Konten dari Pengguna

Baritan: Tradisi Malam Suro yang Tak Terlewatkan di Desa Bagorejo Kab Banyuwangi

Novarda Tegar Dwi Susandria
Mahasiswa Universitas Jember
6 April 2022 19:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Novarda Tegar Dwi Susandria tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multikultural. Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai bermacam-macam suku, agama, ras, tradisi dan budaya. Hal ini menjadi aset penting yang harus dijaga. Salah satu aset penting tersebut yaitu tradisi "baritan" yang ada di Desa Bagorejo, Kecamatan Srono, Kabupaten Banyuwangi.
ADVERTISEMENT
Baritan merupakan tradisi tahunan yang diadakan oleh masyarakat Desa Bagorejo, Kecamatan Srono, Kabupaten Banyuwangi. Baritan disebut tradisi tahunan karena tradisi ini dilaksanakan satu tahun sekali tepatnya pada malam 1 suro. Malam ini adalah malam tahun baru Islam atau 1 Muharram. Namun, masyarakat Jawa sering menyebutnya malam 1 suro. Hal ini mengacu pada masyarakat Desa Bagorejo yang seluruhnya merupakan kelompok masyarakat Jawa.
Desa Bagorejo merupakan salah satu daerah di ujung Timur Pulau Jawa yang masih melestarikan budaya. Maka, tidak heran jika masih kental dengan unsur tradisionalnya. Seperti tradisi baritan yang sampai sekarang tetap dilaksanakan. Kata "baritan" merupakan singkatan dari bahasa Jawa yaitu “mbubarke peri lan setan”. Maknanya, tradisi ini bertujuan untuk menolak bala atau sesuatu yang tidak diinginkan bahkan bencana. Jadi, tradisi ini adalah kegiatan doa bersama yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat untuk meminta perlindungan kepada Tuhan.
ADVERTISEMENT
Tradisi ini biasa dilaksanakan setelah maghrib. Uniknya, tradisi berdoa ini bertempat di perempatan jalan. Tidak serta merta berada di tengah dan menghalangi jalan, namun masyarakat menggelar tikar di pinggir perempatan jalan. Tempat ini dipilih karena memudahkan akses masyarakat untuk menghadiri tradisi.
Semua masyarakat diperbolehkan ikut dalam tradisi ini tanpa terkecuali. Dalam prosesi kegiatan ini masyarakat tidak memandang status sosial. Masyarakat bersama-sama duduk di atas tikar mulai dari anak-anak, orang dewasa, semuanya sama. Pada intinya tradisi ini mempunyai tujuan bersama yaitu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menciptakan kerukunan antar sesama.
Foto masyarakat yang melakukan baritan. Sumber Foto: Shutterstock
Pada tradisi ini masyarakat wajib membawa makanan yang disebut dengan takir. Takir adalah wadah yang terbuat dari daun pisang yang isinya adalah nasi beserta lauk-pauknya. Wadah tersebut berbentuk kotak lalu terdapat sedikit janur kuning di ujungnya. Dalam satu keluarga wajib membawa empat takir, ini merupakan wujud rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberi limpahan rezeki berupa hasil bumi.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya takir akan dikumpulkan menjadi satu lalu dibacakan doa. Untuk melantunkan doa-doa, masyarakat akan dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat. Isi doa tersebut tidak lain untuk meminta keberkahan dan keselamatan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Masyarakat berdoa dan mengikuti prosesi acara ini dengan khusyuk.
Setelah selesai pembacaan doa, selanjutnya prosesi pembagian takir. Pembagian takir ini adalah hal yang paling ditunggu-tunggu. Anak kecil sangat antusias ketika proses pembagian takir. Biasanya takir dimakan bersama-sama di tempat atau dibawa pulang. Setiap orang boleh membawa pulang takir dengan prasyarat bukan takir miliknya sendiri. Takir akan saling ditukarkan antar masyarakat yang hadir dengan maksud semua orang itu sama tidak ada perbedaan kelas antar masyarakat. Juga agar bisa mencicipi masakan dari masyarakat lain, intinya saling berbagi. Memakan takir yang sudah melalui proses doa dipercaya akan memudahkan rezeki dan dijauhkan dari segala mara bahaya.
ADVERTISEMENT
Tradisi ini di Desa Bagorejo terus dilaksanakan setiap malam satu Suro. Masyarakat Desa Bagorejo sangat bersemangat menyambut tradisi ini. Mereka melaksanakan tradisi yang sudah turun temurun untuk berdoa bagi keselamatan di tahun yang baru. Selain itu, tradisi ini digunakan sebagai waktu untuk bertemu dan berbincang antar masyarakat. Jadi, tradisi ini dilaksanakan sebagai kegiatan doa bersama, wujud rasa syukur, serta memupuk kerukunan antar masyarakat.