarungnya, maka pantang diselip di pinggang sebelum terhujam di tubuh lawan. Jika harga diri telah terenggut, maka Sigajang Laleng Lipa adalah jalan terakhir menyelesaikan perkara" di dalam kalimat tersebut menjadikan nya sebuah filosofi agar suatu masalah dapat dicapai dengan solusi terbaik tanpa kekerasan meski harus melibatkan dewan adat. Walaupun demikian Sigajang Laleng Lipa menyimpan sebuah makna dan simbol keberanian, ketegasan dan komitmen dalam menjaga harga diri. Mitos dan Spiritualitas Sigajang Laleng Lipa Dalam tradisi Adat Bugis, masyarakat Bugis menganggap sarung yang digunakan menjadi sebuah ruang sakral dimana tempat leluhur mengawasi pertarungan tersebut, dan memiliki mitos bahwa kekalahan adalah sebuah hukuman dari para leluhur karena memiliki niat yang tidak tulus. Sebelum tradisi Sigajang Laleng Lipa dilakukan, terdapat prosesi ritual yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak seperti puasa, tidak melakukan hubungan suami-istri, atau bahkan tidak melihat perempuan selama 40 hari. Selain itu juga, sebelum prosesi Sigajang Laleng Lipa biasanya juga melakukan musyawarah dan negosiasi agar dapat mencari solusi damai. Karena menurut tradisi ini, kemenangan ditentukan oleh ketenangan pikiran, bukan hanya kebrutalan. Dilema modern: Antara tradisi atau revolusi pelestarian budaya Dalam kasus ini, tradisi Sigajang Laleng Lipa memang merupakan tradisi yang mengerikan. Tetapi walaupun tradisi ini terbilang mengerikan dan memiliki resiko yang cukup tinggi, Sigajang Laleng Lipa tetap menjadi sebuah warisan leluhur yang diakui dalam peta budaya Sulawesi Selatan. Dalam hal ini baik pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah dan masyarakat adat sekitar berupaya untuk tetap melestarikan budaya tersebut dengan inovasi yang kreatif seperti:
ADVERTISEMENT
Teater Tradisional Komunitas seperti Pemerhati Seni dan Budaya Bone (PSBB) Sangdara berhasil mengubah baku tikam Sigajang Laleng Lipa yang dramatis menjadi sebuah pertunjukan seni dengan menambahkan sedikit tarian-tarian kecil. Dan menjadikannya sebuah tradisi seni yang cukup epik di dalam sebuah acara Festival F8 di Kota Makasar yang membuat penonton terpukau dan merasa seperti kembali ke masa lalu. 2. Simulasi Digital Di zaman modern seperti sekarang ini, teknologi seperti Virtual Reality (VR) menjadi cara agar memungkinkan penggunanya dapat merasakan ketegangan Sigajang Laleng Lipa secara langsung tanpa adanya resiko. Merajut Tradisi dengan Benang Kehidupan Sigajang Laleng Lipa atau baku tikam dalam sarung bukan hanya tentang siapa yang lebih kuat saja, tetapi juga tentang bagaimana diri iita menjaga kehormatan tanpa harus mengorbankan nyawa. Revolusi pelestarian ini menjadikan sebuah bukti bahwa budaya bisa hidup secara abadi, meski harus berubah bentuk dengan tetap mempertahankan nilai-nilai histori dari budaya tersebut. Dalam tradisi Sigajang Laleng Lipa menjadi pengingat kita bahwa harga diri itu penting, tetapi nyawa manusia lebih berharga. Jadi bagaimana menurut anda, apakah warisan budaya harus tetap asli meski beresiko, atau layakkah diubah demi asas kemanusiaan?
ADVERTISEMENT
#BudayaBugis, #PelestarianTradisi, #SigajangLalengLipa.