Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Akulturasi Kebudayaan Cina pada Salah Satu Musala di Banyuwangi
9 April 2022 12:53 WIB
Tulisan dari Novarda Tegar Dwi Susandria tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berbicara menyangkut peradaban Cina yang ada di Asia Tenggara, Indonesia tidak bisa terlepas dari pengaruh peradaban ini. Pengaruh peradaban Cina di Indonesia tidak hanya dalam bidang perdagangan, namun juga dalam bidang akulturasi kebudayaan dan kepercayaan. Toleransi yang baik membawa sebuah implementasi akulturasi kebudayaan di Indonesia.
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas mengenai peradaban Cina di Kabupaten Banyuwangi terkhusus di Desa Bagorejo Kecamatan Srono. Sebelum membahas lebih lanjut, di Desa Bagorejo ini terdapat toleransi yang cukup baik antar umat beragama. Terdapat berbagai jenis agama yang dianut oleh masyarakat sekitar. Selain agama Islam masyarakat Bagorejo juga menganut agama lain seperti Hindu, Konghucu, Kristen, dan Katolik. Toleransi yang baik antar masyarakat ini dapat kita lihat dalam akulturasi kebudayaan Cina dan Islam di Desa Bagorejo.
ADVERTISEMENT
Hasil dari peradaban Cina pada kali ini yang dibahas ada pada akulturasi kebudayaan Cina dengan kebudayaan Islam. Akulturasi kebudayaan Cina dan Islam ini salah satu contohnya yaitu terdapat pada konstruksi atau arsitektur bangunan musala.
Implementasi peradaban Cina di Desa Bagorejo ini ada pada Musala Mukasyafah. Musala yang terletak di kawasan Pasar Komis Bagorejo dan berada di tepi sungai ini menggabungkan dua kebudayaan yang berbeda menjadi satu tanpa menghilangkan fungsi atau ciri asli dari musala itu sendiri.
Arsitektur bangunan musala ini dapat dikatakan menarik dan cenderung berbeda. Karena sebuah bangunan tempat ibadah yang disebut dengan musala bercirikan agama Islam digabungkan dengan sebuah corak kebudayaan yang lain yaitu kebudayaan Cina. Sebuah percampuran kebudayaan yang memberikan ciri bahwa berbagai peradaban-peradaban telah masuk dan berkembang di Asia Tenggara salah satunya di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Masyarakat sekitar sering menyebut musala ini dengan sebutan “Musala Kelenteng”. Sebutan “ Musala Kelenteng” ini diberikan oleh masyarakat karena konsep arsitektur bangunan yang mirip seperti bentuk tempat ibadah agama Konghucu yaitu kelenteng.
Musala ini dibangun dengan gagasan seorang kyai yang bernama alm. Joko Triyono yang sekaligus menjadi pengasuh kepengurusan musala tersebut. Musala ini dibangun pada tahun 2010, kurang lebih telah 12 tahun berdiri hingga sekarang. Biaya dalam pembangunan musala ini dilakukan atas gotong royong para pemuda yang ada di Bagorejo. Saling gotong royong yang dilakukan pemuda ini bukan hanya dalam hal tenaga dalam proses pembangunan namun juga dalam urusan biaya pembangunan. Para pemuda melakukan iuran untuk menyelesaikan pembangunan musala ini.
Bentuk kubah yang berbeda dengan kubah musala pada umumnya membuat suatu keunikan tersendiri. Bentuk kubah yang menyerupai bentuk bangunan pagoda atau bisa dikatakan mirip dengan bentuk arsitektur kelenteng. Pemilihan warna bangunan juga menyerupai kebudayaan Cina. Musala ini menggunakan warna merah perpaduan hijau dan kuning keemasan yang identik dengan ciri arsitektur Cina. Hal-hal tersebutlah yang membuat masyarakat memberikan julukan “musala kelenteng”. Selain itu musala ini terletak di dekat aliran sungai dan jalan raya. Selain itu juga terdapat jembatan pada sisi depan musala yang merupakan akses ke kawasan musala.
ADVERTISEMENT
Musala yang menjadi ikon Desa Bagorejo ini memiliki daya tarik tersendiri karena bentuk arsitektur bangunan yang menggabungkan dua kebudayaan menjadi satu. Hal ini adalah sebuah wujud toleransi yang baik di Banyuwangi. Dengan menggabungkan wujud peradaban Islam dengan Konghucu, musala ini tampil menarik dan berbeda dengan tempat ibadah agama Islam lainnya.