Konten dari Pengguna

Jokowi Mau Meniru China?

Novi Basuki
Alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo; Lulus dari Huaqiao University dan Xiamen University, Studi doktoral di Sun Yat-sen University, China; Penulis buku "Islam di China: Dulu dan Kini".
8 November 2019 16:53 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Novi Basuki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Jokowi. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Jokowi. Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
ADVERTISEMENT
Makin ke sini, saya merasa cara-cara yang dipakai Presiden Jokowi buat menggenjot perekonomian Indonesia makin kelihatan bak pinang dibelah dua saja dengan strategi yang ditempuh petinggi Partai Komunis China (PKC) –wabil khusus selepas kewafatan Mbah Mao Zedong yang kebijakan-kebijakannya selama Lompatan Jauh ke Depan (1958–1960) dan Revolusi Kebudayaan (1966–1976) memakan korban jiwa tak terperikan.
ADVERTISEMENT
Tak masalah. Boleh jadi mantan Gubernur Jakarta itu ingin mengamalkan sabda kanjeng Nabi, yang sekalipun tidak memerinci bidang apa saja, meminta umatnya untuk menimba ilmu walau sampai ke negeri China melalui hadis sohor “Uṭlubū l-‘ilm walau bi ṣ-Ṣīn”.
Atau, sepertinya tak menutup kemungkinan juga kalau Jokowi tengah mencoba mempraktikkan apa yang dulu dibisikkan Presiden China, Xi Jinping, kepadanya.
Soalnya, bung dan nona sekalian barangkali masih ingat. Tak berselang lama setelah dilantik sebagai presiden Indonesia pada 2014 silam, Jokowi langsung menjadikan China sebagai negara asing pertama yang dikunjunginya. Sehabis dari sana, Jokowi pernah bercerita bahwa ketika makan malam bersama Xi Jinping di Beijing, ia meminta saran kepadanya agar Indonesia juga bisa seperti China yang maju dalam sekejap sehabis menjalankan kebijakan Reformasi dan Keterbukaan pada awal tahun 80-an. Konon, Xi Jinping memberinya tiga masukan yang naga-naganya mulai diterapkan Jokowi sekarang.
ADVERTISEMENT
Pertama, kata Xi Jinping sebagaimana dirawikan Jokowi, partai harus dipersatukan terlebih dahulu.
Bagi China, mempersatukan partai jelas adalah hal yang sangat mudah dilakukan. Sebab, kendati sejatinya ada sembilan partai di China, tapi pemegang tampuk kekuasaan dan pengambil kebijakan dari yang tertinggi sampai yang terendah tetaplah PKC belaka. Di hadapan PKC, delapan partai lainnya itu tak ubahnya PPP dan PDI bagi Golkar di masa Orde Baru. Ketika PKC bilang iya, yang lain hanya bisa “sami‘nā wa aṭa‘nā”, mendengar dan menaati saja. PKC menyebut sistem kepartaian demikian sebagai “Zhongguo Gongchandang lingdao de duo dang hezuo”, gotong royong banyak partai di bawah kepemimpinan PKC.
Sekalipun Jokowi mengaku kesulitan untuk mempersatukan partai-partai Indonesia sebagaimana yang dianjurkan Xi Jinping, namun ia bersiteguh akan mengusahakannya. Dan, Jokowi tampaknya tidak mengingkari komitmennya itu.
ADVERTISEMENT
Buktinya, Jenderal Prabowo Subianto yang menjadi rival sengitnya sejak Pilpres 2014, berhasil digaet masuk ke dalam pemerintahannya. Bahkan, demi semakin meminimalisir oposisi, Jokowi sampai rela mendepak Bu Susi Pudjiastuti yang nyata-nyata berprestasi, lalu menggantinya dengan elite Partai Gerindra yang kayaknya tak semumpuni Susi dalam menangani persoalan kelautan dan perikanan yang menjadi tanggung jawabnya.
Dengan capaiannya menggendutkan koalisi itu, Jokowi belum lama ini berbangga hati menyebut “bahwa di Indonesia ini tidak ada yang namanya oposisi kayak di negara lain. Demokrasi kita ini adalah demokrasi gotong royong.” See, bukankah ini mirip dengan sistem gotong royong banyak partai ala PKC itu?
Walakin, mungkin dulu Xi Jinping lupa yang mau bilang ke Jokowi bahwa di samping karena minimnya oposisi yang terwujud dalam kerja sama antarpartai, PKC bisa memajukan China dengan cepat karena negerinya dikelola oleh orang-orang profesional hasil saringan suatu sistem yang ilmuan politik Daniel A. Bell sebut sebagai “meritocracy”. KBBI daring mengartikan meritokrasi ini dengan cukup ciamik, yakni, “sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan, senioritas, dan sebagainya.”
ADVERTISEMENT
Kedua, Xi Jinping menasihati Jokowi agar menyusun perencanaan jangka panjang.
Jokowi tampaknya juga sepakat dengan petunjuk Xi Jinping itu dalam pidato pelantikannya kemarin. Lihatlah, begitu selesai salam pembuka, Jokowi langsung tancap gas menguraikan mimpi Indonesia yang mesti dicapai di tahun 2045 kala kemerdekaan Indonesia sudah mencapai usia 100 tahun. Ketika saat itu tiba, tegas Jokowi, “Indonesia [mestinya] telah keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah, Indonesia telah menjadi negara maju.
Coba bung dan nona komparasikan ceramah Jokowi itu dengan pidato Xi Jinping ketika dilantik sebagai presiden China pertama kali pada 2013 silam. Xi Jinping waktu itu juga menggelorakan apa yang disebutnya “Zhongguo meng” alias “mimpi China”. Ia juga mematok tenggat waktu 100 tahun kemerdekaan China untuk menjadikan negaranya sebagai negara maju nan modern yang terbebas dari jerat “zhong deng shouru xianjing”, jebakan pendapatan kelas menengah.
ADVERTISEMENT
Apa solusi Xi Jinping agar negaranya bisa keluar dari “jebakan pendapatan kelas menengah” dan tercapai impiannya? Jawabannya persis beberapa kata kunci pidato pelantikan Jokowi kemarin itu: reformasi, inovasi, penggalakan pembangunan infrastruktur. Dan, memang itulah poin ketiga yang disampaikan Xi Jinping kepada Jokowi di Beijing. Intinya, seperti kata pepatah China, “yao zhi fu, xian xiu lu”, bangunlah dulu jalan raya, jika kamu ingin kaya.
Sebenarnya, bung dan nona tahu, bukan kali ini saja Jokowi punya gagasan yang mirip dengan Xi Jinping. Pada periode pertamanya, misalnya, Jokowi punya Poros Maritim Dunia yang tampaknya juga digodok untuk merangkul inisiatif pembangunan Jalur Sutra Maritim Abad 21 (OBOR) yang digagas Xi Jinping pada 2013. Menariknya, negara pertama di dunia yang dipilih Xi Jinping untuk mengumumkan inisiatif berdana bejibun itu adalah Indonesia, ketika ia pada awal Oktober 2013 berkunjung dan memberikan ceramah di gedung DPR kita.
ADVERTISEMENT
Berkat kesamaan (kalau bukan penyamaan) itu, hubungan Indonesia dengan China–terlebih dalam sektor investasi pembangunan infrastruktur–menanjak seketika. China yang biasanya tidak berada di deretan terdepan investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia, akhirnya bertengger di barisan tiga besar semenjak Jokowi berkuasa.
Ke depan, berbekal kemiripan-kemiripan yang dimiliki tersebut, relasi Indonesia-China kemungkinan besar akan kian seperti kereta cepat yang melaju di lintasannya: melesat dengan hampir tanpa hambatan. Pasalnya, pihak oposisi yang dulu bi(a)sa meraung dengan memainkan sentimen anti-aseng bin anti-China, kini sudah berhasil dijinakkan dengan nikmatnya jabatan. Belum lagi kalau UUD benar-benar bisa diamandemen secara menyeluruh, seperti Xi Jinping yang di periode kedua kepresidenannya berhasil mengamandemen konstitusi China sehingga menjadikannya presiden yang berpotensi menjabat seumur hidup.
ADVERTISEMENT
Patutkah ini semua disyukuri? Kepentingan nasional dan sebesar-besarnya manfaat yang dibawa untuk seluas-luasnya rakyat harus menjadi tolok ukurnya. Tanyakan pada Ki Amien Rais kalau tidak percaya.